Orang-orang yang menilai wajahnya saja mungkin mengira bahwa Tarani dengan sengaja terlihat datar untuk menutupi rasa malunya. Tapi, sejujurnya dia tak peduli dengan rumor-rumor buruk yang menyebar tentang dirinya. Dia sudah tak peduli dengan kehidupan yang memang selalu membuatnya menderita.
Tertekan, hampa, menderita.
Dia ingin memberitahu semua orang jika dia ingin mati, disaat dia sendiri tidak bisa mati. Dia ingin hidup, disaat dia sendiri tidak bisa hidup. Irasional sekali bukan?
Padahal dia hanya ingin seseorang memujinya hanya karena dia telah hidup.
Tarani melipat kain jaket yang menutupi tangannya. Seulas senyum palsu terpancar dalam wajahnya begitu melihat banyak goresan luka yang masih nampak baru pada pergelangan tangannya.
Saat bersedih, ia menyayat pergelangan tangannya, saat kecemasan melanda, ia menyayat pergelangan tangannya, dan setiap kali ia merasa baik atau buruk, ia akan menyayat pergelangan tangannya. Dia merasa heran karena tidak merasakan sakit ketika menggores pergelangan tangannya, meski ada banyak sekali darah bercucuran, tapi itu tetap tidak membuatnya mengerang kesakitan.
Sendirian.
Tarani membuka jendela kamarnya, duduk di atas balkon, dan membiarkan kakinya menjuntai keluar. Sebatang rokok yang di selipkan di sela-sela jari tangan kanannya, dengan sebuah botol alkohol yang ia pegang pada tangan lainnya, adalah satu-satunya yang menemani dirinya di saat-saat penderitaannya. Entah sudah se-rusak apa organ-organ di dalam tubuhnya, hingga seringkali muntahan darah keluar dari dalam mulutnya.
Setiap saat, ketika ia sedang duduk di atas sini, ia seringkali berpikir untuk melompat lalu mati. Tapi ternyata itu tak semudah yang ia pikirkan. Memangnya jika kau melompat, apakah itu akan membuatmu mati? bahkan terkadang hanya untuk mati saja terasa begitu sulit.
Tarani memikirkan kembali masa lalunya. Tarani tersenyum, "Aku membenci kedua orang tuaku. Tetapi disaat yang bersamaan aku berharap hari itu akan tiba, hari di mana mereka akan mencintaiku." Menghembuskan napas berat dengan tetap mempertahankan senyumannya, "Padahal itu hanya cerita bodoh."
Menutup matanya, membayangkan bahwa tidak akan ada lagi orang yang menginginkan keberadaannya, "Dunia ini seperti permainan keberuntungan," kembali membuka matanya dan berkaca-kaca, "Beruntung atau tidaknya seseorang telah ditentukan sebelum manusia itu terlahir," tersenyum, begitu berat untuk menghembuskan nafas, "Aku tahu ini terdengar egois, karena sebenarnya aku ingin orang-orang tahu, jika aku tidak ingin menjadi anak yang jahat."
Tarani melemparkan tubuhnya ke atas kasur dan membiarkan rambut hitam panjangnya menjuntai, menyentuh dinginnya lantai.
"Aku ingin menghilang dari kehidupan ini ... entah se-keji apapun perbuatan mereka, se-sampah apapun sifat mereka, seberapa banyak mereka membuatku kecewa, pada akhirnya aku tidak benar-benar bisa membenci mereka."
Tetap mempertahankan posisinya, Tarani mengambil sebuah botol kaca yang tergeletak di atas lantai kamarnya.
"Bagiku mereka adalah segalanya, tidak ada pilihan lain selain bergantung pada mereka," ucap Tarani seraya menggelengkan kepalanya, "Karena itu, aku ingin menghilang dari dunia ini." Lalu melemparkan botol yang dipegangnya ke sembarang arah hingga terpecah menjadi potongan-potongan kecil. "Aku ingin pergi menuju dunia, di mana hanya ada terdapat aku dan diriku."
Tidak memiliki kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh anak-anak muda yang seumuran dengannya; mengejar mimpi, percintaan, melakukan beberapa hal yang disukai, Tarani tak peduli dengan semua itu. Dirinya sudah terlalu lelah untuk memulai sebuah ambisi, itu tidak ada artinya dan hanya membuang-buang waktu saja. Tarani kembali bangun dari posisi tidurnya, untuk menyalakan sebatang rokok yang telah ia simpan pada ujung mulutnya. Api menyala, membakar ujung rokok, kemudian ia menghisap rokoknya dengan perlahan seraya menatap kosong ke arah jendela.
Gumpalan asap keluar dari dalam mulutnya. Lalu, tak lama ia tiba-tiba terbatuk-batuk batuk hingga mengeluarkan banyak darah dari dalam mulutnya. Tubuhnya seolah memberitahu, bahwa ia telah mencapai batasnya. Namun, alih-alih berhenti, Tarani mengambil sebuah pil ekstasi dan botol alkohol dari dalam kardus, yang sengaja ia sembunyikan di bawah kasur.
Dia memakan obat dan meminum alkohol secara bersamaan, tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada tubuhnya, dia hanya tidak ingin efek ini berhenti dan membuatnya meracau seperti sebelumnya. Tetapi efek samping yang ia terima membuat pikirannya semakin kacau, dan setiap kali ia mengalami hal seperti ini, Tarani selalu mengambil sebilah pisau tajam, untuk menyayat pergelangan tangannya, dan anehnya ia merasa sangat nyaman.
"Ini sakit," gumam Tarani seraya menghisap rokoknya. "Tapi setelah semua yang kurasakan, rasa sakit ini tidak ada apa-apanya."
"Mati lebih baik daripada hidup. Semua orang akan bahagia jika kamu mati," ucap seorang wanita yang sekarang tiba-tiba berdiri di dekatnya.
Tarani menggelengkan kepalanya dengan cepat, menolak semua bisikan yang berkumpul di kepalanya.
Tapi wanita itu tetap meneruskan perkataannya. "Orang tuamu menginginkanmu mati. Mereka tidak ingin memiliki anak gagal sepertimu, bagi mereka kamu hanyalah anak yang tak sengaja mereka urus. Karena itulah kenapa mereka membuangmu."
Tarani menutup kedua telinganya dengan sangat rapat, lalu menggelengkan kepalanya lagi dan berteriak. "Tidak, kamu salah."
"Apakah mereka pernah mengatakan bahwa mereka bangga telah memilikimu?" tanya Wanita terus memojokkan Tarani yang berusaha menyangkalnya.
"Diam!"
"Apakah mereka pernah mengatakan sekalipun bahwa jika mereka mencintaimu?"
"Diam!"
"Ayahmu pergi dengan wanita lain, Ibumu pergi setelah semua omong kosong yang dia berikan, bahkan Kakakmu juga pergi meninggalkanmu seorang diri dan membuatmu menderita. Dan sekarang kamu berkhayal bahwa semuanya kembali baik-baik saja. Betapa lucunya kondisi hidupmu saat ini ...."
"Diam!" Tarani bangun dari tidurnya seraya melempar botol yang dipegangnya. Dia berlari, membenturkan kepalanya pada dinding berulang kali, "Pergi dari kepalaku sialan!"
Tapi suara wanita itu tetap tidak berhenti, "Mereka yang kamu anggap sebagai teman, pacar, apakah di antara mereka semua ada orang yang peduli kepadamu?" tanya Wanita itu seraya tersenyum dan membuat Tarani menjadi semakin lebih gila.
"Jangan katakan!"
"Hadapi kenyataan, jangan alihkan matamu. Kamu pikir dengan melakukan semua itu akan membuat segalanya menghilang? jangan naif, kamu tidak lebih hanya sesosok manusia yang terlahir hanya untuk menderita."
Darah menetes mengotori ubin lantai kamarnya, terduduk lemas dengan kepala yang masih menempel pada dinding. Benturan yang dia lakukan secara sengaja, membuat tulang dahinya sedikit mengalami kerusakan dan itu membuat rasa sakit dalam dirinya menjerit.
"Kamu terus melarikan diri. Berlari dan terus berlari tanpa pernah berusaha untuk menghadapinya."
Tarani berdecak kesal, membalikkan tubuhnya dengan cepat, dan melihat bayangan seorang wanita tengah berdiri di depan wajahnya. Senyuman wanita itu terasa nyata untuknya, seolah-olah wanita itu memang sedang berdiri di depannya.
"Kamu pikir selama ini aku hanya diam saja? aku telah mengerahkan segalanya, aku melakukan semua yang kubisa. Dan sekarang kamu masih mengatakan jika aku tak pernah berusaha sedikitpun," teriak Tarani dengan sangat kencang. "Sial, aku menjadi seperti ini, karena aku berusaha terlalu keras."
"Usaha keras apa memangnya yang telah kamu lakukan selain menghabiskan dirimu dengan barang-barang bodoh seperti ini?"
Bayangan wanita itu berjalan mendekati Tarani, mendekat dan terus mendekat hingga membuat Tarani terkejut begitu melihat wajahnya.
"Yang bisa Kamu lakukan hanya menangis dan menangis, dan berharap jika semuanya akan berakhir dengan baik, dan sekarang lihat, apa yang kamu dapat dengan harapan kosong itu? apa yang kamu dapat dari harapanmu pada manusia? apa yang kamu lakukan selain mengutuk dunia dan orang-orang di sekitarmu? apa yang telah kamu lakukan ...."
"Diam! diam! diam!" Tarani menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Tersungkur lemas di dekat tempat tidur, tatapan hampa yang diperlihatkan, terlihat begitu menyedihkan dan tidak enak untuk dilihat. "Aku bilang diam sialan!"
".... Selain mengharapkan kebahagiaan akan datang jika terus bertahan hidup? ingatlah bahwa tidak ada satupun yang peduli padamu saat ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflower
Teen FictionAnak-anak terlahir karena keegoisan orang tua. Mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan, mereka juga tidak bisa memilih oleh siapa mereka dilahirkan. Sangat adil jika kamu terlahir dengan keluarga yang baik, tapi ketika kamu terlahir dengan kelu...