Bab 23

3.4K 285 7
                                    

Happy Reading !!!

***

Aku merentangkan kedua tangan, menikmati hembusan angin pantai yang begitu menyejukkan di pagi menjelang siang ini. Setengah jam yang lalu aku dan rombongan tiba di Bali. Dan kini masing-masing di beri waktu untuk istirahat lebih dulu di kamar hotel yang disediakan pihak kantor. Tapi aku memilih berdiri di balkon kamar dari pada berbaring di ranjang empuk yang nyaman.

Sejujurnya aku tidak begitu lelah sekarang, tapi untuk berjalan-jalan menyusuri bibir pantai tidak lantas aku inginkan mengingat matahari yang mulai naik akan membuat cuaca semakin panas. Jadi lebih baik menundanya hingga matahari turun sore nanti. Lagi pula dari balkon ini aku masih dapat menikmati keindahan Bali yang cukup ramai di huni para turis luar maupun lokal.

"Bagai berada di surga tahu gak sih," celetuk Nara yang baru saja menyusulku berdiri di balkon. Perempuan itu merentangkan kedua tangannya seraya menghirup udara yang memang cukup sejuk meskipun matahari nyaris menempati posisi tertinggi.

"Udah jelas-jelas ini di Bali, Na, bukan surga," delikku memutar bola mata.

"Ya memang, tapi ini tuh benar-benar berasa ada di surga. Biasanya kita jam segini lagi sibuk-sibuknya di kantor, sekarang malah menikmati udara segar," ucapnya kembali menghirup udara dengan mata terpejam. Nara benar-benar menikmatinya. Dan harus aku akui bahwa apa yang Nara katakan memang benar adanya.

Bagi kami yang selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor, liburan adalah satu hal yang disyukuri saat ini, karena setidaknya kepala pening dan suntuk akibat pekerjaan dapat di jernihkan. Beban yang selama ini di pikul perlahan meringan bagai tertiup angin. Jarang-jarang kami bisa menikmati ini meski sabtu dan minggu kantor libur.

"Pagi tadi kamu diantar siapa, Cha?" pertanyaan Nara membuatku menoleh, meringis mengingat pagi tadi aku tidak jadi menebeng dia seperti yang kami sepakati sebelumnya untuk berangkat bersama dengan kekasih Nara yang menjadi sopir untuk kami.

"Maaf udah batalin janji kita," cicitku tak enak hati sebab pagi tadi aku mendadak mengabari Nara, membatalkan janji berangkat bersama.

"Gak masalah. Aku justru senang karena dengan begitu calon suamiku gak lelah harus jemput sana sini. Apalagi kos kamu berlawanan arah dengan tujuan. Ngabisin bensin!"

"Sialan!" umpatku kesal, membuat Nara tertawa puas.

"Becanda Cha," katanya dengan cengiran polos. "Tapi aku serius nanya, tadi pagi kamu berangkat sama siapa? Si Mr. N itu?"

Tak mau berbohong, aku memilih untuk mengangguk, membenarkan tebakan Nara. Lagi pula sepertinya sekarang memang waktunya aku berterus terang mengenai statusku yang sudah lepas dari yang namanya jomlo. Aku sudah memiliki kekasih, dan hariku mulai memiliki warna baru. Nara tidak bisa membully kejomloanku seperti dulu lagi.

"Kapan kamu mau ngenalin dia padaku?"

"Nanti," kataku sok misterius. Ya, meski menceritakan bagaimana hubunganku kepada Nara, aku tetap menyembunyikan identitas kekasihku, karena aku rasa ini belum saatnya. Nara pasti akan sangat syok begitu tahu siapa Mr. N yang selama ini menjadi pengagumku. Acara liburan ini bisa-bisa kacau gara-gara Nara lebih tertarik mendengar kronologis hubunganku dengan Pak Naren terjalin.

"Jangan lama-lama Cha, aku gak mau mati gara-gara penasaran sama sosok beruntung yang berhasil mendapatkan hati kamu.”

Tawaku mengudara mendengar ucapannya yang terdengar gemas itu. Nara memang sosok yang kepo. Tapi hal itu tidak lantas membuat Nara memaksa orang lain untuk memberitahunya. Nara sabar menunggu meski kadang tidak bisa menahan diri untuk segera tahu.

Sore menjelang aku dan Nara memilih turun dari kamar, berniat berjalan-jalan demi melihat area sekitar, sekaligus menikmati pemandangan sebelum malam nanti menghadiri acara yang kantor selenggarakan.

Bukan hanya aku dan Nara, karyawan yang lain pun ikut melakukan hal yang sama termasuk Nila dan Maya. Kedua orang itu sudah berada di luar hotel, menunggu aku dan Nara yang memang telat turun. Bukan karena lelet, tapi chat yang kedua orang itu kirimkan memang baru aku baca setelah banyak bercerita dengan Nara di balkon kamar sementara ponsel terabaikan di dalam tas yang belum lagi tersentuh begitu tiba di kamar hotel.

"Lama!" ketus Nila terlihat kesal, membuatku dan Nara meringis seraya memberi cengiran. Setelahnya kami mulai menjelajah pantai dengan obrolan seru menemani perjalanan. Tak jarang keusilan salah satu kami lakukan membuat perjalanan ini semakin menyenangkan meski lelah tak terelakkan.

"Siapa yang terakhir sampai di penjual kelapa muda itu, dia yang bayar ya," kata Maya menunjuk penjual kelapa muda yang ada di depan sana, tidak begitu jauh dari posisi kami berdiri saat ini.

Haus memang menyerang setelah cukup jauh berjalan, maka kelapa muda yang menjadi incaran kami setelahnya.

"Jangan ada yang curang!" peringatku kala melihat Nara hendak berlari lebih dulu. Membuat perempuan itu menggaruk tengkuk dengan cengiran khasnya.

"Dalam posisi sejajar. Siap! Satu ... Dua ... Ti- tiga!"

Dengan kekuatan penuh aku berlari ke arah penjual meninggalkan teman-temanku di belakang yang berlari dengan heboh, berhasil menarik perhatian beberapa orang. Namun itu tidak sama sekali kami hiraukan karena terlalu fokus ingin cepat sampai. Bukan karena enggan kebagian membayar, tapi juga karena haus yang sudah kami rasakan. Sampai akhirnya aku menjadi orang pertama yang sampai di depan si penjual dan tanpa menunggu lama langsung saja kupesan kelapa muda itu agar bisa dinikmati secepatnya.

Tak lama Maya tiba di susul Nara dan terakhir Nila. Perempuan berusia paling muda diantara kami bertiga itu memberenggut kesal dengan wajah merah tanda kelelahan.

"Payah! Masih muda kok loyo," cibirku semakin membuat Nila mengerucutkan bibirnya dengan napas yang masih ngos-ngosan.

"Tau dih kalah sama aku yang udah beranak," Maya menambahi, dan itu sukses membuat kami tertawa.

"Kaki doang yang panjang, energinya lemah!" seakan belum puas, Nara ikut melayangkan cibiran. Nila memang memiliki tubuh paling tinggi meski usianya paling muda. Hal yang selalu menjadi bahan ejekan Nara yang memiliki tubuh sedikit pendek dariku dan Maya. Tapi tak jarang Nara pun menjadi bahan bully Nila. Keduanya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing yang sama-sama asyik dijadikan bahan ejekan satu sama lain.

"Seenggaknya aku bisa pasang lampu sendiri. Gak minta bantuan kayak kamu," cibir balik Nila yang ditujukan pada Nara yang memang pernah mengeluhkan mengenai kekesalannya yang tidur gelap-gelapan karena lampu di kamarnya putus tengah malam dan harus menunggu pagi untuk meminta bantuan.

"Ck, udah-udah gak usah pada berantem. Lebih baik kalian nikmati ini. Enak segar," kataku seraya membagi satu per satu kelapa muda yang sudah berhasil di pangkas si penjual untuk memudahkan kami menikmati air di dalamnya.

"Bayar La," kata Maya dengan kekehan kecil serta sorot puas.

Sisa sore di hari pertama, aku habiskan dengan menikmati air kelapa muda di bibir pantai bersama ketiga temanku. Banyak cerita yang kami bagi, hingga gosip di kalangan kantor yang ikut di ceritakan. Tak lupa sosok yang ramai menjadi kekecewaan para karyawan perempuan pun ikut di bahas membuat aku teringat pada sosok tampan kekasihku. Aku akui rindu itu mulai bersarang padahal ini belum genap sehari aku dan Pak Naren berpisah. Tidak terbayang akan sedalam apa rinduku tiga hari ke depan.

***

See you next chap !!

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang