Mereka saling memeluk erat dan Tarani akhirnya telah merasa sedikit lebih baik, efek putus obat dalam dirinya menghilang perlahan demi perlahan. Vikrama melepaskan dekapannya, kemudian meminta Tarani untuk duduk dahulu di tepi jalan sementara ia akan membeli sebotol air pada pedagang asongan yang berada di persimpangan jalan, sebelum ia masuk ke dalam jalan kecil ini.
Dalam benaknya Vikrama berpikir, jika melanjutkan perjalanan setelah apa yang terjadi pada Tarani bukanlah sesuatu yang baik untuk kesehatan Tarani. Dia teringat kembali dengan bagaimana cara memandang psikiater pertamanya dahulu; di belakang mereka akan menertawakan masalah kita dan menganggap bahwa kita terlalu dramatis, atau mulutnya yang bijak itu akan memberikan kita saran-saran paksaan. Padahal sejatinya itu hanyalah anggapannya saja.
"Bagaimana? masih terasa pusing gak?" Tanya Vikrama seraya menatap Tarani yang sekujur tubuhnya basah oleh keringat dan memberikan sebotol air yang baru saja dibelinya pada Tarani.
"Sedikit," jawab Tarani seraya meminum airnya dengan perlahan.
Vikrama menatap layar di ponselnya, jam yang tampil di layar utama ponselnya telah menunjukkan pukul 7 lebih 30 yang artinya bel pelajaran pertama telah dimulai dan sungguh kesia-siaan jika mereka pergi ke sekolah. Karena pada akhirnya ketika sampai di sana, mereka hanya akan dihukum atau diperintahkan untuk kembali pulang oleh satpam yang berjaga di depan gerbang sekolah.
Kondisi Tarani pun saat ini begitu kacau, tanpa make up yang menutupi wajahnya itu akan menimbulkan kecurigaan bagi orang lain yang menyadarinya. Dia memang masih terlihat cantik, tetapi semua kerutan yang terbentuk pada wajah dan matanya yang memerah, itulah yang menjadi permasalahan utamanya. Vikrama tidak ingin orang-orang sadar, jika Tarani adalah seorang pecandu.
Meskipun dia paham bahwa menyembunyikan seorang pecandu seperti Tarani adalah sebuah kesalahan. Lebih baik baginya untuk membawa Tarani ke tempat rehabilitasi dan membuatnya berhenti menjadi pecandu. Namun, Vikrama tidak ingin Tarani pergi ke tempat itu dengan situasinya yang sekarang, karena berdasarkan pengalamannya Vikrama rehabilitasi terbaik itu ialah dukungan dari orang-orang di sekitarnya yang memotivasi Tarani untuk berhenti. Terkecuali jika hal itu malah membuat Tarani semakin parah, dia akan membawa paksa Tarani ke tempat rehabilitasi.
"Rumah kamu di mana?"
Tarani terdiam, menaikkan sebelah alisnya, mencoba mencerna pertanyaan yang diberikan padanya. Sementara itu Vikrama berusaha menjelaskan pada Tarani bahwa ia tidak bermaksud untuk macam-macam.
"Iya kamu tahu, sekarang jam pelajaran pertama telah dimulai, dan sia-sia juga bagi kita untuk pergi-"
"Aku gak mau pulang!" kata Tarani seraya menggelengkan kepalanya.
Vikrama terdiam sesaat, menaikkan sebelah alisnya seraya menatap wajah Tarani dengan penuh rasa heran, "Kenapa? pergi ke sekolah saat ini hanya sia-sia, karena pada akhirnya ketika kita sampai di sana, mereka akan menyuruh kita untuk kembali pulang atau mendapatkan hukuman yang mungkin itu akan terasa sedikit merepotkan," katanya menjelaskan.
"Gak maksudnya bukan kayak gitu." Vikrama menunggu Tarani menyelesaikan perkataannya. "Aku tahu apa yang terjadi pada kita jika pergi ke sekolah, tapi maksudku, aku hanya ingin pergi ke sebuah tempat terlebih dahulu. Tempat yang tidak banyak orang tahu, tempat di mana hanya ada aku dan diriku."
"Memangnya ada yah tempat yang kayak gitu?"
"Iya kalau tempat itu memang beneran ada, ngapain juga aku masih di sini. Lebih baik menghabiskan hidupku di sana, sendirian, tanpa perlu repot-repot harus mikirin perasaan orang lain." Tarani mengalihkan matanya begitu sadar sedari tadi Vikrama memperhatikannya. "Tapi mungkin aku tahu tempat yang agak sedikit mirip."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflower
Teen FictionAnak-anak terlahir karena keegoisan orang tua. Mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan, mereka juga tidak bisa memilih oleh siapa mereka dilahirkan. Sangat adil jika kamu terlahir dengan keluarga yang baik, tapi ketika kamu terlahir dengan kelu...