Bab 11

4K 394 7
                                    

Happy Reading !!!

***

Sudah tiga hari ini aku selalu pulang tepat waktu karena kerjaan yang memang tidak terlalu banyak, bahkan mampu aku selesaikan lebih awal, membuat senyumku selalu tersungging karena akhirnya banyak waktu luang yang bisa aku gunakan untuk hal-hal lain seperti membuat kue kering untuk camilan atau memasak untuk makan malamku. Namun dari semua kelegaan itu ada satu hal yang membuatku merasa tidak sempurna. Kehadiran Pak Naren. Sudah tiga hari aku tidak melihatnya di kantor mengingat pria itu selalu berada di ruangannya, dan lantai tempat kami berada cukup membuat jarak. Di luar kantor pun kami tetap tidak bertemu sebab aku mau pun Pak Naren tidak ada yang mengunjungi.

Hanya lewat pesan singkat kami masih berhubungan, itu pun tidak seintens orang pacaran pada umumnya. Tapi entah, karena aku sendiri tidak tahu bagaimana orang pacaran normal melakukan komunikasi. Yang jelas aku cukup merasa sepi. Kepulanganku yang tepat waktu tidak sepenuhnya membuatku bahagia dan kehadiran motorku kembali tidak pula sepenuhnya membuatku lega.

Hubunganku dengan Pak Naren memang belum lama tapi aku merasa bahwa ada yang kosong kala kehadirannya tidak aku temui tiga hari ini, padahal keberadaan kami tidak jauh seperti langit dan bumi. Hanya beda dua lantai, tapi tidak pernah membuat kami bertatap muka untuk sekadar menyapa lewat senyuman.

Rindu? Entah apa namanya yang aku rasa sekarang tapi sepertinya tidak salah dengan kata itu. Tapi aku tidak ingin mengartikannya dulu. Ini terlalu awal dan aku masih perlu memahami diriku atas perasaan yang sebenarnya aku miliki untuk Pak Naren. Aku memang tidak pernah berkata setuju pada hubungan yang Pak Naren cetuskan saat itu, tapi selama beberapa minggu ini aku merasa bahwa aku benar-benar memiliki kekasih.

Sikap Pak Naren membuktikan bahwa pria itu memang menganggapku dan aku pun dapat merasakannya. Itu alasan kenapa aku berani mengakui walau hanya sekadar dalam hati, tapi toh dalam kenyataan pun aku tidak menampik itu. Aku menerima perlakuan Pak Naren, menerima perhatian pria itu, dan aku juga nyatanya menerima ciuman yang Pak Naren berikan.

Aku tidak menampik bahwa aku menyukainya walau hati ini belum bergerak untuk mengakui perasaan yang mungkin saja seharusnya ada dalam sebuah hubungan, ya meskipun masih sekadar pacaran.

“Ngelamunin apa, Cha?”

Suara itu menarikku dari lamunan yang entah sejak kapan aku lakukan. Sari, duduk di kursi teras kos-ku di seberang meja yang menjadi penghubung antara dua kursi yang sama-sama menghadap pohon mangga milik si ibu kos yang memberi peneduhan pada teras yang selalu digunakan untuk bersantai oleh para penghuni kos. Salah satunya aku.

Sebenarnya kos yang aku tempati ini sama seperti kos pada umumnya, berbentuk panjang dan terdapat beberapa pintu. Hanya saja beda dengan yang aku miliki. Bisa di bilang bahwa kos milikku adalah kepala dari kamar kos-kos lainnya karena milikku lebih luas dan terdapat ruang tamu di dalamnya. Berbeda dengan kamar-kamar lain yang hanya di lengkapi dapur dan kamar mandi. Terasnya pun lebih luas, tapi itu sesuai dengan harga yang aku berikan setiap bulannya.

Yang aku tempati ini lebih mahal dari kamar-kamar lain. Dan jujur saja ini bukan keinginanku. Ayah yang memilihkan kos ini dan saat itu aku hanya bisa pasrah, padahal sebelumnya aku memilih kos biasa saja agar tidak terlalu repot saat membersihkannya. Sayangnya Ayah tidak menerima bantahan. Jadi mau tak mau aku menyetujuinya dari pada izin tinggal sendiri tidak diberikan.

“Baru mau berangkat?” tanyaku tanpa menanggapi kalimat Sari sebelumnya. Dan anggukan menjadi jawabannya.

Untuk beberapa saat aku memperhatikan wajah cantik Sari yang penuh dengan make up, seolah menegaskan pekerjaan perempuan itu yang berada di dunia gelap dan penuh gairah. Sebenarnya sudah lama aku ingin menyarankan Sari pekerjaan lain, tapi tidak cukup berani, karena menyinggung orang bukanlah keahlianku.

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang