Happy Reading !!!
***
Sesuai yang Nara katakan tadi, aku menemani perempuan itu ke Mall, tapi bukan untuk membeli bikini seperti apa yang Nara katakan, melainkan membeli peralatan make up yang katanya sudah habis. Selain itu ada pakaian, bahkan sepatu yang ikut Nara beli, membuatku memutar bola mata karena selalu saja seperti ini jika belanja dengan Nara. Perempuan itu tidak akan selesai hanya dengan berbelanja apa yang sudah di niatkannya.
"Kamu gak belanja, Cha?"
Aku menggeleng. "Gak ada yang buatku tertarik."
"Bilang aja gak punya duit," cibirnya yang tidak sama sekali aku hiraukan. Memilih terus melangkah menuju cafe yang menjadi tujuan selanjutnya karena perut yang terakhir kali diisi ketika jam makan siang tadi sudah berontak meminta asupan kembali.
Begitu mendudukkan diri di kursi cafe aku langsung memanggil pramusaji dan memesan, di ikuti Nara yang baru saja mendudukkan diri di kursi yang berseberangan denganku.
"Gak pake lama ya, Mbak, udah lapar banget soalnya," kata Nara pada si pramusaji begitu selesai menyebutkan pesanannya.
"Baik Kak."
Setelah kepergian si pramusaji, Nara mulai mengajakku mengobrol, membicarakan beberapa hal secara random, tak lupa bahasan kepergian ke Bali pun ikut di bahas, dimana Nara sudah merencanakan apa-apa saja yang akan dilakukannya di sana. Jadwal kegiatan pun sudah tersusun dengan begitu apiknya, seolah dia akan pergi berlibur sendiri.
Tak lama makanan yang kami pesan tiba, dan ocehan Nara pun berhenti. Perempuan itu sepertinya benar-benar kelaparan, terlihat dari betapa lahapnya dia yang membuatku geleng kepala.
"Setelah ini mau ke mana lagi?" tanyaku begitu berhasil menelan suapan pertama dari Garlic Butter Shrimp Pasta yang menjadi menu makan malamku sekarang.
"Pulang aja. Kamu yakin gak ada yang mau di beli? Aku yang bayarin deh kalau memang gak punya uang,"
Bukannya senang, aku malah justru mendelik mendengar penawarannya itu. Di kira aku semiskin itu!
"Tidak terima kasih." Tolakku acuh.
"Ya sudah kalau tidak mau," Nara mengedikkan bahunya, lalu kembali melanjutkan makannya yang masih tersisa, pun dengan aku.
Drett ... Drett ...
Melirik pada ponsel yang berdering di atas meja, aku cepat-cepat meraihnya sebelum Nara melihat siapa yang menghubungiku. Ya, meskipun hanya inisial, aku enggan mendapat pertanyaan kekepoan Nara saat ini.
"Aku angkat telepon dulu sebentar, Na," izinku seraya bangkit dari duduk dan menjauh dari Nara yang masih asyik dengan makanannya.
"Ha--"
"Kamu dimana?" sela seseorang di seberang sana, membuatku mengernyit kala mendengar nada tak biasa dari Pak Naren yang tengah menghubungiku.
"Di Mall, kenapa?"
"Ck, ngapain? Kenapa pergi gak bilang aku?"
Keningku mengerut dalam mendapati pertanyaan itu, tidak paham maksud dari Pak Naren yang tiba-tiba saja marah-marah hanya karana aku tidak memberitahu perihal kepergianku padanya. Lagi pula, memangnya harus?
“Nemenin Nara belanja. Ada apa memangnya, Mas? Ini aku udah mau pulang, kok, baru selesai makan.” Aku melirik ke arah meja yang masih Nara duduki, melihat temanku itu juga sudah menghabiskan makanannya. Tapi tidak dengan piringku yang masih sedikit berisi, tapi sepertinya aku sudah tidak berniat menghabiskannya. Purutku sudah kenyang.
“Tunggu di sana, aku jemput!”
“Gak perlu Mas, Nara mau anterin aku pulang, kok,” cegahku cepat, tapi Pak Naren tetap kukuh akan menjemput, membuatku akhirnya menghela pasrah dan kembali melangkah menghampiri Nara yang sudah bebenah siap pulang.
“Siapa yang telepon?” tanya Nara ingin tahu, tapi aku memilih untuk memberi senyum tipis. Tidak sama sekali berniat memberitahu Nara, karena jujur saja aku belum siap untuk membuka hubunganku dengan Pak Naren.
“Udah selesai ‘kan Na? Pulang yuk,” ajakku seraya meraih tas yang simpan di kursi, tanpa repot-repot mendudukkan diri di tempatku semula. Lagi pula buat apa jika aku akan pulang saat ini juga.
“Oke, sebentar aku bayar dulu,” katanya yang kemudian bangkit dan berjalan menuju kasir. Sedangkan aku memilih untuk keluar lebih dulu, menunggu Nara di depan.
Tidak butuh waktu lama untuk Nara kembali karena kebetulan café yang menjadi tempat kami makan tidak begitu ramai, jadi tidak sampai memakan waktu untuk Nara menyelesaikan pembayarannya.
“Aku gak jadi pulang bareng kamu, ya, Na,” ucapku sedikit tak enak hati, tapi lebih ke was-was karena khawatir Nara mengorek informasi mengenai dengan siapa aku pulang, mengingat tadi aku sempat mengeluhkan mengenai bagaimana aku tiba di kos sebab tidak membawa kendaraan.
Arah rumahku dengan Nara berlawanan, itu yang membuatku kebingungan saat melihat Nara yang belanja tidak cukup dengan waktu singkat. Sampai akhirnya perempuan itu bertanggung jawab dengan niat mengantarkan aku hingga kos, membuatku menghela lega dan berhenti mengomeli Nara yang selalu kalap jika sudah berbelanja.
“Ada yang jemput?” tebaknya tepat sasaran. “Siapa Cha? Pengagum rahasia kamu itu bukan sih? Kalian udah ketemu?” rentetan pertanyaan Nara yang penuh rasa penasaran itu membuatku meringis pelan. Bingung memberi jawaban. “Ganteng gak Cha?”
“Biasa aja,” jawabku singkat. Namun hal itu malah membuat Nara semakin menatapku dengan pandangan penasarannya, tapi beruntung karena ponsel Nara lebih dulu berbunyi, mengalihkan perempuan itu. Dan aku semakin menghela napas lega ketika Nara menyudahi teleponnya karena seseorang yang menghubungi Nara meminta perempuan itu untuk segera pulang.
“Cha—”
“Gak apa-apa, Na, kamu pulang aja. Jemputanku sebentar lagi datang kok,” ucapku memotong kalimat Nara yang terlihat tidak enak hati. Aku mengulas senyum menenangkan, meyakinkan Nara bahwa aku tidak masalah dengan dia yang meninggalkanku. Lagi pula ini hal yang bagus, aku tidak perlu takut Nara bertemu Pak Naren.
“Tapi aku penasaran sama Si Mr. N itu. Aku pengen lihat, dia pria baik atau bukan. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa,”
Aku terharu dengan kekhawatiran Nara. Gadis itu memang baru aku kenal beberapa tahun belakangan ini, tapi aku tahu bahwa Nara tulus mencemaskanku.
“Dia baik, kok, Na. Kamu jangan khawatir. Lain kali aku kenalkan kalian,”
“Beneran lho ya, Cha, awas kalau bohong!”
“Iya, bawel. Udah sana pulang. Calon pengantin itu gak baik malam-malam seperti ini masih di luar apalagi sendirian,” aku mendorong pelan tubuh Nara untuk masuk ke dalam mobilnya. “Hati-hati di jalan,” tambahku seraya kembali menutup pintu mobil Nara, dan membiarkan gadis itu melajukannya, meninggalkanku di parkiran.
“Yuk pulang,”
Aku terkejut ketika tiba-tiba saja tanganku di raih oleh Pak Naren yang entah sejak kapan berada di dekatku.
“Gak ngangetin bisa gak!” dengusku kesal, tapi hal itu tidak sama sekali membuat Pak Naren merasa bersalah. Pria itu malah menarik tanganku menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari posisiku berada. Wajah Pak Naren dingin tanpa ekspresi, membuatku bertanya-tanya mengenai apa yang membuat pria itu seperti ini. Tapi kemudian aku hanya mengedikkan bahu singkat, tidak ingin terlalu memikirkannya.
“Lain kali, kalau mau pergi-pergi bilang aku dulu bisa ‘kan, Cha? Jangan buat aku khawatir nyari-nyari kamu!” omelnya begitu mendudukkan diri di balik kemudi. Membuat keningku terangkat tak paham melihat kemarahan pria itu, tapi setelahnya aku menghela napas seraya meminta maaf. Meskipun sebenarnya aku masih belum mengerti mengapa pria itu harus seperti ini hanya karena aku tidak memberi tahukan kepergianku.
Selama ini aku selalu pergi tanpa mengabari siapa pun, kecuali ketika aku berada di rumah. aku terbiasa melakukannya, tidak tahu jika memiliki kekasih memberiku kewajiban untuk mengabarinya ketika akan bepergian. Sepertinya aku harus banyak-banyak berkonsultasi kepada Nara mengenai hal-hal apa saja yang harus aku lakukan selama memiliki pacar.
***
See you next Chap !!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...