Happy Reading !!!
***
Entah berapa lama aku tertidur karena ketika sadar, sudah dapat aku lihat semburat jingga yang tampil lewat jendela kaca yang lebar. Mataku menatap sekeliling dan mendapati suasana berbeda dengan kamar milikku di kos.
Sesaat, itu membuatku mengernyit sampai akhirnya kesadaran sepenuhnya aku dapatkan, dan aku ingat bahwa siang tadi aku terlelap dalam pelukan Pak Naren. Sontak itu membuatku terperanjat dan melirik ke samping, dimana sosok itu terlihat mengerjap, merasa tidurnya terganggu dengan pergerakanku yang spontan.
“Kenapa, Cha?” tanyanya dengan suara lemah dan mata sedikit terbuka. Wajah pria itu masih terlihat pucat. Aku meringis mengingat kedatanganku ke sini untuk merawat Pak Naren, bukan malah tidur nyaman dalam pelukan pria itu.
“Gak apa-apa,” jawabku sedikit gugup. Lalu mengulurkan tangan menyentuh kening dan leher Pak Naren untuk memastikan suhu tubuh pria itu. Dan aku terkejut saat merasa bahwa tubuh Pak Naren semakin panas.
“Kamu berbaring aja, Mas, aku ke dapur ambil kompresan sama buatkan bubur dulu untuk kamu makan. Tunggu, ya,” kataku bergegas turun dari tempat tidur dan melangkah cepat keluar dari kamar.
Tidak ada waktu untuk menatap sekeliling demi memastikan sesuatu. Aku memilih langsung ke dapur dan melakukan apa yang sudah aku niatkan. Setelah semuanya siap, baru aku kembali ke kamar Pak Naren dan melihat pria itu masih dalam posisi yang sama dengan selimut yang membalut tubuhnya hingga leher, tapi keringat terlihat mengucur di kening dan pelipisnya.
Dengan gerakan hati-hati aku menyeka keringat itu dengan handuk kecil yang aku ambil dari kotak obat yang ada di dapur, merendamnya sebentar di dalam air dingin yang aku bawa dari dapur lalu meletakan handuk setengah basah tersebut di kening Pak Naren yang panas dan menunggunya beberapa saat, kemudian melakukan hal yang sama selama beberapa waktu, sampai akhirnya aku kembali bangkit untuk mengambil obat serta bubur yang tadi sempat aku buat.
“Makan dulu, yuk, setelah itu minum obatnya,” aku terpaksa membangunkan Pak Naren karena memang pria itu butuh makan dan minum obat.
Pak Naren bukan sosok yang manja, terlihat dari kepatuhannya yang membuatku menarik senyum sekaligus menghela napas lega, karena bayangan tentang sosok kekasih manja saat sakit tidak aku lihat dari Pak Naren.
Bukannya aku tidak mau, hanya saja aku pasti akan kebingungan jika mendapati sikap Pak Naren yang manja dan keras kepala. Aku tidak ada pengalaman membujuk pria. Jadi aku syukuri keadaan ini, walau sebenarnya dengan Pak Naren yang memintaku tetap tinggal dan menemaninya sejak siang tadi sudah dapat di katakan manja, tapi setidaknya itu masih di dalam batas wajar. Pak Naren butuh seseorang untuk membantunya melakukan hal seperti ini. Karena di keadaan sakit jangankan untuk memasak, bangkit dari tempat tidur saja sudah sulit di lakukan.
“Aku tidak tahu selera kamu, jadi maaf jika rasa buburnya tidak sesuai,” ringisku ketika satu suapan berhasil Pak Naren telan.
“Ini enak, kok. Aku suka apa pun yang kamu masak. Tapi aku ingin memberitahumu bahwa aku alergi Sea food dan buah strawberry,” jelasnya dengan suara yang terdengar lemah. “Satu lagi, aku tidak suka seledri. Apalagi di dalam bubur,” tambahnya seraya bergidig. Dan untuk yang satu itu aku menyetujuinya. Karena aku pun memang tidak suka dengan salah satu pelengkap bubur itu.
“Bagaimana mungkin kamu tidak menyukai makanan seenak itu? Sea food? Strawberry? Oh, no. Itu justru makanan yang begitu aku sukai,” kepalaku menggeleng tak habis pikir.
“Kalimatmu masih sama seperti dulu,” ucapnya menghentikan decakanku. “Dua belas tahun lalu kamu mengatakan hal serupa ketika aku memberi tahumu hal ini,”
Aku tidak tahu harus bagaimana berekspresi saat ini, mendengar apa yang diucapkan Pak Naren. Dua belas tahun lalu. Itu artinya dia memang benar-benar berada di masa laluku.
“Dan aku akan kembali meluruskannya. Aku bukan tidak suka, aku alergi. Kulitku akan memerah dan gatal saat memakannya, dan lebih parahnya aku akan mengalami sesak napas,” lanjutnya terlihat serius, dan aku malah justru terdiam. Bukan karena penjelasannya mengenai alergi Pak Naren, melainkan memikirkan seberapa banyak memori yang belum aku ingat akibat dari kecelakaan yang menimpaku sepuluh tahun lalu. Kenapa Pak Naren begitu mengenalku? Kenapa pria itu mengingat kalimatku, yang aku sendiri bahkan tidak mengingatnya? Dua belas tahun. Itu waktu yang cukup panjang dan dalam waktu itu aku belum juga berhasil meraup utuh ingatanku. Bahkan sosok sang kakak belum aku ingat jelas selain dari cerita yang ibu dan ayah sampaikan.
“Apa makanku sudah selesai?” suara itu menarikku dari lamunan, melirik Pak Naren yang masih begitu pucat lalu menatap mangkuk di tangan yang isinya masih cukup banyak.
Aku kembali menyuapi Pak Naren dalam diam, dan sepertinya Pak Naren pun tidak berusaha untuk mengajakku bicara. Hingga bubur di mangkuk habis, aku kemudian memberikan satu tablet obat penurun panas untuk Pak Naren minum, setelah itu meminta pria itu kembali berbaring sedangkan aku membereskan barang yang aku gunakan untuk mengompres Pak Naren, juga membereskan dapur yang habis aku gunakan, tidak lupa dengan ruang tamu yang masih dalam keadaan sama sejak aku masuk siang tadi.
⁂
Karena keadaan Pak Naren yang belum membaik, aku memutuskan untuk tidak kerja hari ini, dan kembali menghubungi Pak Rino untuk meminta izin. Semalam pun aku terpaksa menginap karena tidak tega jika harus meninggalkan pria itu sendiri dalam keadaan sakit di malam hari.
Lelah memang aku rasakan terlebih semalaman aku tidak tidur karena harus mengompres Pak Naren yang demamnya turun naik. Beruntung pagi ini pria itu sudah terlihat lebih segar dan wajahnya tidak lagi sepucat kemarin. Membuatku menghela lega karena setidaknya usahaku dalam mengurusnya tidak sia-sia. Pria itu sembuh meskipun belum sepenuhnya.
“Mau makan nasi apa bubur lagi?” tanyaku menghampiri Pak Naren yang berjemur di balkon kamar untuk membantu pemulihan kondisinya. Karena seperti yang aku tahu, matahari pagi bagus untuk kesehatan, jadi aku meminta Pak Naren duduk di sana setelah selesai mandi beberapa menit lalu.
“Nasi goreng,” katanya dengan senyum yang terukir indah. Senyum yang selalu berhasil membuatku terpesona.
“Oke. Kalau begitu aku akan membuatkannya lebih dulu.” Kakiku baru saja hendak melangkah, namun satu tanganku di tarik pelan oleh pria tampan yang kini terlihat semakin memesona dalam balutan kaus dan celana pendek selututnya yang memperlihatkan kesan santai dalam penampilannya.
Keseimbangan yang tidak baik membuat tubuhku jatuh tepat di pangkuannya, dan itu sukses membuatku terkejut dengan rasa panas menguar di permukaan wajah. Sudah dapat aku pastikan bahwa pipiku merona saat ini, terlebih tatapan Pak Naren yang seakan membiusku. Lalu tak lama setelahnya benda kenyal yang terasa hangat dan lembab menyentuh permukaan bibirku.
“Terima kasih sudah merawatku,” kalimat itu terlontar tulus di depan bibirku, bahkan saking dekatnya aku dapat merasakan bau mint yang keluar dari mulut Pak Naren. Memabukkan. Aku benar-benar menyukai harum ini.
“Kamu mungkin belum mengingat aku, Cha. Tapi hatimu … aku tahu itu tidak pernah berubah,” ucapnya yang kemudian di akhiri dengan lumatan lembut penuh perasaan, membuatku terbuai dan tanpa sadar mengalungkan kedua tangan di leher Pak Naren yang memelukku dengan posesif.
Aku tidak tahu arti dari kalimatnya. Namun jika tidak salah menebak, aku yakin bahwa di masa lalu perasaan itu aku miliki untuk pria tampan yang kini sedang mencumbu bibirku. Atau mungkin aku dan Pak Naren saling menyukai? Entahlah, yang jelas sekarang aku ingin menikmati waktu yang ada. Sespesial apa pun masa lalu tidak dapat di bandingkan dengan masa yang sedang dilalui.
“I love you, Cha,” bisiknya mengakhiri ciuman panas kami, dan Pak Naren kemudian memelukku begitu erat, menenggelamkan kepalanya di ceruk leherku.
Aku tidak tahu bagaimana harus berekspresi sekarang. Mendengar kalimat cinta yang Pak Naren bisikan membuatku terkejut, sedikit tidak percaya, juga ada bagian yang menggelitik mesra. Memberi gembira pada sudut kosong yang selama ini selalu aku pertanyakan dimanakah sosok yang akan memenuhi hati dan benakku.
***
To be continue !!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...