14. Perkelahian

41 30 4
                                    

Akhir pekan telah selesai, di kamarnya, Vikrama berdiri, bersandar pada tepi jendela seraya menatap matahari mulai terbit, menunjukkan sinarnya yang indah pada dunia. Vikrama tiba-tiba terpikirkan kembali tentang alasan mengapa ia kembali ke tempat ini, dia berpikir keras tentang itu, tapi ia sadar bahwa dirinya harus segera bersiap-siap pergi ke kemar mandi, karena sekarang sekolah sudah kembali dimulai.

Apakah memaafkan seseorang itu semudah ia mencabut daun dari dahannya?

Setelah apa yang terjadi kemarin dan hari-hari sebelumnya, Vikrama berharap bahwa Tarani datang ke sekolah dan duduk di sebelahnya. Dia ingin hubungannya dengan Tarani menjadi sedikit lebih dekat dari sebelumnya dan juga ia sudah tidak sabar ingin segera membicarakan suatu hal sederhana bersama dengan Tarani. Tidak peduli kemana arah pembicaraan itu akan mengarah, ia hanya ingin terus berada dekat dengan Tarani.

"Jangan bolos!" kata Akmal, memberikan peringatan pada Vikrama yang sebelumnya bolos; tidak datang ke sekolah bersama dengan Tarani. "Aku tahu, untuk anak-anak sepertimu itu sangat menyenangkan, tapi di masa depan nanti kamu mungkin akan menyesalinya!"

Vikrama memelas, memalingkan wajahnya seraya membuka pintu mobil dengan perlahan, "Iya aku paham ... lagipula mana ada masa depan untuk pria suram sepertiku," kata Vikrama pelan, bahkan nyaris tidak terdengar oleh Akmal.

"Setiap orang memiliki masa depan, entah sesuram apapun hidupmu, masa depan tetap akan ada, hidup atau buruk kamu harus menerimanya," kata Akmal yang sepertinya mendengar ucapan pelan Vikrama.

Jika boleh jujur, sekolah ini terasa begitu megah dan luar biasa. Fasilitas yang diberikan oleh sekolah untuk para murid, yang entah digunakan untuk mata pelajaran atau sekedar kegiatan ekstrakurikuler, sangatlah lengkap. Tidak heran jika ada banyak sekali siswa dan siswi berprestasi datang ke sekolah ini. Di tambah, kita juga dapat dengan mudah mendapatkan beasiswa dan masuk ke dalam universitas yang kita inginkan.

"Pantas saja, Ibu mendaftarkanku ke sekolah ini." Vikrama duduk di kursinya, dengan lesu ia menatap kursi Tarani yang kosong di sebelahnya. "Tapi tidak masalah, karena dengan itu akhirnya aku bisa bertemu dengannya."

Kini hormon kebahagiaan dalam dirinya meluap. Ia sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan Tarani, ada banyak hal yang ia ingin tanyakan padanya, seperti: apa makanan favoritnya? apa kesukaannya? apa cita-citanya? dan beberapa hal yang tak sempat ia tanyakan pada Tarani. Kemarin saat hendak bertanya, tiba-tiba Tarani di telepon oleh pacarnya dan pada akhirnya dia harus terpisah, dan dia berjalan pulang ke rumahnya dengan sedikit perasaan hampa.

Sepuluh menit sebelum bel masuk berdentang, Tarani berjalan masuk ke dalam kelas dengan santainya, dan untuk memberi Tarani akses duduk ke kursinya, Vikrama bangkit dari tempat duduknya dan mempersilahkan Tarani yang tengah menutup mulutnya (menguap) untuk duduk di kursinya yang bersebelahan dengan jendela kelas.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Vikrama yang sadar betapa merahnya mata Tarani.

Tarani diam, memandang langit biru, lalu menatap wajah Vikrama dengan senyumannya yang seperti biasa, "Iya tentu, kenapa memangnya?" tanya balik Tarani.

"Bukan apa-apa, matamu sangat merah, apa semalam kamu tidak bisa tidur?" Vikrama kembali bertanya. "Atau sebelumnya kamu mengonsumsi sesuatu? kamu paham dengan apa yang kumaksud'kan?"

"Mengonsumsi apa maksudmu?" Tarani tertawa pelan. "Jika aku mengonsumsi itu sebelum pergi ke sekolah, berarti sudah ada yang salah dengan pola pikirku ... aku tidak segila itu."

Iya itu benar. Untuk sesaat, Vikrama setuju dengan apa yang dikatakan oleh Tarani. Meskipun sebelumnya ia beranggapan bahwa Tarani sedang mengonsumsi obat-obatan, tapi ia sekarang bersyukur karena Tarani tidak sedang dalam pengaruh obat-obatan. "Lalu, kalau bukan karena itu, karena apa?"

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang