16. Rumah

45 29 2
                                    

Pada saat malam tiba, adalah waktunya bagi Tarani untuk menangis tanpa air mata dan merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan. Banyak orang mengatakan jika rumah adalah tempat ternyaman di dunia, kehangatan keluarga, masakan Ibu, candaan Ayah, dan lain-lain sebagainya. Itu adalah hal-hal sederhana yang selalu membuat kita merasa lebih baik. Namun, dengan alasan apa dan kenapa Tarani tak pernah merasakan semua perasaan itu? untuk apa dia dilahirkan, jika pada akhirnya dia terlahir hanya untuk menderita seperti ini? apakah entitas cerdas nan berkuasa itu sengaja membuat Tarani seperti ini hanya untuk sekedar hiburan semata baginya?

'Apakah aku mengakhiri hidupku saja?'

Kali ini, itu adalah pertanyaan pertama yang seringkali muncul dalam benaknya. Pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang dalam benak kepalanya setiap saat. Tarani membakar rokok lintingan miliknya, kemudian memasukkan sebutir pil ekstasi ke dalam mulutnya, yang kemudian setelah itu ia juga membuka sebotol alkohol. Dengan semua itu ia berharap dapat menghilangkan rasa takut dan cemas dalam dirinya, serta memberikan kesenangan tertentu yang tak pernah bisa ia rasakan.

"Aku sudah muak dengan semua ini!" suara Ibunya berteriak.

"Iya, aku juga sama, aku juga sudah muak dengan tingkah lakumu yang selalu menyalahkan diriku!" teriakan balasan dari Ayahnya.

Teriakan-teriakan dan lemparan-lemparan kaca terdengar begitu keras dari luar kamarnya. Pertengkaran kedua orang tuanya tak kunjung berhenti, entah itu saat ia akan pergi ke sekolah atau saat ia akan segera terlelap tidur, seolah-olah mereka dibuat kecanduan olehnya. Kenapa dia harus memiliki kedua orang tua bodoh seperti mereka? kenapa dia harus terlahir dari darah menjijikkan mereka? dia tidak bisa memilih dengan siapa dia dilahirkan, tapi setidaknya entitas itu, memiliki kuasa untuk melakukan hal tersebut. Namun, kenapa dia hanya diam saja dan melihat seorang hambanya menderita di sini?

Apa karena Tarani hanyalah seorang pendosa? atau apa karena dia hanya seorang wanita murahan, sehingga dia tak layak diperhatikan oleh entitas tersebut? bukankah dari awal ini adalah salahnya, karena telah membuat Tarani terlahir oleh dua orang sialan itu?

Dengan menggenggam sebotol alkohol dan mengapit sebatang rokok di sela-sela jarinya, Tarani menari-nari di bawah sinar rembulan yang masuk melalui jendela kamarnya. Sesekali ia tertawa seperti orang gila, diiringi dengan lagu indah dari teriakan kedua orang tuanya. Dia menari, menari, dan terus melakukan tarian aneh, wajahnya tersenyum, menikmati setiap tegukan alkohol masuk ke dalam rongga mulutnya. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia selalu meyakini rumah bukanlah tempat ternyaman seperti yang dikatakan orang-orang.

Sementara disisi lain, Vikrama baru saja tiba di kediamannya. Di ruang tamu nampak Ibu dan Feri duduk bersama di atas sofa, menonton sebuah acara televisi komedi yang bahkan tidak sedikitpun membuat mereka tertawa. Vikrama hanya menutup pintu, berjalan masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan keberadaan Ibu dan Ayah Tirinya.

"Dari mana saja kamu Vik?" tanya Ibunya yang membuat langkah Vikrama terhenti di dekat tangga. "Jam segini baru pulang."

Vikrama membalikkan tubuhnya seraya menghela napas kesal, "Aku sudah besar Bu, aku bebas pergi ke manapun," katanya.

"Ibu hanya bertanya," kata Ibunya lagi, dengan mengerutkan keningnya, karena merasa heran dengan sifat Vikrama yang tiba-tiba berubah. Dalam pikirannya, Ibunya bertanya-tanya, apakah terjadi sesuatu pada Vikrama di sekolah?

"Aku pergi ke Toko Buku." Vikrama mengeluarkan sebuah buku yang baru saja dibeli olehnya dari dalam tas. "Aku pulang lama, karena aku pulang sekolah dengan kedua kakiku."

"Iya, ok. Ibu hanya ingin tahu ke mana kamu pergi, tidak lebih. Ibu khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadapmu."

Vikrama terkekeh pelan, betapa lucunya kalimat yang dilontarkan oleh Ibunya. Khawatir? Vikrama berpikir bahwa Ibu hanya tidak ingin kehilangan salah satu aset investasi-nya. Vikrama tersenyum pada mereka berdua. "Iya, terima kasih sudah mengkhawatirkanku Bu!"

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang