Ketika masuk ke dalam ke rumah, Vikrama dikejutkan dengan keberadaan Ibunya yang tengah duduk seorang diri pada sebuah sofa yang berada di ruang tamu. Pada awalnya dia mengira itu bukanlah Ibunya, melainkan seperti sosok hantu yang sering diceritakan oleh masyarakat sekitar, karena rambut panjangnya yang bergelombang itu terlihat menyeramkan dalam gelap, tetapi setelah dia menyalakan lampu ruangan, dia sedikit menghela napas lega karena itu tidak seperti yang dibayangkan olehnya. Dia sudah dalam keadaan siaga untuk menghabisi sosok tersebut.
"Ibu ngapain duduk di sini sendirian, gelap-gelapan lagi?" tanya Vikrama, seraya duduk pada sofa yang berada di dekat Ibunya. Pada awalnya Vikrama tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk berbicara pada Ibu, tapi setelah bertemu dengan Pria Paruh Baya tadi, entah kenapa dia ingin melakukannya. "Feri mana?"
Ibunya mengangkat kepala, menatap wajah Vikrama, "Siapa yang mengajarkan kamu untuk berbicara tidak sopan begitu?" tanyanya kemudian kembali berkata. "Ibu tahu kamu benci sama dia, tapi itu bukan berarti kamu bisa berbicara gak sopan kayak gitu! kalau kamu gak mau manggil dia pakai Ayah dan sejenisnya, setidaknya katakan Kak, Pak, Om atau apapun di depan namanya. Umur dia lebih tua darimu ingat!"
Vikrama sedikit terkejut mendengar bahwa Ibunya mengatakan, jika dia memiliki rasa benci terhadap Feri. Padahal, jika dia jujur saat ini, Vikrama bahkan tidak memiliki perasaan apapun pada Feri, entah itu suka, hormat, benci, dendam, dia tidak ingin membuat dirinya lelah hanya dengan ego semacam itu.
"Feri masih banyak kerjaan di kantor." Ibu mengikat rambutnya yang panjang dan bergelombangnya ke belakang. "Habis darimana kamu? jam segini baru pulang ke rumah."
"Akmal ... aku baru saja bertemu dengannya." Vikrama tidak merasa harus merahasiakan hal ini dari Ibu, karena lambat laun pada akhirnya Ibu akan mengetahuinya juga. Tambah saat ini dia penasaran dengan reaksi Ibunya ketika mendengar Akmal akan segera menikah. "Dia ingin membicarakan sesuatu denganku. Karena itu dia memintaku untuk bertemu dengannya di Kafe yang ada di ujung jalan perumahan ini."
Ibu masih tetap dengan wajah sinisnya, diam, tak mengatakan apapun seolah-olah tidak peduli sedikitpun dengan nasib Akmal, dan Vikrama sendiri menyimpulkan bahwa Ibu masihlah seperti Ibu yang dulu. Tetapi, tiba-tiba Ibu mengatakan sesuatu yang membuat Vikrama sendiri juga merasa terkejut, "Bagaimana kabarnya?" tanyanya.
"Baik. Mungkin lebih baik dari ketika dia tinggal di rumah ini," jawab Vikrama secara blak-blakan, tetapi Ibu tidak bereaksi secara berlebihan.
"Apa dia benar-benar akan menikah dengan kekasihnya?"
"Iya."
Ibu menghela napas berat. "Kamu yakin?"
"Iya, kami sudah membicarakannya. Itu adalah alasan mengapa Akmal memintaku untuk bertemu dengannya."
Ibu kembali menghela napas berat, tetapi kali ini lebih berat dari sebelumnya.
"Sepertinya aku sudah tidak bisa melarangnya lagi," kata Ibu, tatapannya terlihat begitu pasrah. "Jika dia ingin menikah, lakukan saja, aku tidak akan menghentikannya."
"Apa Ibu akan membiarkannya begitu saja?" tanya Vikrama, sedikit merasa heran karena tidak seperti dulu yang selalu sempurna dengan keinginannya.
"Iya, memangnya apalagi yang bisa Ibu lakukan?" kata Ibu dengan mata sayunya.
"Apa Ibu tidak akan pernah peduli lagi padanya?" tanya Vikrama terus menerus, dia sangat penasaran dengan reaksi yang diberikan oleh Ibunya.
Ibu yang semula pandangannya tertuju ke depan, kini mengarah pada Vikrama yang berada di sampingnya, terlihat bahwa itu menatap wajah Vikrama dengan raut penuh rasa heran, "Tidak peduli? apa maksudmu?" tanyanya dengan agak sedikit menaikkan nada suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflower
Teen FictionAnak-anak terlahir karena keegoisan orang tua. Mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan, mereka juga tidak bisa memilih oleh siapa mereka dilahirkan. Sangat adil jika kamu terlahir dengan keluarga yang baik, tapi ketika kamu terlahir dengan kelu...