Bab 21

3.5K 348 3
                                    

Happy Reading !!!

***

“Aku dengar kamu gak ikut ke Bali,” mulaiku membuka obrolan setelah cukup lama hanya duduk-duduk diam menikmati tayangan televisi di apartemen Pak Naren.

“Iya, ada pekerjaan yang tidak bisa aku wakilkan, makanya gak bisa ikut.”

“Tau ada pekerjaan kenapa ngambil tanggal itu perginya? Kenapa gak sebelum atau setelahnya?”

“Kenapa memangnya? Kamu sedih karena aku gak ikut?” tanyanya dengan nada menggoda.

“Anda terlalu percaya diri Bapak Naren yang terhormat,” ujarku memutar bola mata. “Aku justru senang kamu gak ikut, dengan begitu aku bebas tanpa kamu awasi,” lanjutku dengan ringan. Membuat wajah Pak Naren mengeras dan dengan gerakan cepat pria itu bangkit dari posisinya berbaring lalu menghimpit tubuhku yang tersandar pada tangan sofa.

“Sepuluh tahun ini kamu tidak pernah bebas dari pengawasanku, sayang,” bisik laki-laki itu. Membuat tubuhku meremang dan gugup karena kini wajah Pak Naren berada tepat di atasku. Saking dekatnya, aku sampai bisa merasakan sapuan lembut napasnya yang wangi mint. “Jangan berusaha untuk macam-macam ketika aku tidak ada, Cha. Atau kamu akan menyesal,” lanjutnya mirip seperti ancaman. Setelah itu Pak Naren menjatuhkan satu kecupan ringan di bibirku, dan menjatuhkan diri di tubuhku.

“Berat Mas!” protesku berusaha menyingkirkan tubuh Pak Naren dari atasku, tapi pria itu malah semakin mempererat pelukannya, dan semakin menyusupkan kepalanya di ceruk leherku. Hal yang sering pria itu lakukan belakangan ini. Dan masih saja mengejutkan sekaligus membuatku risi.

Selama ini belum ada pria yang memperlakukanku seperti ini, mengingat dekat dengan laki-laki saja aku tidak pernah berhasil.

“Diam Cha, aku cuma pengen peluk kamu,”

“Tapi gak gini juga dong, Mas! Kamu berat.”

Sayangnya Pak Naren tidak mengidahkanku, membuatku mendengus dan memilih berhenti berusaha. Percuma, tenagaku tidak sebanding dengan pria itu, pemberontakanku hanya akan berakhir sia-sia. Bukan kebebasan yang aku dapat malah justru lelah yang aku rasakan. Akhirnya aku memilih menyamankan posisiku tanpa menyingkirkan pria tidak sadar berat badan itu, dan seperti kebiasaan, aku memainkan rambut lebat Pak Naren. Memilin dan kadang menariknya.

“Mas, hubungan kamu sama Afril gimana?” tanyaku ketika bayangan perempuan itu kembali melintas.

“Gak gimana-gimana. Aku dan dia tidak memiliki hubungan apa pun,”

“Tapi pertunangan kalian—”

“Itu tidak berarti sama sekali, Cha. Aku sudah membatalkannya jauh sebelum kamu bertemu dia.”

“Ta—”

“Apa yang kamu takutkan dengan hubunganku sama Afril?” Pak Naren mendongak, menatap wajahku yang menunduk melihatnya. Membuat wajah kami kini sejajar dengan jarak yang begitu dekat, nyaris bersentuhan.

“Aku hanya takut suatu saat nanti dia marah karena aku bersamamu, dan berakhir menyalahkan kandasnya hubungan kalian.”

Hal itu memang benar-benar aku takutkan. Terlalu banyak membaca novel membuatku membayangkan kejadian-kejadian tak mengenakan yang akan terjadi ke depannya. Aku bukan perempuan tangguh, meskipun tidak cengeng, tapi masalahnya bagaimana jika suatu saat nanti perempuan itu memberi tahu seluruh dunia bahwa aku adalah perempuan jahat yang sudah menghancurkan dia

“Itu tidak akan pernah terjadi, Cha. Lagi pula sebelum dia, kamu yang lebih dulu hadir dalam hidupku,”

Kalimat itu terdengar serius. Tapi aku tetap saja masih merasa ragu.

“Jangan terlalu memikirkan hal-hal seperti itu, Cha. Lagi pula aku tidak akan pernah membiarkan kamu terluka. Please, percaya sama aku! Bukan Afril yang aku inginkan, Cha, tapi kamu. Aku mencintai kamu sejak dua belas tahun yang lalu, dan aku akan melakukan apa pun demi kamu. Aku gak mau kehilangan kamu lagi, aku gak mau pisah sama kamu lagi, Cha. Gak mau!”

Pak Naren menggelengkan kepala di akhir kalimatnya, sorot matanya yang terlihat terluka membuatku berkaca seolah dapat merasakan kesakitan yang pria itu miliki. Dan hal ini membuatku bertanya dalam hati, apa sedalam ini perasaan pria itu kepadaku? Apa yang sudah terjadi di masa lalu, dan bagaimana perasaanku terhadap pria itu?

“Mas, apa kamu kenal kakakku?”

“Sifilia? Dia sahabatku sejak kami berada di masa putih abu. Karena dia aku bisa bertemu kamu.”

Mataku memicing, mencari kebohongan di manik pria itu, tapi tidak ada. Pak Naren jujur ketika mengatakan bahwa Kak Sifi adalah sahabatnya. Aku tidak pernah membahas kakakku pada siapa pun, dan itu membuktikan bahwa Pak Naren memang hadir di masa lalu yang aku lupakan.

“Saat itu kami sedang ada tugas dari kampus dan kebetulan Sifi sedang sakit, jadi aku dan dua teman lainnya yang kebetulan satu kelompok memutuskan untuk mengerjakan di rumah Sifi agar dia bisa setidaknya menyimak. Saat itu kita berpapasan di dapur, aku menumpang ke toilet, sementara kamu yang masih mengenakan seragam sekolah mengambil air minum. Tapi perkenalan kita tidak di sana, itu hanya awal dari pertemuan untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya. Sampai kemudian aku tidak sengaja melihatmu duduk di halte seorang diri sore-sore. Aku menghampirimu dan saat itulah perkenalan resmi kita berlangsung,”

Tanpa diminta, Pak Naren menceritakan hal itu, yang membuatku semakin mengerutkan kening, berusaha mengingat kilasan kenangan yang pria itu ceritakan. Tapi nihil, aku tidak juga bisa mengingat hal itu, bahkan setelah Pak Naren melanjutkan ceritanya, dimana dari perkenalan itu kami jadi sering berkirim pesan dan pergi bersama. Menghabiskan waktu dengan jalan-jalan atau nonton.

“Tanggal lima belas bulan April dua ribu sembilan hubungan kita resmi berpacaran, tapi kamu memberiku syarat untuk tidak memberitahu siapa pun tentang hubungan kita terlebih pada Sifi dan orang tua kamu. Aku awalnya keberatan, tapi karena ancaman kamu yang kekanakan akhirnya mau tidak mau aku menurut. Dan setiap kali kita akan kencan, selalu saja kita kucing-kucingan dengan Sifi dan ayah ibumu, bahkan tak jarang kamu berbohong mengenai kerja kelompok di rumah teman kamu. Ck, dasar gadis nakal!”

Sentilan kecil Pak Naren berikan di pelipisku dan itu membuatku refleks mengaduh di susul dengan rasa familiar yang hinggap untuk kalimat terakhir pria itu. Aku merasa pernah mendapatkan kalimat serupa, tapi tidak ingat jelas siapa dan kapan itu aku dengar.

“Kamu ada ingat sesuatu?” tanya Pak Naren ketika mendapatiku terdiam.

Gelengan pelan aku berikan, membuat Pak Naren menghela dan kembali menjatuhkan kepalanya, menyusup di lipatan leherku.

“Maaf belum bisa mengingat tentang kamu,”

“Bukan salah kamu,” balasnya berbisik tepat di leherku yang sontak merinding karena hembusan hangat napasnya menyentuh langsung kulitku. “Suatu saat kamu akan mengingat semuanya, dan aku harap kamu tidak pergi dari sisiku seperti apa yang kamu katakan dulu.”

“Apa ada alasan yang akan membuatku pergi setelah mengingat semuanya? Apa karena itu juga kamu tidak menampakkan diri saat aku bangun dari koma?”

“Aku tidak mau menutupi ini dari kamu, Cha,” Pak Naren kembali mengangkat kepalanya, menatapku dengan sorot bersalah. “Tapi ... Kecelakaan yang kamu dan Sifi alami semua gara-gara aku.”

***

See you next chap !!!

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang