Bab 10

4.5K 352 8
                                    

Happy Reading !!!

***

Karena bingung ke mana harus pergi, pada akhirnya Pak Naren membawaku ke sebuah pusat perbelanjaan, membeli tiket bioskop dan berakhir kami terdampar di sebuah ruangan gelap yang di isi cukup banyak orang, berjejer duduk demi menikmati tayangan yang tersaji di depan. Sebuah Film horor yang sedang ramai diperbincangkan dikalangan muda mudi yang menggemari berbagai sajian bioskop. Tidak termasuk aku, karena jujur saja aku lebih menyukai membaca dari pada menonton. Menurutku ceritanya lebih detail dan mudah dihayati. Tapi karena ini kami sedang tidak memiliki arah tujuan, jadi aku nikmati saja Film yang tengah berputar.

“Kamu tidak takut?” bisikan itu aku dengar tepat di depan telingaku, membuat hembusan napas dari Pak Naren dapat sedikit aku rasakan.

Aku menggeleng lalu meliriknya sekilas. Dari kegelapan ini aku dapat melihat wajah tampan Pak Naren yang entah mengapa selalu membuatku deg-degan, terlebih dalam jarak sedekat ini.

“Membaca bukunya akan lebih menyeramkan lagi Pak,” kataku karena memang sebelum Film tayang ada pemberitahuan bahwa Film ini diambil dari sebuah buku yang penulisnya cukup aku tahu walau tidak pernah kenal.

“Aaa!!” jeritku tak kala suara menyeramkan terdengar bersamaan dengan sosok hantu yang muncul mengejutkan. Membuatku refleks menarik Pak Naren untuk bersembunyi.

“Katanya gak takut,” bisikan itu aku dengar begitu jelas sarat akan sebuah ejekan, membuatku menarik diri dan menatap tajam Pak Naren yang berusaha menahan geli.

Kesal. Itu yang aku rasakan dan tak segan-segan aku melayangkan pukulan-pukulan kecil pada dadanya yang malah membuat Pak Naren semakin tertawa walau dengan suara yang berusaha dikendalikan karena tidak ingin membuat orang-orang terganggu.

“Aku terkejut bukannya takut!” dengusku kesal, lalu menatap ke depan dengan perasaan jengkel.

“Kamu tidak pernah berubah, Cha,” samar kudengar gumaman itu, membuat kepalaku kembali berpikir apa mungkin mereka pernah mengenal sebelumnya?

“Pak—”

“Filmnya sudah selesai, yuk keluar,” kalimatku terputus oleh Pak Naren yang kini sudah berdiri dengan tangan terulur.

Menyimpan segala rasa penasaran, aku memilih untuk menerima uluran itu dan bangkit dari duduk, mengikuti langkah Pak Naren keluar dari ruang teater dan berjalan-jalan tanpa arah tujuan. Sampai akhirnya kami memilih untuk pulang. Sebenarnya aku yang mengusulkan itu, karena merasa lelah. Beruntung Pak Naren menyetujuinya.

“Lho, kok, ke sini?” alisku terangkat kala Pak Naren membelokkan mobilnya ke kawasan apartemen yang beberapa waktu lalu pernah aku datangi karena kebodohan. Ya, tentu saja kebodohan karena saat itu aku memang benar-benar ceroboh dengan menumpang tanpa tahu kesediaannya mengantarku.

“Masih siang, Cha. Kamu masak, ya? Setelah makan malam aku antar kamu pulang,” katanya seraya turun dari mobil. Aku hanya bisa melongo dengan kalimat pria itu. Masak? Apakah sekarang aku akan di jadikan juru masak olehnya? Ck, yang benar saja!

“Yuk.”

Aku mendengus seraya keluar dari mobil yang pintunya sudah Pak Naren bukakan, lalu melangkah berdampingan memasuki lobi yang tidak terlalu ramai orang mengingat ini adalah apartemen yang tidak bisa sembarang orang datangi selain si penghuni dan orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan izin.

Setibanya di apartemen Pak Naren, aku malah nyelonong masuk dan menjatuhkan diri di sofa. Lelah itu cukup aku rasa karena jalan-jalan tak jelas selama berjam-jam. Tapi tidak dapat aku pungkiri bahwa ada sedikit kebahagiaan yang melingkupiku.

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang