Bab 29

3.6K 286 3
                                    

Happy Reading !!!

***

“Udah mulai nakal, ya, Cha,” bisik Nara dengan nada menggoda seraya menunjuk leherku dengan dagunya. “Pak Naren gak sabar halalin deh kayaknya. Cha. Udah main tandain aja. Ya, meskipun kurang tebal.”

Nara tidak tahu saja bahwa warna merah keunguan itu begitu mencolok di leherku. Bukan hanya di sana tapi di balik baju pun ada karena semalam Pak Naren benar-benar hilang kendali, beruntung aku masih bisa menghentikannya jadi kegadisanku masih dapat di selamatkan. Tidak terbayang jika aku ikut tak waras semalam.

“Keliatan jelas banget ya, Na?” ringisku cukup malu karena Nara berhasil melihat kenakalanku dengan Pak Naren. Padahal pagi tadi aku rela bangun lebih awal demi berkutat untuk menyamarkan bekas itu.

Make up yang aku awet-awet berakhir dengan aku hamburkan hanya karena ingin menutupi tanda bekas cumbuan Pak Naren yang tidak hanya satu di leher. Tapi sialnya masih saja Nara dapat melihat itu. Padahal biasanya tidak.

“Yang ini jelas, make up-nya mulai luntur kayaknya,” katanya seraya menunjuk sisi kanan leherku. “Yang lain cuma membayang dikit aja,” tambahnya dengan gerak mata yang menyusuri seluruh leherku, senyumnya yang berusaha di tahan membuatku benar-benar merasa malu dan memilih memalingkan wajah karena tidak ingin membuat Nara semakin menggodaku.

“Pak Naren seganas itu ya, Cha?” bisiknya menambah rasa panas di sekitar wajahku. Nara benar-benar sialan.

Tidak ingin terus mendapat olokan Nara, aku memilih bangkit dari duduk dan meninggalkan meja kerjaku. Membawa serta dokumen yang akan aku serahkan pada Pak Naren dan aku janji tidak akan kembali lagi ke meja. Aku sudah benar-benar malu. Selain itu aku juga tidak ingin orang lain melihat apa yang ada di leherku. Cukup Nara yang sukses membuatku malu. Beruntung jam kerja sebentar lagi usai, jadi sepertinya tidak masalah jika aku bersembunyi di ruangan kekasihku. Sekaligus aku ingin protes pada pria itu.

“Si Bos ada, Mas?” tanyaku pada sekretaris Pak Naren yang terlihat sibuk menyusun dokumen yang sepertinya akan diserahkan pada Pak Naren.

“Ada Cha. Kamu mau masuk?”

“Iya, mau serahin ini,” kataku seraya menunjuk dokumen yang aku peluk di depan dada dengan fungsi yang aku manfaatkan untuk menutupi leher.

“Saya boleh sekalian titip ini?” cepat-cepat anggukan aku berikan dan segera berjalan menuju meja Mas Bima, mengambil beberapa Map yang baru saja pria itu bereskan.

“Terima kasih, Cha” katanya sebelum aku mengetuk pintu ruangan Pak Naren, meninggalkan Mas Bima yang kembali sibuk dengan komputernya.

Hanya anggukan singkat yang aku berikan, setelahnya aku membuka pintu ganda itu begitu mendengar sahutan di dalam yang memintaku untuk masuk. Di dalam, terlihat Pak Naren tengah sibuk dengan komputer dan dokumen yang menumpuk di meja kerjanya. Sampai untuk mendongak demi melihat siapa yang masuk saja tidak Pak Naren lakukan.

Sesibuk itukah kekasihku?

“Dokumen yang saya minta sudah selesai kamu kerjakan, Bim?” tanyanya masih saja tanpa mengangkat kepala. Jarinya menari lincah di keyboard komputer dengan irama yang begitu cepat, tatapannya fokus dan terlihat begitu serius. Boleh aku akui jika Pak Naren semakin bertambah tampan di saat seperti ini?

“Aku gak tahu, tapi tadi Mas Bima titip ini,” kataku sembari memberikan dokumen yang sekretaris Pak Naren titipkan.

Pak Naren langsung mengangkat kepalanya seolah memastikan bahwa pria itu tidak salah mendengar suaraku. Senyumku terukir melihat wajah tampannya yang terlihat terkejut, tapi itu tidak berlangsung lama karena setelahnya Pak Naren ikut menarik kedua sudut bibirnya seraya bangkit dari duduk dan berjalan menghampiriku. Meraih kepalaku untuk di dekatkan pada bibirnya, hingga satu kecupan di pelipis aku rasakan.

“Mas!” peringatku seraya menoleh ke arah pintu yang takut tiba-tiba saja terbuka dan seseorang memergokiku dengan Pak Naren.

“Gak akan ada yang lihat, sayang, gak usah panik gitu,” kekehnya geli, membuat aku refleks melayangkan cubitan kecil di pinggangnya. Tapi Pak Naren malah semakin tertawa mendapati aku yang malah jadi salah tingkah.

“Itu laporan yang kamu minta,” kataku kembali membuka suara demi menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba saja menyerah ketika berada sedekat ini dengan Pak Naren, padahal biasanya lebih dekat dari ini, tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena di kantor, makanya aku lebih gugup, takut terpergok dan berakhir dengan terbongkarnya hubunganku dengan bos mereka.

“Iya, nanti aku periksa,”

Aku kira setelah mengatakan itu Pak Naren akan segera kembali ke tempatnya, tapi ternyata tidak, dia malah diam menatapku dengan begitu intens yang malah semakin membuatku gugup dan salah tingkah.

“Mas—”

“Apa sayang?”

“Kerja lagi sana,” titahku demi untuk menyelamatkan jantungku yang sudah benar-benar menggila.

“Iya, nanti.”

Aku refleks mendongak mendengar jawabannya itu. Keningku mengerut, bertanya mengenai apa yang akan pria itu lakukan sampai menunda pekerjaannya. Pak Naren tidak berniat mencumbuku dulu ‘kan?

Oh, tidak!

Pria itu benar-benar gila jika benar melakukannya.

“Aku balik ke ruangan, ya, Mas,” kataku segera mencari aman, dan segera melangkahkan kaki hendak kembali ke mejaku meskipun niatku tadi diam di ruangan pria itu. Tapi sepertinya lebih baik aku diam di tempatku dan menunggu Pak Naren seperti biasanya. Jantungku benar-benar bisa kehilangan detaknnya jika terus menerus berada di dekat Pak Naren yang terus saja memberiku tatapan intens.

Namun belum sempat aku meraih gagang pintu, Pak Naren lebih dulu menahan pergerakanku. Pria itu menarikku pelan dan menundukkan sedikit tubuhnya dengan kepala yang sudah pria itu miringkan, membuatku refleks menutup mata hingga sebuah kecupan ringan aku rasakan di sudut bibir.

“Diam di sini, oke,” katanya sambil kembali menarik diri dan membuka pintu hingga aku terdorong kembali semakin masuk ke dalam ruangan Pak Naren sementara pria itu melenggang keluar tanpa menutup pintu.

“Laporan mengenai biaya liburan kemarin belum kamu serahkan sama Pak Ano kan, Bim? Saya pinjam dulu mumpung Cha-Cha ada di sini. Kamu pulang aja kalau pekerjaannya sudah selesai. Saya mau diskusikan masalah ini dulu dengan Cha-Cha.”

Suara Pak Naren yang aku dengar membuatku mengerutkan kening, bingung dengan laporan yang di maksud pria itu. Pasalnya aku ingat bahwa laporan mengenai biaya liburan kemarin sudah selesai Nara kerjakan kemarin. Seharusnya memang itu bagianku, tapi karena aku tidak masuk jadi Nara lah yang melakukannya. Pertanyaannya adalah, apa mungkin ada kesalahan?

Aku yang melihat Pak Naren masuk dan kembali menutup pintu langsung menghampiri pria itu dan bertanya mengenai laporan yang berniat pria itu diskusikan denganku. Aku takut laporannya tidak sesuai dengan anggaran yang kami diskusikan sebelum berangkat liburan kemarin.

Sayangnya kepanikanku malah berujung dengan kekesalan dimana Pak Naren ternyata hanya melontarkan kebohongan pada sekretarisnya untuk mencegah kecurigaan mengenai aku yang tidak juga keluar dari ruangan bos-nya. Sekaligus agar Mas Bima tidak menunggu Pak Naren selesai dengan pekerjaannya. Pria itu hanya ingin mengurungku di ruangannya.

Benar-benar menyebalkan. Ya, meskipun aku sadar bahwa tujuanku tadi pun ingin bersembunyi di sini.

***

To be continue ...

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang