Happy Reading !!!
***
Dengan berat hati aku membayar makanan yang sudah habis aku dan Pak Naren nikmati, lalu kembali menumpangi mobil Pak Naren yang terparkir bersama kendaraan-kendaraan lainnya yang juga mampir untuk mengisi perut masing-masing.
“Kenapa diam saja?” Pak Naren bertanya dengan lirikan kecilnya yang aku lihat hanya dari ekor mata.
“Mau lari-lari tapi gak bisa, makanya saya diam,” jawabku sedikit mendengus. Tidak sama sekali berniat melirik pria di sampingku itu yang entah mengapa belakang ini selalu saja menjadi berhubungan, padahal jelas bahwa sebelumnya kami tidak saling mengenal. Hanya kebetulan dimana Pak Naren yang menjadi boss-ku sekarang pernah bertemu denganku sebelumnya, itu pun tidak ada interaksi yang membuat kita saling mengenal selain nama masing-masing.
“Ternyata kamu masih aja lucu, ya,” kata pria itu membuatku menoleh dengan kening mengerut dalam, menatap aneh Pak Naren yang terkekeh padahal aku yakin tidak ada hal yang lucu sama sekali.
“Selera humor Bapak murahan. Gak ada yang lucu pun diketawain,” ejekku tak sopan, dan hal itu tentu saja langsung mendapat pelototan dari Pak Naren yang baru saja menghentikan mobilnya tepat ketika lampu yang sebelumnya hijau berubah merah.
“Coba bilang sekali lagi?” katanya dengan lirikan tajam sarat akan ketersinggungan. Membuatku cepat-cepat menggelengkan kepala dan berpaling dari sosok Pak Naren yang menyeramkan.
“Kalimatnya memang gak ada yang lucu, tapi kamu … kamu yang lucu. Sebab itu saya suka,”
Aku sontak kembali menoleh, melirik horor pria tampan di sampingku itu. “Maksud Bapak apa?” tuntutku memastikan.
“Saya suka kamu,” jawabnya begitu ringan, semakin membuatku melongo karenanya. “Jadi pacar saya, ya, Cha?” katanya lebih mengejutkan.
“Pak—”
“Oke, saya tidak menerima penolakan,” ujarnya memotong kalimatku dengan cepat. Membuatku menggeleng tak percaya sekaligus tidak habis pikir. “Mulai detik ini kamu pacar saya,” tambahnya dengan sorot mata serius sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Setelah itu kembali melajukan mobilnya sebab lampu merah sudah berganti hijau kembali.
“Saya tidak menerima pria yang ngajak pacaran, Pak. Gak gentel,” ucapku tanpa melirik Pak Naren yang terlihat mengernyit.
“Lalu? Kamu ingin langsung menikah, gitu?” dengan yakin aku menganggukkan kepala. “Tidak ingin lebih dulu mengenal pasangan kamu? Serius?” di sini aku mulai ragu dengan keinginanku sebelumnya.
Untuk jeda yang cukup lama, aku menatap Pak Naren sambil memikirkan mengenai keinginanku sebelumnya yang menolak pacaran. Jika di telusuri lebih lanjut menikah langsung tanpa mengenal pasangan lebih dulu adalah hal yang terlalu beresiko. Kesalahpahaman tidak akan lagi menjadi sederhana dan perpisahan akan menjadi bencana. Bukan hanya antara aku dan dia, tapi juga keluarga. Jadi …
“Apa alasan Pak Naren suka saya?” tanyaku memastikan lebih dulu.
“Karena itu kamu,” jawabnya sekilas melirik ke arahku. “Saya tidak akan suka jika itu bukan kamu,” tambahnya terdengar serius.
“Ya, kenapa?”
“Tidak kenapa-kenapa, pokoknya karena itu kamu, makanya saya suka.”
“Ck, gak jelas,” delikku memutar bola mata.
“Karena cinta memang tidak pernah jelas wujudnya.”
⁂
Aku tidak tahu alasan jelas kenapa Pak Naren suka padaku, tapi yang pasti sekarang, tepatnya sejak dua hari yang lalu kami sudah resmi berpacaran karena aku yang memutuskan untuk menyetujui ajakannya. Bukan juga sih sebenarnya, karena pada dasarnya memang dia yang tidak menerima penolakan. Jadi, meskipun aku tidak menjawab, tetap saja hubungan kami dinamakan pacaran. Tapi aku meminta Pak Naren untuk menyembunyikan hubungan ini sebab aku belum siap menjadi bahan pembicaraan orang-orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...