Bab 18

3.4K 301 2
                                    

Happy Reading !!!

***

“Seperti biasa di setiap tahunnya perusahaan selalu memberikan bonus pada karyawan sebagai ucapan terima kasih atas kerja keras kalian selama ini. Berkat kalian perusahaan ini bisa berdiri dan berkembang, maka dari itu sebagai tanda terima kasih, saya menawarkan dua pilihan untuk bonus tahun ini, uang bonus seperti tahun-tahun sebelumnya atau liburan ke Bali selama tiga hari dua malam dengan susunan acara yang akan membuat kita semua semakin kompak lagi. Kalian boleh memikirkannya lebih dulu dan beri saya jawaban secepatnya. Sekian pemberitahuan dari saya. Terima kasih.”

Setelah mengumumkan itu Pak Naren keluar dari ruang rapat bersama sekretarisnya, dan ruang rapat langsung di penuhi dengan kehebohan orang-orang yang kini dilema memilih salah satu dari yang Pak Naren tawarkan.

Uang jelas semua orang butuhkan, tapi liburan pun jelas menjadi pilihan menggiurkan untuk kami semua yang merupakan karyawan.

Kerja dari pagi hingga sore tentu lah membuat pikiran mumet. Butuh jalan-jalan. Tapi banyak dari mereka yang memiliki keluarga. Membuat penawarkan yang Pak Naren berikan membuat mereka dilema parah. Berbeda dengan aku dan beberapa orang lajang lainnya termasuk Nara, ya walaupun sebenarnya dia tidak lajang, tapi statusnya masih tunangan, masih bisa pergi tanpa tanggung jawab berarti.

“Kamu pilih mana, Cha?” Maya bertanya ketika kami berjalan bersama keluar dari ruang rapat yang ada di lantai sembilan.

“Keduanya sih kalau bisa.”

“Itu sih aku juga mau!” seru Maya dan Nara kompak.

“Ya iya lah siapa juga yang gak mau, udah jalan-jalan gratis eh belanja ada yang biayain juga. Udahlah makmur kita,” ujar Maya terkekeh kecil dengan harapan semunya itu.

“Kalau begitu kamu harus jadi simpanan pejabat atau sugar baby-nya pengusaha kaya, May. Di jamin makmur hidupmu. Jalan-jalan gratis ke luar negeri, belanja juga di bayarin,” ucap Nara seolah mengusulkan.

“Ya, tapi jiwa tersiksa karena di kejar-kejar rasa bersalah. Untung-untung selamat dari kejaran istri sahnya, kalau sampai ketangkap, babak belur yang ada.”

Dan tawa berderai dari kami bertiga. Membuat kehebohan di dalam lift yang akan membawa kami bertiga menuju lantai delapan, tempat dimana divisi keuangan berada.

Ini sudah jam pulang kantor, dan kami kembali ke kubikel hanya untuk membereskan meja kerja dan mengambil barang pribadi sebelum akhirnya pulang ke tempat masing-masing.

Aku, Nara, dan Maya kembali turun ke lobi bersamaan, dan aku dapat melihat Pak Naren yang sepertinya juga baru saja keluar dari lift-nya, terlihat pria itu berjalan bersama sekretarisnya keluar dari lobi tanpa menyadari keberadaanku.

“Aku duluan, ya, bebeb Billy udah di depan,” Nara melenggang pergi lebih dulu dengan melayangkan kecupan jarak jauh. Membuat aku dan Maya menggeleng tak habis pikir. Nara itu usianya saja yang dewasa, kelakuannya mirip sekali dengan anak kecil.

“Kamu gak di jemput suami kamu, May?” tanyaku hanya untuk sekadar basa-basi.

“Oh jelas di jemput dong, Cha,” sahutnya dengan gaya sombong, membuatku mendengus dan menyesal karena sudah bertanya. “Kamu pulang sendiri? Cari pacar dong Cha biar gak pulang sendiri mulu,” tambahnya dengan nada mengejek, menghadirkan geramanku yang malah ditanggapi tawa perempuan dua puluh enam tahun itu. Maya sialan emang.

“Aku duluan deh ya, Cha, suamiku sudah jemput.”

Aku hanya mengangguk kecil dan memperhatikan kepergian Maya hingga sosok itu tidak lagi terlihat. Sekarang aku bingung sendiri bagaimana aku pulang. Pak Naren tidak ada menghubungi untuk mengajak pulang bersama, sementara motorku sendiri masih berada di apartemen Pak Naren sejak tiga hari yang lalu.

Aku berangkat kerja selama ini dengan pria itu harusnya pulang pun dengan dia, seperti hari-hari kemarin. Tapi masalahnya keadaan kantor sekarang masih cukup ramai sebab semua karyawan pulang secara bersamaan. Tidak ada yang lembur seperti biasanya, begitu pula dengan Pak Naren. Parkiran masih cukup ramai, bisa aku pastikan. Jadi bagaimana caranya aku menyelusup masuk ke dalam mobil Pak Naren dalam keadaan seperti ini?

“Belum pulang, Cha?”

Suara itu membuatku refleks menoleh, dan sosok tampan kini berdiri di sampingku dengan gayanya yang khas, tenang dan ramah. Membuatku tidak bisa membohongi diri bahwa Mas Septa pernah menjadi dambaanku sebelum sosok cantik dari divisi lain datang melabrakku. Ah mengingat itu membuatku nyeri dan tanpa sadar mendengus pelan. Masih saja aku merasa kesal pada kejadian tidak terduga satu tahun lalu.

“Belum Mas, lagi nunggu jemputan,” dustaku dengan senyum kecil. Tapi siapa yang menyangka bahwa hal itu justru benar-benar terjadi tak kala mobil yang aku kenali siapa pemiliknya berhenti tepat di depanku dan Mas Septa.

Mengabaikan kecemasanku lebih dulu, aku memilih untuk pamit pada Mas Septa dan masuk ke dalam mobil Pak Naren dengan hati was-was, takut Mas Septa mengenali si pemilik mobil walau sadar bahwa mobil yang Pak Naren pakai sekarang berbeda dengan yang biasanya.

Pagi tadi pria itu dengan tampannya datang ke kos, bersandar di depan mobilnya yang berbeda dengan yang biasa aku tumpangi. Pak Naren bilang bahwa itu hadiah dari ayah tirinya karena dia bersedia mengisi posisi di kantor. Dan sebagai ucapan terima kasih untuk ayahnya itu Pak Naren memakainya pagi tadi. Benar-benar, orang kaya mah bebas ya ‘kan?

“Aku tunggu di parkiran lama, tahunya lagi berduaan sama cowok lain,” cibiran itu menyambutku yang baru saja mendudukkan diri di jok samping kemudi, membuatku menoleh, menatap Pak Naren dengan satu alis terangkat. Tapi pria tampan yang mulai melajukan kendaraannya itu malah justru melengos, wajahnya terlihat dingin dan datar.

Jika biasanya ekspresi itu membuatku sebal dan kesal, berbeda dengan sekarang karena justru aku malah melempar senyum termanis dengan perasaan yang tiba-tiba saja berbunga begitu tahu arti dari cibirannya barusan.

“Aku baru tahu kalau wajah cemburu kamu seperti ini, Mas,” ujarku menatap lekat sosok tampan yang sibuk pada kemudinya itu. “Tapi kok ganteng, ya?” tambahku semakin menatap Pak Naren yang mulai salah tingkah, tapi berusaha menyembunyikannya. Membuatku semakin ingin terus menggodanya, karena harus aku akui bahwa Pak Naren terlihat menggemaskan ketika salah tingkah seperti ini. “Pantesan Afril gak mau lepas dari kamu.”

“Ck, gak usah bawa-bawa nama dia deh,” sahutnya memutar bola mata.

“Lha, kenapa?”

“Jangan, aku gak mau kamu membatasi diri dekat denganku. Jadi, please, jangan bawa nama perempuan lain jika kita sedang berdua,”

“Aku gak membatasi diri!” elakku serius. Karena itu memang benar. Aku tidak sama sekali membatasi diri. Aku menerima hubungan ini walaupun Pak Naren mengklaimnya begitu saja ketika memintaku menjadi pacarnya.

“Lalu, apa kamu sudah mencintaiku?”

Diam. Itu yang aku lakukan sekarang karena memang tidak bisa menjawabnya. Aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Cinta? Tidak pernah aku merasakan sebelumnya. Mungkin. Aku sama sekali tidak mengingat pernah jatuh cinta atau belum, tapi yang aku tahu sepuluh tahun belakangan ini, aku memang tidak merasakan itu, hanya sebuah kagum dan rasa suka biasa. Untuk cinta, aku rasa belum. Dan kepada Pak Naren sekarang, aku bingung harus mengartikan perasaanku seperti apa. Yang jelas aku nyaman. Selebihnya aku tidak tahu.

***

Se you next Chap !!!

Jodoh dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang