Bab 5

5.3K 434 11
                                    

Happy Reading !!!

***

“Mbak Icha, ada titipan,” langkahku terhenti ketika baru saja menampakkan kaki di lobi, dan seorang resepsionis yang cukup dekat denganku melambaikan tangannya memanggil.

“Titipan apa?” keningku berkerut heran, menghampiri Nila yang berdiri di depan meja resepsionis.

“Makanan. Driver-nya bilang untuk sarapan Mbak Maricha Pricila dari Mr. N,” jawabnya dengan tatapan menggoda. Membuatku mendengus dan menerima kantong berlogo sebuah restoran itu dengan pikiran yang lagi-lagi tertuju pada si pengirim yang belum aku tahu kebenarannya, pasalnya jika Pak Naren, kenapa semalam pria itu tidak membahas bunga tulip yang kubawa? Apa mungkin bukan bos tampan itu yang menjadi secret admirer-ku? Siapa pun itu, aku harap tidak ada maksud jelek di dalamnya.

“Ya udah, deh, La, terima kasih,” kataku seraya melangkah masuk sambil membawa makanan yang entah diberikan oleh siapa, yang jelas aku berterima kasih, karena kebetulan juga aku belum sarapan sebab tidak sempat mengingat hari ini motorku tidak ada, yang mana itu mengharuskan aku pergi lebih awal agar tidak telat sampai di kantor.

“Mbak Icha gak niat ngasih aku?” teriakan Nila menghentikan langkahku yang hampir tiba di depan lift yang sudah di tunggu cukup banyak orang.

“Enggak La, makanannya ada racunnya,” jawabku sedikit berteriak agar resepsionis cantik itu dapat mendengar, tapi tidak aku hiraukan teriakannya yang lain, yang menanyakan kebenaran dari apa yang kuucapkan barusan.

“Bisa banget bohongin orang,” bisikan itu aku dengar dari arah belakang dengan suara yang begitu amat pelan, dan ketika menoleh kudapati sosok Pak Naren di sana, sama-sama menunggu lift terbuka. Sebenarnya ada lift yang khusus untuk para petinggi, tapi berhubung sejak kemarin lift itu belum selesai di perbaiki jadilah semua menggunakan lift karyawan termasuk Pak Naren. Sialnya, kenapa harus aku yang bersamanya.

Tidak ada jawaban yang aku beri untuk kalimat sarat akan cibiran bos tampanku itu selain cebikan diam-diam karena tidak ingin orang lain memergoki dan menganggapku tidak sopan pada atasan sendiri, meskipun aku akui, berkali-kali aku sudah melakukan itu sejak semalam.

Ketika lift terbuka aku berniat untuk cepat-cepat masuk ke dalam, tidak ingin lebih lama berada dekat dengan Pak Naren, selain itu karena aku ingin segera menikmati sarapanku sebelum jam kerja di mulai. Namun sayang, belum berhasil kakiku menyentuh lantai besi itu peringatan muatan maksimum mengurungkan langkahku untuk masuk.  Dan sialnya Pak Naren menolak ketika salah satu karyawan menawarkan tukar posisi. Jadilah aku terjebak bersama pria itu di sini, di dalam lift yang hanya di sini oleh kami berdua, karena memang aku dan dialah yang tersisa setelah lift sebelumnya penuh.

“Motor saya gimana, Pak?” tanyaku memecah keheningan. Penasaran juga dengan si ungu kesayanganku yang pagi ini tidak menemani perjalananku seperti biasanya.

“Mana saya tahu,” jawabnya seraya mengedikkan bahu cuek.

“Ish, Pak!” geramku sebal dan hendak melayangkan pukulan, tapi beruntun aku sadar dengan cepat, hingga kepalan tanganku berhenti di udara. Dalam hati aku terus saja mengintrupsikan agar sabar menghadapi pria di samping, yang tak lain adalah atasanku sendiri.

“Usia kamu berapa sih, Cha?”

“Ngapain tanya-tanya?” sewotku mendelik.

“Tidak, hanya saja ekspresi kesal kamu lucu, saya jadi gemas!” ujarnya dengan tangan refleks bergerak mencubit pipiku yang sedikit mengembung akibat dari cemberutku. Dan hal itu membuatku terdiam, menatap Pak Naren yang juga ikut diam dengan pandangan yang saling mengunci untuk beberapa saat sebelum pria itu menurunkan tangannya perlahan dari pipiku dengan raut salah tingkah, tidak jauh berbeda denganku yang juga berubah canggung. Beruntung tak lama kemudian lift berhenti di lantai ruang kerjaku, jadi cepat-cepat aku bisa terbebas dari kecanggungan tersebut, meskipun detak jantung yang menggila masih sulit aku tenangkan.

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang