Happy Reading !!!
***
“Na, aku gak ikut makan siang bareng kalian, ya, ada perlu soalnya,” ucapku sambil sibuk membereskan meja kerja yang cukup berantakan.
“Langsung pulang?”
“Enggak, aku balik nanti semoga aja gak telat. Udah izin juga sama Pak Rino tadi.”
“Oke deh.”
Aku bergegas pergi meninggalkan Nara yang terlihat penasaran, tapi tidak membuatnya menahan kepergianku walau aku tahu Nara begitu ingin. Tapi dia seolah paham dengan ketergesaanku, membuatku dapat menghela napas lega karena bisa pergi dengan segara.
Tujuanku adalah apartemen Pak Naren, karena pagi tadi aku sempat mendapat kabar bahwa pria itu tidak masuk kerja lantaran sakit. Kabarnya aku dapat dari sekretaris Pak Naren sendiri yang tadi tidak sengaja aku dengar obrolannya ketika kebetulan aku hendak menyambangi ruangan Pak Rino untuk menyerahkan laporan yang diminta. Di sana aku langsung meminta izin untuk keluar saat jam makan siang dan sekiranya kembali terlambat. Aku terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa ada urusan yang begitu penting. Beruntung Pak Rino tidak bertanya banyak hal jadi aku tidak juga harus lebih banyak mengucap kebohongan.
Aku sendiri tidak tahu kenapa bisa sekhawatir ini saat mendengar bahwa Pak Naren sakit. Dan sedikit merasa kesal sebab pria itu tidak memberi tahuku langsung. Apalagi Pak Naren memang tidak ada menghubungiku sejak pagi tadi.
Setibanya di depan pintu apartemen Pak Naren yang sudah dua kali aku singgahi, tanganku bergerak tak sabar menekan bel berulang kali hingga akhirnya pintu cokelat gelap itu terbuka dari dalam dan menampilkan sosok cantik yang tidak sama sekali aku tahu siapa.
Sesaat aku mengira bahwa mungkin aku salah menekan bel, tapi ketika kuteliti kembali nomor yang tertera, aku yakin bahwa aku tidak salah, dan keyakinan itu di perjelas oleh suara yang begitu aku kenali walau terdengar cukup lemah dari dalam apartemen.
“Maaf, mau bertemu siapa?” tanya itu menyadarkan aku dari lamunan, membuatku mengerjap dan sedikit mendongak menatap sosok cantik di depan yang terlihat mengernyitkan keningnya.
“Saya mau bertemu Pak Naren. Ini benar apartemen-nya ‘kan?” tanyaku demi meyakinkan bahwa aku memang tidak salah pintu.
“Benar. Kamu siapa?” dan kini suara ramah yang semula aku dapat berubah sinis, membuatku mengerutkan kening, tidak mengerti dengan perubahannya itu.
“Sa—”
“Lho, Cha?” seruan itu memotong kalimatku, membuat bukan hanya aku, tapi perempuan itu pun menoleh ke arah suara, yang mana itu adalah milik kekasihku. Dan dapat aku lihat bagaimana pucatnya Pak Naren yang kini berdiri beberapa langkah di depan sana, menatapku terkejut.
Entah keberanian dari mana aku mendorong begitu saja tubuh perempuan yang masih menghalangi jalanku, menghampiri Pak Naren yang berdiri dengan tubuh menegang yang entah mengapa malah tidak aku hiraukan, aku terlalu khawatir dengan keadaannya sampai membuatku tidak sadar dengan keadaan yang tercipta sekarang.
“Sakit kok gak bilang aku?” tanganku terulur menyentuh pipi Pak Naren yang terasa begitu hangat. “Udah minum obat belum?”
“Udah Cha,”
“Syukurlah,” aku menghela napas lega mendengar itu. Tapi kemudian tersadar saat suara di belakang mengingatkanku bahwa ada sosok lain yang patut aku pertanyakan.
Aku menoleh, menatap perempuan yang tadi membuka pintu sedang menatapku dengan delikan tak suka. Lalu kembali menatap Pak Naren yang masih saja terdiam kaku. Aku bingung dan juga penasaran mengenai siapa sebenarnya perempuan itu, apa hubungannya dengan Pak Naren, dan masih banyak lagi pertanyaan yang membutuhkan kejelasan, tapi aku memilih untuk lebih dulu membawa Pak Naren kembali masuk, membantu pria itu duduk di sofa ruang tamu dimana televisi menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...