Bab 25

3.7K 318 1
                                    

Happy Reading !!!

***

Teriknya matahari di siang hari ini tidak membuat aku dan yang lainnya menyerah kalah, bermain volley pantai yang di jadwalkan panitia untuk mengisi liburan ini. Bahkan tidak sedikit turis asing tertarik untuk ikut bermain, menambah keseruan. Namun karena sudah begitu lelah, aku memilih untuk istirahat lebih dulu, digantikan dengan rekan kerjaku yang lain, yang tak sabar ikut memukul bola walau tidak ada kemampuan. Tapi memang di sanalah keseruan kami. Gelak tawa selalu mengiringi dan sorakan menyusul kemudian. Benar-benar acara yang membuat kami semua dekat meskipun tidak sepenuhnya mengenal.

“Minum Cha,”

Refleks aku menoleh, menatap kelapa muda yang sudah di pangkas dan seseorang yang menyodorkan itu. Berkali-kali aku melakukan itu sebelum melirik kanan kiri demi mencari sesosok yang aku cemaskan. Bukan takut, tapi aku malas mengulang keributan.

“Gak usah Mas, terima kasih. Aku gak haus.” Itu bohong. Aku justru sedang begitu kehausan sekarang. Tapi aku tidak ingin membuat perempuan yang dulu berhasil memberikan cap jarinya di pipiku kembali membuat yang baru. Aku enggan mencari masalah. Lagi pula aku sudah tidak sama sekali tertarik pada pria itu.

Meskipun kabar mengenai kandasnya hubungan kedua insan itu sudah aku dengar, tidak akan membuatku mau meladeni Mas Septa yang Nara bilang masih berharap padaku. Tidak, terima kasih. Sekarang ada hati yang harus aku jaga.

“Aku tahu kamu haus, Cha. Kamu cuma cemas sama Rianti ‘kan? Dia bukan siapa-siapa aku lagi. Kami sudah putus cukup lama. Dan dia juga sudah janji tidak akan mengganggu perempuan yang aku dekati. Kami sudah jalan masing-masing.”

Aku mencebik diam-diam mendengar penjelasan pria itu. “Bukan karena itu, Mas beneran. Aku memang gak haus. Mas minum sendiri aja, atau kasih yang lain,” kataku seraya bangkit dari duduk. Meninggalkan Mas Septa di sana. Masa bodo dengan orang-orang yang bisa saja mencuri lihat. Aku tidak peduli, dan tidak bermaksud jual mahal. Ada Pak Naren yang harus aku jaga perasaannya walaupun pria itu sedang tidak ada di dekatku. Tapi hatiku tidak pernah ditinggalkan olehnya. Dan aku tidak mau mengkhianati pria itu.

Berniat kembali ke kamar hotel untuk istirahat, menyusul Nara yang sudah lebih dulu pergi ketika ada telepon dari calon suaminya, langkahku berhenti ketika seseorang menampakkan diri tepat di depanku, membuat mataku membulat terkejut, sementara sosok itu hanya memberikan cengiran tampannya.

“Mas Naren?” panggilku tak percaya.

“Ya ini aku, sayang,” katanya dengan senyum yang begitu memesona, senyum yang tidak pernah gagal membuatku tersipu.

“Mas, kok di sini?”

“Gak boleh memangnya?” satu alis pria itu terangkat membuatku menggeleng dengan cepat, namun tetap saja aku penasaran mengapa bisa pria itu ada di hadapanku saat ini, padahal pagi tadi Pak Naren berkata bahwa jadwalnya padat hari ini. Jadi, apakah ini kejutan?

“Apa kamu terkejut?” dan anggukan cepat aku berikan sebelum kemudian lintasan mimpi semalam membuat aku refleks memeluk pria itu, dengan ungkapan rindu yang baru pertama kali ini aku lontarkan. Dan sepertinya itu berhasil membuat Pak Naren terkejut. Terbukti dari tegangnya tubuh pria itu dan pelukanku yang tidak langsung terbalas. Aku sudah dapat menebak bagaimana ekspresinya sekarang. Tapi aku enggan melihat itu sekarang, aku takut tidak bisa menahan diri dan membuat pria itu semakin terkejut nantinya.

“Apa serindu itu, Cha?” tanyanya lagi dan aku memberikan anggukan tidak kalah cepat dari sebelumnya. Aku benar-benar merindukan pria dalam pelukanku sekarang ini.

Oke, tapi lepas dulu, ya, banyak orang di sini,” katanya menarik kedua tanganku yang melingkar di pinggang pria itu. Setelahnya Pak Naren menarikku menuju lift yang baru saja terbuka, menekan angka yang menunjukkan keberadaan kamarku. Setelahnya Pak Naren yang memelukku dengan raut wajah yang masih saja menampilkan keterkejutan. Dan itu benar-benar menggemaskan. Pak Naren terlihat begitu polos.

“Aku tidak menyangka akan mendapat sambutan seperti ini,” katanya yang kini sudah menenggelamkan wajah di ceruk leherku. Lift yang kami masuki kosong, jadi pria itu seolah leluasa. Pun denganku yang benar-benar merindukan pria itu. Gara-gara mimpi semalam, aku merasa tidak lagi gengsi menunjukkan perasaanku terhadap Pak Naren. Hal itu pun karena aku sudah merasa yakin bahwa Pak Naren memang pria di masa laluku.

“Aku lebih tidak menyangka lagi kamu akan menyatakan cinta di roller coaster,” kekehku geli, apalagi ketika melihat wajah Pak Naren yang semakin terkejut.

“Kamu ingat?” tanyanya tak percaya, kakinya mundur satu langkah demi bisa melihat wajahku yang kini hanya menampilkan senyum tanpa memberi jawaban. Aku hanya ingin pria itu menebaknya sendiri.

Tidak lama, lift yang kami naiki berbunyi, menandakan bahwa kami sudah tiba di lantai tujuan. Membuat aku dan Pak Naren melangkah keluar dan berjalan menyusuri lorong menuju kamarku karena aku sudah berniat mengenalkan kekasihku pada Nara. Aku sudah siap melihat keterkejutan sahabatku itu, aku juga sudah siap bercerita mengenai bagaimana awal mula hubungan ini terjalin.

“Eh, sorry,” ringisku malu saat berhasil membuka pintu kamar hotel dan mendapati sepasang manusia tengah beradu bibir. Tapi itu tak lantas membuatku segera menutup pintu, karena Pak Naren menghalangi.

Ck, sial!” umpat cowok tampan di depan sana, menatap Pak Naren dan aku tajam, sedangkan Nara sendiri bersembunyi di baik tubuh pria itu. Aku hanya terkekeh kecil melihatnya. Dapat membayangkan bagaimana malunya Nara terpergok mesum oleh bos sendiri.

“Dikira kamu di kamar sebelah, Bil,” kata Pak Naren dengan nada dan tampang yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.

“Baru mau ke sana, kamu keburu datang!” jawabnya dengan dengusan kecil sarat akan sebuah kekesalan.

“Lelet sih, udah sana pergi!” usir Pak Naren yang malah membuat Nara yang semula bersembunyi menampakkan diri dan menatap calon suami serta bosnya dengan pandangan heran.

Beib, kamu kenal bos aku?”

Tawa Billy mengudara mendengar pertanyaan calon istrinya itu. “Dia sahabat aku sejak SMA,” katanya begitu tawa itu berhenti.

Bukan hanya Nara yang terkejut, karena aku pun sama. Dan itu membuatku menatap Pak Naren yang masih berdiri tenang di sampingku. Pria itu tidak sama sekali terkejut dengan Nara. Yang artinya Pak Naren sudah mengetahui hal ini ‘kan?

“Hai Cha,” sapa Billy padaku dengan satu kedipan menggoda yang lantas saja membuat Pak Naren melayangkan tendangannya. Seolah tidak terima dengan apa yang Billy lakukan.

“Cha …!”

Aku paham dengan pandangan Nara sekarang, sahabatku itu meminta penjelasan atas kebingungan sekaligus keterkejutannya. Tapi kemudian Pak Naren menjelaskan bahwa aku adalah kekasihnya. Di susul dengan penjelasan yang Billy berikan. Hanya saja di sini aku yang melongo, karena bisa-bisanya Billy tahu begitu banyak tentang aku dan Pak Naren.

“Kok –”

“Penasarannya lain kali aja, ya, Cha. Mau kangen-kangenan dulu sama bebeb aku,” ucap Billy dengan seringai jahil. “Kamu di temani dia dulu, Nara-nya aku pinjam,” tambahnya seraya meraih pinggang Nara, lalu berjalan melewatiku dan Pak Naren dengan kalimat akhir yang terdengar begitu ambigu.

“Ini di rencanakan apa kebetulan?” tanyaku linglung saat pintu hotel sudah kembali di tutup dan di kunci oleh Pak Naren.

“Takdir Tuhan."

***
To be continue ...

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang