Bab 26

3.6K 311 6
                                    

Happy Reading!!!

***

Karena ini adalah malam terakhir kami di Bali, pihak kantor mengadakan acara penutupan dengan sebuah pesta kecil-kecilan di salah satu restoran yang cukup terkenal di Bali agar besok bisa digunakan untuk bebenah atau mungkin jalan-jalan demi berbelanja oleh-oleh. Yang pasti besok semua karyawan bebas pergi ke mana pun asal tidak terlambat berkumpul untuk pulang.

Karena aku yang masih belum siap mengumumkan hubunganku dengan Pak Naren ke semua karyawan di kantor, jadilah aku memilih untuk pergi bersama Maya dan Nila, sementara Nara tentunya tidak akan lepas dari calon suaminya. Eh, ralat. Justru Billy yang tidak akan mau melepas Nara, mengingat betapa bucinnya pria itu.

Meskipun hanya sekilas mengenal Billy, aku cukup tahu bagaimana pria itu, terlebih setiap bertemu, Billy selalu dengan terang-terangan menunjukkan sikap manisnya kepada Nara.

Para karyawan perempuan begitu heboh ketika Pak Naren menunjukkan diri di depan karena ada sepatah dua patah kata yang akan pria itu ucapkan sebagai terima kasihnya kepada semua karyawan yang selama ini sudah bekerja keras memajukan perusahaan.

Semua orang bagai di beri kejutan oleh pria itu, dan jujur saja itu membuatku sedikit kesal. Tapi sebisa mungkin aku redam. Ini belum saatnya aku membungkam mulut-mulut lancang mereka yang saling bersahutan meminta Pak Naren halalkan. Tidak jarang aku mengeluarkan cibiran pelan sarat akan ketidak sukaan, hal yang membuat Nara yang duduk di sampingku bersama Billy tidak hentinya terkekeh, dan tak jarang memberiku cubitan gemasnya.

“Aku gak nyangka Pak Naren akan datang,” celetuk Nila yang ada di samping kiriku bersama Maya. Kami duduk melingkari meja bundar yang terhidang makanan yang pihak restoran sajikan.

“Memangnya kenapa kalau dia datang?” sinisku melirik Nila sekilas. Tapi karena terlalu fokus pada objek di depan yang begitu memesona, Nila sepertinya tidak menangkap kesinisanku, terbukti dari jawaban riangnya mengenai alasan mengapa dia bahagia dengan kedatangan Pak Naren.

Nila, satu di antara banyaknya perempuan yang mengidolakan pria itu. Dan itu membuatku gatal, ingin meneriakan di depan telinga Nila bahwa pria itu milikku. Sayangnya aku tidak seposesif dan segila itu.

“Kamu gak niat publikasi sekarang aja nih, Cha? Mumpung momennya pas. Hampir semua karyawan ada di sini,” kompor Billy yang sepertinya bersekongkol dengan Nara, karena kedua orang itu baru saja melakukan high five.

“Gak deh, aku gak mau rusak hasil refreshing mereka. Kasian. Kantor juga kerepotan nanti kalau tiba-tiba karyawannya pada resign,” jawabku acuh. Tenang saja, hatiku masih bisa terselamatkan kok. Lagi pula kekaguman mereka belum tentu bersambut dengan kekasihku.

Selesai kata-kata penutupan Pak Naren berikan, acara setelahnya benar-benar sebuah pesta yang mana para karyawan berbaur, bebas melakukan apa pun termasuk menampilkan persembahan di panggung yang tersedia di depan dengan pemain musik yang akan siap mengiringi. Tidak sedikit karyawan yang berpasangan maju untuk berdansa.

Di kantorku tidak ada larang menjalin hubungan, karena atasan kami terdahulu bilang bahwa itu bisa menjadi tambahan semangat untuk mereka. Dan itu terbukti, walau tak jarang ketika galau ikut berdampak pada pekerjaan. Tapi karena memiliki atasan yang menyenangkan dan baik hati, Pak Kenda tak jarang turun tangan demi menghibur mereka yang patah hati. Tapi tidak akan aku biarkan Pak Naren melakukan hal yang sama. Dia hanya milikku.

“Masih mau di sini apa jalan-jalan?” bisikan itu aku terima dari belakang, membuatku refleks menoleh dan mendapati Pak Naren berdiri di sana, tengah mengobrol dengan Pak Roni dan beberapa orang lainnya, Nara yang entah sejak kapan berdiri di sampingku ikut menoleh dengan kedipan jahil tertuju padaku.

“Pantai indah deh, Cha. Lumayan buat pacaran,” ujarnya menggoda dan berhasil membuatku salah tingkah.

“Aku tunggu di depan, ya,” bisik Pak Naren lagi sebelum sempat aku menanggapi Nara. Setelahnya sosok jangkung itu pamit pada Pak Rino dan yang lain. Dan mataku mengikuti kepergian laki-laki itu, pun dengan Nara.

“Gak nyangka sumpah,” kata Nara kembali menarik atensiku. “Mr. N kamu ternyata dia,” lanjutnya seraya menggeleng. “Tapi aku senang, akhirnya ada yang bisa meluluhkan hati kamu. Cha, boleh gak sih kita tuker tambah aja? Aku kok gemes ya sama itu cowok,”

“Ekhem! Lupa apa gimana kalau calon suami ada di samping?”

Tawaku lepas melihat Nara yang ciut di bawah tatapan tajam Billy, membuat kesempatan itu aku gunakan untuk kabur karena tidak ingin membuat Pak Naren menunggu terlalu lama, tidak ingin juga menyaksikan pertengkaran sepasang manusia bucin itu.

Berhasil keluar, aku celingukan mencari keberadaan Pak Naren yang katanya menunggu di depan, tapi sosoknya tidak juga aku lihat hingga satu pesan masuk, mengatakan bahwa pria itu menunggu di pinggir pantai dengan rute lurus dari restoran. Dan aku menyunggingkan senyum ketika mendapati sosok itu berdiri membelakangiku.

Mempercepat langkah, aku menampakkan diri di depan pria itu dengan senyum manis yang mengembang, membuat Pak Naren melakukan hal yang sama kemudian meraih tanganku untuk digandengnya sebelum kemudian kami berjalan menyusuri pesisir pantai dengan langkah ringan. Entah ke mana tujuan kami, karena untuk saat ini sepertinya kami hanya mengikuti ke mana kaki membawa. Aku hanya ingin menikmati waktu ini. Mengumpulkan kenangan yang bisa saja suatu saat nanti aku perlukan.

“Cha, sampai mana kamu mengingat aku?” mulainya setelah cukup jauh kami melangkah.

“Gak banyak, hanya kilasan tentang dimana dan bagaimana kamu memulai hubungan kita,” kataku seadanya, karena memang belum banyak ingatan yang aku dapatkan tentang sosok Pak Naren.

“Boleh gak aku minta kamu tidak perlu mengingat yang lainnya,” Pak Naren menghentikan langkah, berdiri di depanku dengan raut yang tidak bisa aku jelaskan. Dan itu membuatku heran.

“Kenapa?”

“Aku gak mau jauh lagi dari kamu, Cha” ucapnya yang kini sorot mata Pak Naren menunjukkan ketakutan.

“Mas—”

“Apa yang terjadi pada Sifi dan kamu adalah kesalahanku. Aku gak mau memori yang akan kamu temukan nanti menjadi alasan kamu pergi. Aku gak bisa, Cha,” ucapnya lirih dengan kepala yang menggeleng resah. “Aku juga gak mau kamu terpukul dan menyalahkan diri sendiri,” tambahnya semakin lesu. Dan aku semakin tidak mengerti. Apa aku juga menjadi penyebab meninggalnya Kak Sifi? Pikirku dalam hati.

“Jangan bahas itu dulu bisa, ya, Mas? Aku juga belum siap untuk berpikir keras,” kataku yang memang belum siap jika seandainya apa yang aku pikirkan benar adanya.

“Tapi janji kalau ada ingatan yang kamu dapatkan bilang sama aku?” pintanya yang tanpa pikir panjang langsung aku setujui karena pada siapa lagi aku akan mengadu jika bukan pada Pak Naren.

“Kalau gitu sini peluk dulu, aku gak tenang dari kemarin siang gara-gara dengar kata roller coaster. Takut banget aku kamu dapat ingatan kamu sepenuhnya. Aku belum siap, dan aku gak mau ditinggalkan.”

Aku terkekeh melihat rajukan pria dewasa itu, tapi tak urung aku berhambur ke dalam pelukannya.

***

To be continue !!!

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang