Happy Reading !!!
***
Pernikahan Nara berlangsung hari ini, di sebuah gedung di tengah kota. Acaranya sengaja di langsungkan dari pagi hingga sore hari agar selesai tidak begitu malam. Kalau kata Billy agar malam pertama mereka tidak ditunda jadi besoknya karena terlalu kelelahan gara-gara pesta sendiri.
Memang, pengantin baru sepertinya sudah tidak sabar dengan satu hal itu, karena pada dasarnya calon pengantin selain ingin membina rumah tangga juga ingin lebih intim dengan pasangannya tanpa takut orang-orang menghakimi. Maka jangan mencibir jika ada pengantin yang tidak sabar dengan malam pertama. Termasuk Billy dan Nara sekarang yang sudah sah menjadi pasangan suami istri setelah ijab kabul berlangsung dua jam yang lalu.
Aku dan Pak Naren sengaja datang lebih awal demi menyaksikan langsung ijab kabul mereka, dan jujur aku menangis ketika Billy menjabat tangan ayah Nara dan dengan lancar pria yang aku kenal selengean itu menjawab ijab yang dilontarkan ayah dari perempuan yang sudah yakin pria itu nikahi.
Aku benar-benar terharu dan ikut bahagia dengan kebahagiaan Nara. Dan tak bohong bahwa aku pun membayangkan ada di posisi itu. Dimana pria yang aku cintai menjabat tangan ayahku dan melakukan ijab kabul atas namaku.
Ketika itu terlintas, aku refleks melirik ke arah Pak Naren yang duduk di sampingku, dan pria itu pun ternyata sedang menatapku dengan pandangan seolah tengah meyakinkan bahwa bukan hanya Billy dan Nara, tapi kami pun akan seperti itu ketika saatnya tiba. Hal yang malah membuatku semakin menangis terisak di tengah haru pasangan baru itu.
Pada akhirnya bukan Nara dan Billy yang menjadi ledekan, melainkan aku yang mendapat cibiran dari kedua pengantin itu.
“Ngiri, ya, Bu? Makanya nikah!” itu yang Billy lontarkan ketika aku dan Pak Naren menghampiri si pengantin di ruang istirahat sebelum acara resepsi di mulai.
“Cepat-cepat halalin Pak, usia Icha udah gak muda lagi soalnya. Nanti keburu keriput,” dan itu yang Nara lontarkan. Setelahnya dua pengantin itu tertawa begitu puas. Berbeda dengan aku yang merunduk malu. Sedangkan Pak Naren berhasil memberikan tendangannya pada si pengantin pria.
Puas berbincang dengan pembahasan random, kami berempat pisah karena Nara dan Billy harus siap-siap naik ke pelaminan. Pada akhirnya aku dan Pak Naren terdampar di tengah ruang gedung yang sudah terdekorasi begitu cantik. Duduk sambil menikmati hidangan yang tersedia juga hiburan yang diberikan si penyelenggara acara. Sampai satu per satu tamu undangan berdatangan termasuk orang-orang dari kantor yang tentu saja aku kenal. Seperti Pak Rino, Maya, Nila dan masih banyak lagi. Sialnya mereka menemukanku dengan Pak Naren dan menghampiri hanya demi menyapa dan memastikan bahwa mereka tidak salah lihat.
Malu, cemas, dan gugup menjadi satu. Tapi sepertinya tidak dengan Pak Naren karena pria itu terlihat biasa saja, bahkan mengobrol santai dengan Pak Rino yang datang bersama istrinya. Berbeda dengan Maya dan Nila yang justru menatapku menuntut penjelasan.
“Jadi ini alasan Mbak Icha nolak aku ajak berangkat bareng?” bisik Nila sedikit terdengar geram. Aku sadar karena bagaimanapun Nila adalah satu diantara banyaknya perempuan yang mengidolakan Pak Naren.
“Kamu ngajaknya siang, La, sementara Nara minta aku datang pagi untuk nemenin dia sampai ijab kabul. Salah kamu nolak aku ajak pagi-pagi,” akhirnya aku mampu memutuskan praduga Nila. Karena apa yang aku ucapkan memang benar adanya. Aku di minta Nara menemani sebelum duduk di samping Billy untuk melakukan ijab kabul. Dan benar aku datang lebih awal alasan utamanya untuk itu, membantu menenangkan Nara yang gugup. Tapi Nila juga tidak salah bahwa aku menolak ajakannya karena aku akan pergi dengan pasanganku.
