26. Pernikahan

48 27 2
                                    

Masuk ke dalam kamar, melempar baju yang telah ia lepas sebelumnya ke sembarang tempat. Kemudian merasa lega karena dapat melepas semua ekspresi yang selama ini selalu ia sembunyikan; Rasa sedih, bimbang, dan tak tahu apa yang harus dilakukan, itu semua ia tampilkan dalam wajah datarnya.

"Apakah yang kulakukan sekarang sudah benar?" tanya Vikrama pada dirinya sendiri, berdiri di depan jendela, matanya terpaku pada rembulan yang sedang bersinar dengan terang di atas langit. "Aku harap ada seseorang yang memberitahuku jika keputusan yang kuambil saat ini salah, atau mungkin benar, aku tidak tahu."

Lesu, melompat ke atas ranjang, dengan posisi duduk ia menyandarkan tubuhnya ke belakang. Dalam saku celananya, ia mengambil beberapa butir obat yang ia ambil dari Tarani sebelumnya. Jika melihat obat berwarna putih ini, dia selalu teringat dengan apa yang dilakukannya dahulu, obat-obat ini telah merubah hidupnya.

"Meski bukan pilihan yang baik. Tapi hanya dengan benda-benda kecil seperti inilah, aku merasa baik-baik saja," kata Vikrama seraya memandangi sebutir obat yang dengan teliti. "Padahal aku tahu ketika terbangun nanti, semuanya menjadi semakin buruk, atau bahkan akan menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Tapi, meski hanya berlangsung sesaat, obat ini memberikan semua yang kita inginkan. Tidak ada hal yang lebih baik, selain berhenti memikirkan hal-hal rumit."

Sebelumnya, saat akan berpisah dengan Tarani, Vikrama mengatakan untuk meneleponnya jika membutuhkan sesuatu. Karena itulah saat ini terus menerus menunggu nada dering berkumandang dari dalam ponselnya, tentu saja,ini bukan berarti bahwa ia mengharapkan Tarani mendapatkan masalah, tetapi karena ia ingin terus berbicara dengan Tarani, mendengar suaranya yang lembut dan mendengar tawanya yang semerdu seekor burung yang sedang bernyanyi dengan bebas di atas pohon.

"Seharusnya tadi aku mengatakan untuk meneleponku, meskipun hal-hal baik terjadi." Vikrama menghembuskan napas kasar, merasa begitu kecewa dan berharap agar dapat kembali ke masa lalu hanya untuk mengatakan pada Tarani agar menghubunginya. "Sial, aku ingin bertemu dengannya!"

Selang waktu berlalu, Vikrama berpikir mungkin Tarani baik-baik saja dan memutuskan untuk pergi tidur. Namun, ketika ia mencoba menutup matanya, bayangan Tarani dalam kepalanya semakin menguat, ia sangat khawatir akan terjadi sesuatu pada Tarani. Sebab, meskipun mendapatkan masalah, dia tahu bahkan Tarani takkan pernah menghubunginya. Orang-orang seperti Tarani tidak akan meminta bantuan pada orang sekitar karena merasa tidak ingin merepotkan orang lain atas masalahnya. Ia tahu karena dulu juga ia begitu.

Rasa khawatirnya pada Tarani membuatnya lupa dengan segalanya, bahkan pada dirinya sendiri.

Baru saja beberapa detik memejamkan kedua matanya dan hendak terlelap dalam tidurnya, suara berisik panggilan telepon dalam ponselnya membuatnya terbangun dan dengan cepat meraih ponsel di sampingnya, ia mengira itu panggilan dari Tarani. Namun, begitu melihat nama Akmal terpampang begitu jelas dalam layar ponselnya, ia menghela napas karena merasa kecewa bukan Tarani yang meneleponnya.

"Ada apa?" tanya Vikrama begitu mengangkat teleponnya dengan lesu.

"Apa kamu sudah tidur? maaf jika aku membangunkanmu. Ada beberapa hal yang harus kubicarakan denganmu sekarang, ini sangat penting. aku akan mengirimkan lokasi tempatnya kepadamu di pesan."

Setelah mengatakan itu, Akmal dengan segera mematikan panggilan teleponnya dan langsung mengirimkan lokasi tempat untuk mereka bertemu. Vikrama menekan link yang dikirimkan oleh Akmal, dan ternyata tempat itu terlalu jauh dengan rumahnya, hanya berjarak sekitar 300 meter dari sini. Ia hanya pergi menemui Akmal dengan memakai celana jeans dan kaos hitam berlengan pendek, yang kemudian ia lapisi dengan sweater.

Malam ini, cuaca di kota Bandung terasa begitu dingin, meski telah memakai sweater, rasa dingin ini masih seakan menusuk-nusuk tubuhnya secara perlahan, dan cukup aneh ketika ia melihat seorang wanita yang berpakaian minim, memamerkan berlian mereka, tanpa sedikitpun merasa kedinginan. Mereka (wanita-wanita yang memakai pakaian minim) berjalan dengan anggunnya, seolah-olah tak pernah kenal dengan rasa dingin.

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang