Bab 6

4.7K 411 9
                                    

Happy Reading !!!

***

“Kamu lapar ‘kan?” hanya anggukan pelan yang aku berikan di tengah kebingungan mengapa aku bisa berada di tempat ini sekarang, di dalam sebuah apartemen mewah yang jujur baru pertama aku masuki. Namun sayangnya aku tidak tahu ekspresi apa yang harus diberikan tak kala seorang pria baru di kenal yang membawaku ke tempat ini.

“Kamu boleh lihat kulkas saya, siapa tahu ada sesuatu yang bisa di makanan,” lanjutnya seraya menunjuk arah dapur yang memang cukup aku sadari keberadaannya mengingat mataku sejak tadi menjelajah. Selain karena ingin melihat-lihat juga karena aku ingin mengalihkan kegugupan.

“Terus Bapak mau ke mana?” tanyaku cepat ketika dari sudut mata melihat pergerakan pria itu.

“Ke kamar, mau mandi. Kenapa, kamu mau ikut?” terdengar nada menggoda yang pria itu berikan meski wajah tampannya masih saja terlihat tenang.

Cepat-cepat aku menggeleng dan refleks melangkah mundur dengan rasa was-was. “Jadi maksud Bapak ada urusan itu apa?” kembali aku teringat ketika di bawah tadi Pak Naren mengatakan ada urusan di dalam. Apa mungkin …

“Ya, urusan saya mau mandi. Gerah!” ujarnya seraya mengipasi depan wajah, bersikap seolah dia tengah benar-benar kegerahan. Aku tidak tahu itu alasan atau sungguhan sebab aku tidak begitu memperhatikan keringatnya.

Ck, tahu gitu saya pulang naik taksi!” keluhku sebal. Menyesal karena sudah ceroboh main naik saja ke mobilnya dan meminta di antar pulang. Salahku memang yang tidak bertanya lebih dulu kesediaan pria itu.

“Jadi kamu mau pulang?”

“Bapak mau ngenterin?” sahutku cepat dengan mata berbinar melihat ada secercah harapan.

“Boleh, tapi nanti setelah saya mandi dan makan malam.”

Seketika senyumku surut begitu mendengar jawabannya.

“Kenapa coba tadi gak anterin saya dulu, Pak? Tahu gitu ‘kan saya udah sampai kos sekarang,”

“Apartemen saya lebih dekat dari pada kos kamu. Lagi pula suruh siapa sepanjang perjalanan sibuk sama ponsel sampai gak sadar jalan,” cibirnya dengan raut wajah tenang. Sementara aku sudah menggeram kesal.

Pak Naren tidak paham dengan kecemasanku yang takut di gosipkan orang sekantor akibat kecerobohanku yang malah berinteraksi dengan pria itu di parkiran yang rawan ketahuan meskipun keadaan kantor sudah sepi, tapi tidak menutup kemungkinan ada yang lembur ‘kan.

“Ya sudah, Bapak cepat mandinya, ya, setelah itu janji antar saya pulang,” ucapku menatap pria tampan itu dengan tajam, mengancam.

Pak Naren tidak lagi membuka kata, memilih melangkah dan masuk ke salah satu pintu yang tertutup di sayap sebelah kiri, yang aku yakini bahwa itu adalah kamar. Penasaran sih bagaimana bentuknya kamar seorang pria karena sejauh ini aku tidak pernah masuk ke kamar kaum mereka mengingat pacaran saja aku tidak pernah dan lagi keluargaku lebih di dominasi perempuan. Ada lelaki pun tidak pernah berniat aku masuk ke kamar mereka. Tapi entah kenapa ada rasa penasaran dalam diri ini ketika pintu bercat cokelat gelap itu kembali tertutup. Namun bunyi di dalam perut kembali mengambil alih kewarasanku.

Dari pada penasaran dengan isi dari kamar si bos, aku lebih penasaran isi kulkas pria menyebalkan itu. Dan aku tercengang saat melihat isi lemari pendingin itu begitu penuh dan lengkap, tersusun rapi hingga tidak menyulitkan dalam mencari apa yang di butuhkan.

Seketika aku meringis, mengingat kulkasku yang tidak setinggi milik Pak Naren ini jangankan rapi dan bersih seperti ini, isinya saja paling-paling hanya telur, air mineral dan beberapa kaleng soda, selebihnya camilan dan buah yang perlahan mengerut. Benar-benar anak kos sekali.

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang