23. Ironi

53 27 3
                                    

"Kamu yakin tidak mau diantar pulang sampai ke depan rumah?" tanya Vikrama begitu Tarani turun dari atas motornya. "Mungkin aku bisa me-"

Dengan tersenyum, Tarani menyela perkataan Vikrama, "Tidak, aku harus melakukan ini sendiri. Aku tidak bisa terus menerus merepotkanmu karena masalahku," ungkapnya.

"Iya, kupikir itu bukanlah sebuah masalah, aku gak ngerasa direpotin juga." Vikrama mengacak-acak rambut Tarani, yang dengan segera Tarani hempaskan dengan tangannya. "Mungkin menyelesaikan masalahmu sendiri, tanpa merepotkan orang lain itu adalah suatu hal yang menakjubkan. Tapi terkadang meminta pertolongan orang lain bukanlah sesuatu yang buruk."

"Iya, terima kasih!" Tarani hanya tersenyum, meniup kedua telapak tangannya yang mulai terasa dingin. "Tapi untuk saat ini, aku ingin melakukannya seorang diri.

Vikrama sebenarnya paham dengan keinginan Tarani untuk tidak merepotkan siapapun, hanya saja dia terlalu khawatir untuk meninggalkan Tarani seorang diri, terlebih dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh orang-orang semacam Tarani apabila kenyataan tidak berjalan dengan sesuai ekspektasinya.

Tarani menutup kepalanya dengan menggunakan hoodie jaketnya, "Kalau gitu, sampai jumpa lagi!" katanya, lalu berbalik, berjalan pergi meninggalkan Vikrama seorang diri.

Sial, itu sangatlah luar biasa. Kecantikan yang dilihat Vikrama pada diri Tarani tadi benar-benar diluar ekspektasinya. Ia bahkan berpikir, bahwa dirinya kini telah menjadi seorang pecandu kembali. Namun, bukan seperti dahulu yang candu pada obat-obatan, minuman beralkohol, atau rokok, tapi pada sebuah senyuman yang membuat dirinya merasa hanyut. Bagi Vikrama, Tarani adalah seseorang yang memberikannya sebuah alasan.

"Seharusnya aku memotret itu, sial."

Sepanjang perjalanan, Tarani selalu meniup kedua tangannya. Selain untuk memberikan sensasi hangat, ia juga merasa senang ketika menghirup aroma harum yang terpancar dalam jaket yang dipinjamkan oleh Vikrama kepadanya. Aroma yang terhirup terasa begitu khas dan memberikan rasa nyaman, seperti seolah-olah Vikrama selalu berada di dekatnya. Sebenarnya, jika boleh jujur, Tarani ingin Vikrama tetap berada di dekatnya, merangkulnya, tetapi dia tidak bisa terus menerus bergantung pada orang lain. Semua orang memiliki kesibukan, dan dia tidak bisa menganggu kehidupan seseorang karena masalahnya.

Dalam hatinya, Tarani menguatkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Tidak akan ada lagi teriakan dan barang yang terlempar. Keluarga manis menyambut kedatangannya dengan senyuman. Dan dia akan mengatakan semua keluh kesahnya selama ini pada orang tuanya, dan mungkin itu akan membuat mereka tersadar bahwa perbuatan mereka itu membuatnya menderita.

Namun, ternyata dunia tidak sebaik itu. Ketika masuk ke dalam rumah, dan hendak membuka pintu kamarnya. Tarani melihat Ayahnya keluar dari dalam kamar, menutup pintu dengan wajah kusam, seraya menenteng sebuah koper besar di belakangnya: yang kemungkinan besar berisi pakaian-pakaian dan barang pribadi milik Ayahnya.

Tarani kembali menutup pintu kamarnya yang sudah sedikit terbuka dengan perlahan. Dengan langkah kaki yang tergesa-gesa, ia berjalan mendekati Ayahnya, "Ayah mau pergi ke mana?" tanyanya seraya menatap tajam punggung Ayahnya.

Ayah Tarani menghentikan langkah kakinya karena sedikit terkejut, padahal ia sudah berusaha agar Tarani tidak mengetahui kepergiannya. Ia membalikan tubuhnya, sorot mata Tarani begitu tajam, ia sadar akan kemarahan yang terpancar dalam sorot mata Tarani. "Ayah akan pergi." Sebenarnya Ayahnya ingin berbohong dengan mengatakan ia akan pergi keluar kota untuk urusan perusahaan. Tetapi, sepertinya itu tidak mungkin, karena Tarani sudah mengetahui semuanya, dan juga ia sudah terlalu lelah berbohong.

"Ayah akan pergi meninggalkanku dengan Ibu?" tangannya terkepal erat. "Menelantarkan kami begitu saja setelah semua apa yang terjadi?"

Ayah Tarani mengangkat sebelah alisnya, lalu mendesah lesu dan melepaskan koper yang dipegangnya untuk berjalan mendekati Tarani yang sepertinya akan segera menangis, "Ayah minta maaf, tapi ini adalah salah satu hal yang telah ayah dan ibumu putuskan bersama," katanya sembari mengusap pelan wajah Tarani.

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang