Bab 24

3.3K 303 2
                                    

Happy Reading !!!

***

Belum tidur?

“Kalau udah mana mungkin aku angkat telepon kamu,” jawabku seraya memutar bola mata. Dan jawabanku itu membuat Pak Naren tertawa di seberang sana.

Ya siapa tahu ‘kan kamu awalnya udah tidur terus dengar ponsel bunyi jadi kebangun. Kalau kayak gitu aku merasa bersalah, Cha,

“Gak kok, Mas, aku belum tidur. Ini baru naik setelah makan malam dan jalan-jalan sama yang lain,”

Senang?

“Banget!” seruku antusias. Setelahnya aku menceritakan keseruan kami ketika makan malam tadi yang dilanjutkan dengan acara jalan-jalan, menikmati suasana pantai di malam hari yang ternyata tidak kalah ramai dari siang. Selain itu aku juga sempat menyaksikan kembang api dan beberapa pertunjukan yang di suguhkan.

Aku benar-benar menikmati liburanku meskipun terasa kurang lengkap tanpa adanya sang kekasih. Dan lain kali aku ingin bisa liburan bersama pria itu. Aku ingin menikmati keromantisan Bali dengan pasangan. Gara-gara melihat pasangan bermesraan aku jadi iri dan berharap Pak Naren berada di sini. Menikmati indahnya Bali sambil memelukku dari belakang. Ah, membayangkannya saja pipiku sudah terasa panas.

Cha? Cha-Cha kamu masih di sana ‘kan?”

Mengerjap, aku melirik ponsel yang ternyata masih tersambung dengan Pak Naren, menambah panas pipiku yang kini merasa malu karena sudah lancang memikirkan kebersamaan dengan pria itu. Tapi tidak masalah bukan? Toh yang aku pikirkan kekasihku sendiri bukan kekasih orang lain.

“Iya, kenapa Mas?”

“Kamu baik-baik aja ‘kan?” tanyanya terdengar cemas. Senyumku terukir mendengar kekhawatiran Pak Naren yang benar-benar membuat hatiku menghangat.

“Aku gak apa-apa,”

Serius?

“Iya, Mas sayang. Aku baik-baik aja,” kataku meyakinkan. Dan helaan napas lega terdengar dari seberang telepon. Aku kadang geli pada Pak Naren yang selalu saja mencemaskanku begitu berlebihan. Meski harus aku akui bahwa aku suka.

Setelahnya obrolan ringan berlangsung cukup lama, di mulai dari keluhan pria itu mengenai pekerjaannya, rasa kesepiannya dan rindu yang sama dengan yang aku rasakan, tapi tentu saja tidak aku ungkapkan karena meskipun hubunganku dengan pria itu sudah begitu dekat, aku masih saja malu untuk mengakui perasaanku yang sesungguhnya. Aku hanya berharap Pak Naren tahu meskipun aku tidak mengungkapkannya.

Ketika jam menunjukkan pukul satu dini hari, sambungan baru saja Pak Naren matikan karena pria itu harus kembali bekerja besok pagi dengan jadwal yang begitu padat, terlebih dia kerja sendiri karena sekretarisnya ikut berlibur bersama kami.

Tadinya Mas Bima menolak karena merasa bahwa tugasnya bersama Pak Naren, tapi atas paksaan kekasihku itu akhirnya Mas Bima menikmati hari bebasnya, dan Pak Naren bekerja seorang diri.

Dia ingin membuktikan pada ayah tirinya bahwa ia bisa diandalkan. Sekaligus ini bentuk terima kasihnya karena sang ayah sudah memberi kebahagiaan lebih dari yang sang papa beri kepada mamanya. Pak Naren sempat bercerita bahwa awalnya ia tidak menyetujui pernikahan sang mama dan pria yang menjadi ayah tirinya, tapi setelah melihat bagaimana bahagianya sang mama, Pak Naren jadi merasa bahwa dia memiliki hak untuk berterima kasih. Karena bagaimanapun Pak Naren begitu menyayangi mamanya. Kebahagiaan Tante Renata adalah tujuan utama hidup Pak Naren. Aku benar-benar merasa beruntung memiliki pria itu.

“Belum tidur, Cha?”

Kepalaku refleks menoleh ke arah suara. Dan mendapati Nara bersandar di ambang pintu dengan wajah mengantuknya. “Belum, baru selesai telponan sama kesayangan,” kekehku mengedipkan sebelah mata, menggoda Nara yang kesal karena rasa penasarannya belum juga aku puaskan.

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang