Happy Reading !!!
***
“Masih sering sakit gak?” Pak Naren meraihku ke dalam pelukannya ketika baru saja aku memasuki mobil pria itu yang sengaja menunggu demi pulang bersama setelah beberapa jam lembur, menyicil pekerjaan yang sudah aku tinggalkan selama satu minggu.
“Sesekali, tapi gak apa-apa kok, gak terlalu sakit.” Jujurku seraya membalas pelukan pak Naren. Tidak bohong bahwa aku benar-benar merindukan pria itu, apalagi setelah lintasan ingatan yang sempat aku lupakan menerjangku beberapa waktu lalu. Ingatan yang membuatku tahu sebesar apa pria itu mencintaiku, pun dengan perasaanku terhadapnya.
Meskipun sudah tahu mengenai perasaan Kak Sifi terhadap Pak Naren dari foto dan curahannya di buku diary. Itu tidak lantas membuatku mundur dengan hubungan yang sedang aku dan dia jalani saat ini, meski jujur bahwa ada sedikit rasa bersalah kepada Kak Sifi untuk hal ini. Kak Sifi mencintai Pak Naren, tapi aku malah justru berpacaran dengan laki-laki yang kakakku sukai. Dapat aku rasakan sakit Kak Sifi ketika mengetahui hubunganku dengan Pak Naren.
Aku tidak menyangka bisa menyukai orang yang sama dengan kakakku sendiri. Tapi meski begitu ingatanku belum semua lengkap. Masih ada satu jawaban yang belum aku temukan, namun aku memilih untuk berhenti mengingat dan mencari tahu. Cukup. Sampai di sini pun aku sudah diserang rasa bersalah.
“Kenapa coba nekad cari tahu? Aku kan udah bilang untuk berhenti, cukup kamu ingat aku ada di bagian memorimu yang hilang. Aku gak ingin semuanya. Cukup kamu tahu bahwa aku benar-benar ada di sana. Mencintai kamu. Aku kembali bukan bermaksud ingin mengusikmu terlebih memancing kemarahan ibu kamu. Aku hanya sadar bahwa tanpa kamu aku tidak mampu. Itu alasan kenapa aku menghampiri kamu, mengingkari janjiku untuk tidak menampakkan diri di depan kamu dan keluarga kamu. Maaf, gara-gara kehadiranku semua jadi kacau.”
Aku menarik diri dari pelukan pria itu, menatap Pak Naren yang kini menunduk dengan raut penuh sesal yang membuatku berkaca. Aku benar-benar tidak sanggup membayangkan bagaimana terluka dan tersiksanya pria itu selama ini. Aku yakin Pak Naren juga tidak ingin berada di posisinya saat itu. Mencintaiku di tengah rasa cinta kakakku untuknya.
Aku tidak tahu sedalam apa Kak Sifi menyukai Pak Naren, tapi dari kemarahan ibu terhadap Pak Naren hari itu aku yakin sebesar itulah rasa yang Kak Sifi miliki hingga berhasil membuat keadaan benar-benar kacau. Sayang, Kakakku terlalu pengecut untuk mengungkapkannya. Dan sepertinya Pak Naren pun terlalu menutup mata dengan rasa yang Kak Sifi pendam, pun dengan aku yang tidak sadar dengan rasa kakakku sendiri.
“Ternyata kamu sebucin itu ya, Mas?” kataku dengan maksud mengejek, ingin memperbaiki kemelowan yang tercipta. Dan sepertinya Pak Naren terpancing, terbukti dengan wajah menyedihkannya yang semula membuat iba berubah melas minta ditenggelamkan. Bibirnya mengerucut lucu dengan rengekan yang membuatku geli. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil yang minta di sayang.
“Pulang yuk, udah malam, aku juga lapar,” ajakku menghentikan tingkah manjanya.
“Dih lapar, perasaan tadi waktu kamu bilang mau lembur aku beliin banyak camilan, ada burger juga. Masa sekarang udah lapar lagi?” Pak Naren melirik ke arah arlojinya, kemudian kembali menatapku dengan kening mengerut dalam.
Aku hanya memberikan cengiran polosku sebelum merengek meminta di ajak makan. Meskipun benar Pak Naren tadi sempat memberiku camilan, tetap saja perutku kelaparan, karena seperti kebanyakan orang Indonesia, kalau belum makan nasi yang mana kenyang.
⁂
“Nara minta aku datang sama kamu nanti,” ceritaku pada Pak Naren yang kini sudah mengambil duduk di sampingku. Di sofa apartemennya.
“Ya iya lah. Memangnya kamu mau pergi sama siapa kalau bukan sama aku,” santainya menanggapi, tidak paham dengan maksud yang ingin aku sampaikan. Tapi memang tidak salah dengan yang dikatakannya, hanya saja aku tahu bahwa Nara mengundang banyak orang di kantor. Itu yang jadi masalahnya. Bagaimana jika nanti ketika aku dan Pak Naren datang berpapasan dengan orang kantor. Bisa terbongkar hubunganku dengan pria itu.
“Kalau nanti ketemu orang kantor gimana?”
“Bilang aja kalau kita kebetulan.” Masuk akal memang, tapi apa mungkin mereka akan percaya?
“Udah, gak usah dipikirin. Lagi pula biarin aja mereka tahu kalau kamu ini pacar aku, biar cowok yang berusaha ngejar kamu itu berhenti,” katanya dengan nada tak suka, membuat pikiranku tertuju pada Mas Septa yang belakangan semakin gencar mendekatiku, bahkan hari-hari terakhir ini kerap kali aku didatangi pria itu hanya untuk mengantar camilan yang katanya biar gak ngantuk ketika kerja.
“Mas cemburu?” godaku menusuk-nusuk pipi Pak Naren yang berada tepat di depanku yang memang duduk menyamping, sementara Pak Naren duduk lurus menatap televisi di depan.
“Salah?” sinisnya melirik singkat ke arahku.
Menggeleng, aku malah semakin menarik senyum mendapati kesinisan pria itu. “Aku pernah bilang belum, sih, kalau kamu makin ganteng ketika lagi cemburu?”
“Aku udah ganteng dari lahir, bukan cuma waktu cemburu aja,” sahutnya masih dengan nada yang sama seperti sebelumnya. Sinis.
“Tapi aku lihat foto mas yang jelek banget. Waktu Itu Tante Tamara bilang kalau di foto itu Mas abis kecebur kolam gara-gara nangkap kodok. Kodoknya gak dapat wajahnya yang kena lumpur,” tawaku menyembur setelah itu, dan aku merasa puas ketika melihat wajah merah Pak Naren yang sepertinya benar-benar malu karena aib masa kecilnya aku ketahui. Tante Renata bilang bahwa foto itu sengaja beliau sembunyikan karena berkali-kali hendak dilenyapkan oleh Pak Naren.
“Itu cerita bohong, Cha. Jangan percaya sama apa yang Mama ceritain!”
Sayangnya aku lebih percaya pada Tente Renata dari pada Pak Naren yang terlihat jelas kebohongannya. Keributan yang sedang aku lakukan dengan Pak Naren berakhir dengan gelitikan yang aku terima dari pria itu, sampai kemudian kami tersadar dengan posisi kami yang sudah begitu intim, dimana aku terbaring pasrah di atas kukungan Pak Naren.
Alih-alih bangkit dan kembali duduk normal, Pak Naren malah justru diam saja dengan tatapan tak biasa. Tatapan yang membuat tubuhku meremang dengan detak jantung yang menggila.
Kelopak mataku terpejam saat bibir Pak Naren semakin mendekat, dan kemudian aku bisa merasakan sesuatu menempel di bibirku. Beberapa saat tidak ada pergerakan apa pun sampai di detik berikutnya sebuah lumatan lembut diberikan Pak Naren. Mengundang hasrat lain yang ada di tubuhku. Dan sepertinya Pak Naren pun merasakan hal yang sama terbukti dengan ciumannya yang mulai menuntut. Aku bahkan hampir kehilangan napas jika saja Pak Naren tidak cepat-cepat melepaskan ciumannya.
Di tengah aku berusaha mengambil oksigen banyak-banyak, Pak Naren justru menurunkan ciumannya menuju tulang selangkaku, menjelajahi leher jenjangku dan sesekali memberikan hisapannya yang membuatku yakin bahwa akan ada tanda baru lagi di sana. Pak Naren benar-benar gemar meninggalakannya. Dan hal itu tidak jarang membuatku menggerutu di pagi hari karena harus menyembunyikannya agar tidak mendapat ledekan dari teman kantorku dan juga cibiran dari orang-orang yang tidak menyukaiku.
“Sakit Mas!” protesku saat tangan pria itu meremas kuat dadaku dari balik blus yang aku kenakan. Sayangnya Pak Naren tidak menghiraukan itu dan malah menambah kuat remasannya, membuat bukan hanya ringingsan tapi desahan pun bibirku keluarkan ketika sensasi yang begitu nikmat sekaligus menyiksa Pak Neren berikan lewat sentuhannya itu.
Rasa panas di kulit perutku terasa saat tangan Pak Naren menyelusup masuk, lalu bergerak menyingkap blus-ku, hingga menampilkan buah dadaku yang menyembul dari balik bra. Beberapa saat Pak Naren hanya diam, menatap milikku dengan damba, sebelum kemudian pria itu menurunkan kepalanya dan memberikan kecupan ringan di sana, sampai akhirnya sebuah hisapan kuat membuat tubuhku melengkung dengan lolongan penuh kenikmatan yang semakin menambah semangat Pak Naren dalam mencumbuku.
Pria itu bahkan sudah berhasil melepaskan pengait bra-ku dan menariknya ke atas, bergabung dengan blus-ku yang kini menumpuk di lipatan leher. Membuat milikku yang bulat terpampang jelas di depan wajah Pak Naren yang kini sudah tambah aktif menggoda puncakku, mengelumnya secara bergantian kemudian menghisapnya seperti seorang bayi.
Pak Naren benar-benar gila! Dan sayangnya aku lebih gila lagi karena tidak berusaha menghentikan pria itu.
****
See you next chap !!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...