Happy Reading !!!
***
Sampai siang aku masih berada di apartemen Pak Naren, menghabiskan waktu dengan menonton televisi, lalu di lanjut dengan aku yang membuat camilan dengan bahan yang ada di lemari persediaan Pak Naren. Sedangkan pria itu aku suruh untuk lebih banyak tidur agar keadaannya semakin baik.
Di tengah aktivitasku di dapur suara bel terdengar, membuatku melangkah untuk membukakan pintu karena tidak ingin membuat tidur Pak Naren terganggu akibat suara bising bel. Dan aku cukup terkejut kala sosok cantik paruh baya yang pernah aku temui beberapa waktu lalu menampakkan diri di depan pintu, sama terkejutnya dengan aku. Tapi kemudian wanita itu mengulas senyum dan menarikku ke dalam pelukan.
“Tante pikir Naren sendiri,” katanya seraya menarik diri melepaskan pelukannya dengan senyum terlihat lega. “Pantas saja dia gak telepon Tante,” dengusnya pelan, tapi setelahnya senyum menggoda terbit dengan tatapan jahil yang membuatku meringis sedikit was-was juga tak enak hati.
Meskipun hari itu aku sudah akrab, tapi tetap saja dalam keadaan seperti ini aku merasa canggung. Takut ibu Pak Naren berpikir yang macam-macam tentang aku dan anak lelakinya itu. Meskipun semalam aku menginap dan kemarin sempat tidur dalam pelukannya, tidak ada yang kami lakukan lebih dari itu. Tidak. Mungkin di tambah ciuman pagi tadi.
“Tante, masuk yuk. Icha lagi buat camilan di dapur,” aku akhirnya bisa mengeluarkan suara, walau masih dalam nada canggung.
“Bikin apa, Cha? Pantas Tante cium bau-bau wangi apa gitu sejak tadi.”
Aku hanya tersenyum dan mempersilahkan ibu Pak Naren untuk masuk. Menutup kembali pintu apartemen lalu melangkah mengikuti Tante Renata yang sudah lebih dulu masuk ke dapur.
“Wow, sepertinya Tante datang di saat yang tepat,” katanya terlihat takjub saat melihat dapur Pak Naren yang biasa bersih kini kotor dan berantakan, ya, meskipun tidak terlalu. Tapi tetap saja ada ceceran tepung juga beberapa mangkuk yang belum sempat aku cuci.
“Heum, wanginya enak,” Tante Renata, yang tak lain adalah ibu Pak Naren mengendus bau dari oven yang menyala. Lalu menatap ke meja bar yang terdapat kentang rebus yang belum selesai aku kerjakan karena bel lebih dulu menarik perhatian.
“Ini kamu mau buat apa, Cha?”
“Kentang keju, Tan,” jawabku seadanya.
“Yang di oven itu?” tunjuknya kemudian sambil membaui aroma yang di keluarkan dari sesuatu yang sedang aku panggang di dalam oven.
“Brownies Matcha,” ujarku dengan cengiran yang lebih ringan. Kecanggunganku perlahan sirna karena ibu Pak Naren lebih tertarik dengan apa yang aku buat dari pada mengenai sejak kapan aku ada di sini.
Wanita paruh baya yang terlihat masih cantik itu bertepuk tangan dengan seruan senang, berkali-kali melontarkan pujian dan membahas olahan kue yang beberapa waktu lalu mereka buat bersama. Sampai kemudian suara denting dari oven menyadarkan keasyikan kami mengobrol.
“Biar Tante saja, kamu lanjut bikin itu,” ucapnya seraya melangkah menuju oven dan memakai sarung tangan anti panas untuk mengambil kue di dalam sana. Sedangkan aku menuruti untuk melanjutkan membuat kentang keju yang kini tinggal aku pipihkan sebelum aku potong dengan bentuk persegi panjang, seperti kentang goreng di restoran fast food pada umumnya.
⁂
“Mama sejak kapan di sini?” itu sambutan pertama saat Pak Naren keluar dari kamarnya dengan wajah bangun tidur yang meyakinkanku bahwa pria itu belum sama sekali cuci muka.
“Gak sopan banget sama orang tua. Bukannya sungkem, malah nanya kayak gitu!” ujar Tante Renata dengan delikan kesal. Membuat Pak Naren menggaruk tengkuknya yang aku yakini tidak gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...