“Terus kenapa bisa sama Pak Naren?” kali ini Maya yang memberikan tanyanya, sama geramnya dengan Nila, dan Maya terlihat tidak puas dengan alasan yang aku lontarkan tadi. Matanya memicing, membuatku merasa gugup karena terintimidasi. Aku belum siap jujur.
“Tinggal kamu ya, Cha,” belum sempat aku membuka suara demi memberi alasan untuk Maya, suara Pak Rino lebih dulu terdengar dan itu membuatku refleks menoleh, menatap Pak Rino dengan bingung karena pria paruh baya itu tersenyum terlalu lebar. Tapi kemudian …
“Jangan lama-lama pacaran, Ren, kasian Icha udah terlalu lama jomlonya,” lanjut Pak Rino pada Pak Naren, seraya memberi tepukan pelan di lengan Pak Naren sebagai tanda sebuah dukungan. Hal itu sontak saja membuat Nila dan Maya kompak tersedak liurnya sendiri. Sedangkan aku merasakan panas di kedua pipi, membuatku yakin bahwa wajahku memerah sekarang.
“Gak akan lama lagi, kok, Om. Doakan saja semuanya di lancarkan.”
Kalimat itu Pak Naren ucapkan dengan nada ringan dan senyum mengembang, jangan lupakan bahwa tangannya kini sudah merangkul pinggangku yang kembali membuat Nila dan Maya terbatuk dengan sorot mata makin tajam menuntut penjelasan.
Aku hanya meringis dan mengulas senyum salah tingkah. Tak lupa aku meloloskan cubitan kecil pada pinggang Pak Naren yang benar-benar menyebalkan, pria itu beberapa hari lalu bilang bahwa alasan kebetulan yang akan diungkapkan, tapi malah pengakuan yang pria itu berikan. Benar-benar menyebalkan.
“Pasti, Om pasti akan mendoakan kebaikan untuk kalian. Apalagi Icha sudah Om anggap seperti anak sendiri, gak tega rasanya lihat dia ngenes terus tiap malam minggu,” tawa ringan Pak Rino sontak membuatku membulatkan mata. Tapi bukannya tersinggung, Pak Rino malah semakin melebarkan tawanya. Diikuti Pak Naren.
“Jangan di sembunyikan terus, Cha. Di kantor penggemarnya Naren banyak, bahaya nanti kalau ada yang pepet,” lanjutnya seolah belum puas membuat aku malu.
“Belum siap terus dia, Om. Masih sayang nyawa katanya,” lontar Pak Naren melirik sekilas ke arahku sebelum kemudian tertawa begitu akrab dengan Pak Rino dan juga istrinya. Membuatku bertanya-tanya mengenai hubungan mereka yang terlihat berbeda.
Aku memang tidak pernah melihat interaksi Pak Naren dan Pak Rino di kantor, tapi entah mengapa melihatnya sekarang aku bagai melihat sebuah keluarga. Mereka terlalu akrab untuk ukuran atasan dan bawahan meskipun Pak Rino berusia lebih tua dari pada Pak Naren.
“Sebelumnya saya minta maaf Pak,” Maya sedikit menurunkan kepalanya sebagai tanda kesopanan karena menyela tawa dua pria yang menjabat sebagai atasannya. “Eum, ini … ah, maksudnya Pak Naren sama Icha itu ….” Menggaruk tengkuk, Maya tidak melanjutkan kalimatnya karena sepertinya sampai sana pun sudah membuat Pak Naren dan Pak Rino memahami, terbukti dari senyum yang terukir di bibir Pak Rino, sementara Pak Naren mengangguk sambil menarik pinggangku semakin merapat ke dekapannya.
“Kenalkan, saya pacarnya Icha, sejak sebelas tahun lalu.”
“What!!”
Seruan terkejut itu membuat bukan hanya aku yang terkejut tapi juga sebagian besar dari tamu undangan yang ada di ruang gedung resepsi Nara. Menjadikan mereka sebagai pusat perhatian dan itu membuatku merutuki mulut Maya juga Nila, namun lebih merutuki mulut Pak Naren yang benar-benar lemes. Seenaknya saja pria itu mengatakan hal tersebut tanpa persetujuanku.
Sebelas tahun? Gila. Setelah ini apa yang harus aku katakan demi menjawab rasa penasaran kedua temanku itu. Benar-benar, Pak Naren minta di mutilasi.
***
Cerita ini sebelumnya sudah aku up hingga selesai. Untuk yang belum Sempat baca hingga akhir, bisa beli e-booknya di google play book.
Link pembelian ada di bio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...