Bab 32

3.5K 211 9
                                    

Happy Reading !!!

***

Seperti yang Pak Naren katakan, siang ini kami akan makan siang bersama, yang tentunya tidak hanya berdua karena sejujurnya ajakan ini berasal dari Afril, yang tentu tidak melibatkan aku di dalamnya, tapi karena aku kekasih dari pria itu dan hubungan kami sudah terang-terangan, jadilah Pak Naren mengikut sertakan aku. Bahkan pria itu turun dan menjemputku di kubikel, mengundang perhatian orang-orang di sana termasuk Mas Septa yang kala itu datang mengajakku makan siang bersama.

Dengan ramainya gosip yang beredar Mas Septa terlihat tidak terpengaruh. Sampai akhirnya Pak Naren turun tangan sendiri dan membawaku pergi dari sana.

Lift yang terisi oleh beberapa karyawan lain tidak membuat Pak Naren sungkan dalam memberikan perhatiannya kepadaku, entah itu saat merapikan rambutku yang sedikit berantakan atau kegemasannya ketika aku tidak sengaja menampilkan wajah cemberut ketika pria itu berhasil melempar ledekannya.

Pekikan-pekikan tertahan yang samar aku dengar dari arah sisi kanan kiri belakang tidak cukup mengusikku dan Pak Naren. Sampai lift yang menampung kami tiba dan kami lantas keluar dari sana, suara lantang dari arah depan membuat aku dan Pak Naren sontak mendongak, tidak ketinggalan orang-orang yang masih berada disekitarku pun ikut melihat ke sumber suara.

Aku memutar bola mata ketika sosok cantik yang memang hendak di temui berjalan cepat menuju arahku. Tidak, lebih tepatnya ke arah Pak Naren sebab pria itu berada di sampingku menggenggam tanganku yang memang dilakukannya sejak tadi, sebelum kami memasuki lift.

“Kenapa kita gak makan siang di ruangan kamu seperti biasa sih? Aku kan pengen masakin makanan kesukaan kamu,” katanya dengan raut cemberut yang manja dan hendak meraih Pak Naren untuk digandengnya, namun dengan cepat aku tarik kekasihku, sampai Afril gagal meraihnya. Membuat perempuan itu menajamkan mata ke arahku dan terlihat cukup terkejut melihat keberadaanku di sana.

“Hai Mbak, lama gak ketemu,” sapaku tersenyum ramah. Aku cukup sadar diri dimana aku berada sekarang. Tidak elegan rasanya jika harus marah-marah menghadapi Afril yang kini wajahnya semakin keras dengan rona merah yang aku tahu bukan akibat dari rasa malu apalagi kepanasan akibat cuaca di luar karena siang ini cukup mendung aku lihat. Merah itu diakibatkan dari rasa marahnya. Terbukti beberapa detik kemudian perempuan itu meledak, sepertinya baru ingat siapa aku. Sosok yang datang ketika Pak Naren sakit hari itu. Yang membuat Afril di usir secara terang-terangan oleh tunangannya sendiri.

“Kamu! Kamu ngapain di sini?”

Dengan senyum terukir manis aku menjawab mengenai keberadaanku di perusahan yang sudah memberiku penghasilan selama tiga tahun ini. Dan itu membuat Afril terlihat semakin terkejut, tapi tidak setelahnya karena Afril malah justru menatapku dari atas sampai bawah dengan pandangan rendah. Namun aku yang memiliki paras tak kalah dari Sandra Dewi tidak lantas membuat hilang percaya diri walau aku sadar Afril lebih cantik. Tapi toh buat apa jika tidak memiliki attitude yang baik. Orang-orang akan hilang respek.

“Karyawan rendahan seperti kamu pintar banget menjadikan Naren incaran,” ujarnya tersenyum culas. Wajah angkuhnya kini tampil sempurna dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Aku menghela, berusaha menyabarkan diri.

Ini tempat umum dan aku sadar banyak orang yang memperhatikan. Aku yakin setelah ini gosipku di kalangan grup karyawan akan semakin heboh lagi.

“Sadar hey, Naren sudah punya tunangan,” lanjutnya terdengar begitu sombong. Afril sepertinya tidak sama sekali terpengaruh dengan orang-orang di lobi yang memperhatikan. Perempuan itu seolah sengaja ingin semua orang yang ada di sana tahu bahwa aku sosok pelakor diantara dia dan Pak Naren.

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang