Happy Reading !!!
***
“Kamu kenapa sih, Cha? Dari tadi aku perhatikan melamun terus. Ada masalah?” aku menggeleng pelan. “Lalu?”
Aku melirik Nara sekilas sebelum kembali menatap lurus ke depan, tepatnya pada komputer yang menyala dengan menampilkan pekerjaan yang harus aku selesaikan. Tapi masalahnya bukan ada di sana melainkan kejadian kemarin yang masih saja sulit aku hilangkan.
Bayangan dimana bibir hangat Pak Naren menyentuh permukaan bibirku. Sampai detik ini masih saja membekas dan aku merasa benda kenyal itu masih tertinggal di sana, merayuku untuk kembali mengulang.
Ah, sial! Sejak kapan otakku begitu kotor!
“Cha?”
“Aku gak apa-apa, Na, cuma bingung aja tahun baru mau ke mana. Aku malas pulang,” elakku cepat, tidak ingin Nara semakin bertanya dan berakhir dengan aku yang keceplosan mengaku apa yang dilakukan dengan si bos kemarin.
Ah, ya, ngomong-ngomong soal si bos, aku bersyukur karena adegan di parkiran kemarin tidak ada yang melihat, sudah aku pastikan hingga siang ini, tidak ada gosip yang beredar di grup maupun di kantor langsung. Semuanya masih terkendali, meyakinkan bahwa memang tidak ada siapa pun di sana kecuali aku dan Pak Naren.
“Cari pacar makanya biar ada yang ngajak tahun baruan,” cibir Nara dengan kibasan sombong, membuatku mencebik seraya merotasikan bola mata.
“Nonton kembang api sambil pelukan. Sweet tahu, Cha. Kamu harus cobain sensasinya, apa lagi kalau sambil ciuman. Uh, dunia bagai milik berdua,” lanjutnya dengan senyum mengembang. Matanya berbinar seolah tengah membayangkan apa yang dikatakannya barusan. Dan jangan salahkan jika aku pun melakukan hal yang sama, hanya saja aku tidak menampilkan itu terang-terangan. Aku belum siap jika di tanya bersama siapa aku membayangkan itu.
“Jangan dipanasi, Na, bahaya kalau nanti Si Icha ngiler,” Maya terkekeh di belakang, membuat aku mengernyit heran dengan keberadaan asisten Pak Rino itu.
“Kamu tumben main-main ke sini? Pak Rino udah gak butuhin kamu lagi?” tanyaku yang di respons dengusan pelan oleh Maya yang usianya satu tahun di bawahku, tapi statusnya sudah jadi seorang istri bahkan sudah memiliki seorang anak. Membuatku kadang merasa rendah diri dan menganggap bahwa aku memanglah tidak sepantas itu menjadi seorang istri. Padahal aku adalah perempuan mandiri. Angkat galon bisa, nyuci bisa, ngepel, nyapu, menyetrika, masak. Semua bisa aku lakukan. Tapi kenapa tidak ada pria yang bersedia menjadikan aku istri? Apa karena seleraku terlalu tinggi? Memangnya salah? Toh Nia Ramadani yang tidak bisa mengupas salak saja dapatnya Ardi Bakrie, kenapa aku yang segala bisa tidak boleh mengharapkan pria macam Harvey Moeis atau Rey Mbayang yang langsung melamar Dinda Haw? Dunia kadang memang tidak seadil itu. Aku yang cantik bak bidadari ini kalah oleh sosok Eli Sugigi yang sudah menikah berulang kali. Sama berondong lagi.
“Bukan Cha, aku di minta si boss panggil kamu, katanya laporan kemarin ada yang keliru,”
Hal itu tentu saja membuat aku terkejut dan refleks mengentak meja seraya bangun dari duduk, dan melangkah langsung menuju lantai Pak Naren untuk memastikan kebenarannya, tanpa pamit atau memedulikan Nara juga Maya yang pastilah terbengong di sana. Pasalnya sekarang aku sedang kalut, selain nama Pak Naren yang masih menjadi efek bertalunya jantungku, juga karena kekeliruan yang di ucap membuat aku panik, takut-takut kesalahan benar-benar aku buat dan semua berdampak pada karirku yang cemerlang ini.
“Pak Naren ada di dalam?” tanyaku pada sekretaris Pak Naren yang duduk tegap di depan komputernya, terlihat sibuk dengan segala pekerjaannya, dan seharusnya aku pun melakukan hal yang sama mengingat pekerjaanku tidak kalah banyaknya. Tapi yang kulakukan sejak pagi tadi hanya melamun tidak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...