Happy Reading !!!
***
"Udah di siapin buat pergi besok?"
"Sudah," jawabku seraya melirik sekilas ke arah Pak Naren yang duduk di balik kemudi dengan tatapan yang fokus ke jalanan di depan. Tapi sesekali pria itu melirik hanya untuk memberi senyum manis. Senyum yang sering kali aku katakan selalu berhasil membuatku terpesona.
"Jangan macam-macam di sana, Cha!" ujarnya memperingati dengan nada mengancam, membuatku terkekeh, merasa lucu dengan raut galak Pak Naren yang entah mengapa bisa malah terlihat semakin tampan.
"Aku gak janji. Di Bali banyak bulenya, Mas," ringisku seolah merasa bersalah. Dan hal itu berhasil membuat Pak Naren melayangkan lirikan tajamnya.
"Awas aja kalau berani, aku buat kamu menyesal karena sudah berani main-main!"
Tawaku mengudara kala mendengar nada serius Pak Naren. Laki-laki itu benar-benar menggemaskan. Sama sekali tidak bisa di ajak becanda jika menyangkut pria lain. Benar-benar membuatku merasa dicintai.
Semakin tak sabar aku untuk mengingat kembali memori yang hilang. Aku ingin tahu bagaimana Pak Naren di masa remajanya. Ya, meskipun pria itu sudah memberiku clue mengenai kecelakaan yang menewaskan Kak Sifi dan merenggut ingatanku.
Sebelum terbukti Pak Naren yang bersalah aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu bersama pria itu. Setidaknya jika suatu saat nanti aku harus meninggalkan Pak Naren ada kenangan indah yang akan menemaniku meratapi kesedihan.
"Btw, Mas beneran gak ikut ke Bali? Mas lho yang usulin liburan ini," tanyaku mulai serius. Bukan hanya karyawan perempuan di kantor yang mengharapkan kehadiran pria itu. Jujur aku pun sedikit mengharapkannya.
"Ya gimana lagi, sebagai direktur utama yang baru aku masih harus berusaha mendapatkan kepercayaan klien. Maaf," sesalnya.
Aku menghela pelan, pasrah dengan keputusan Pak Naren.
"Makan malam di apartemen aku, ya?"
Anggukan singkat aku berikan, dan setelahnya sisa perjalanan diisi dengan obrolan ringan yang membuat kami sesekali tertawa hingga tiba di apartemen Pak Naren yang belakangan semakin sering aku singgahi. Entah itu untuk sekadar santai atau memang berniat menghabiskan waktu bersama dengan memasak atau membuat kue.
Aku tidak lagi sungkan berada di dalam apartemen Pak Naren karena pria itu sudah memintaku untuk menganggap tempatnya ini sebagai rumahku. Dan tentu saja aku senang karena dengan begitu aku bebas melakukan apa pun yang aku mau.
Tanpa beristirahat lebih dulu, aku langsung menggelung rambut seraya melangkah menuju dapur, mengeluarkan beberapa bahan untuk aku olah menjadi menu makan malamku dengan Pak Naren. Sementara pria itu melangkah menuju kamarnya dengan pamit untuk mandi.
Aku pun sebenarnya ingin melakukan itu mengingat betapa lengketnya tubuhku setelah aktivitas seharian ini. Tapi niat itu tidak bisa aku realisasikan karena tidak ada pakaian untuk aku kenakan setelahnya. Terasa percuma jika harus menggunakan pakaian kotor lagi.
"Masak apa Cha?"
Aku refleks berjengit, terkejut ketika tiba-tiba saja Pak Naren meletakan dagunya di pundakku.
"Ish, bisa gak sih gak usah ngagetin!"
Kekesalanku malah di balas tawa olehnya, dan itu semakin membuatku kesal hingga satu cubitan kuat aku berikan di lengan pria itu.
"Minggir Mas, aku belum selesai masaknya," usirku seraya mengedikkan bahu berkali-kali agar dagu yang masih diam nyaman disana pergi. Tapi Pak Naren malah semakin menekannya dan membuat pundakku keberatan. Hal yang kembali meluncurkan omelanku karena Pak Naren selalu saja keras kepala ketika menggangguku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh dan Takdir
General FictionDiusianya yang mendekati kepala tiga, Icha nyaris putus asa, mengapa dia tidak juga menemukan pasangan. Celotehan ibunya tak jarang membuat Icha kesal karena jelas saja kesendirian bukan hal yang dirinya inginkan. Namun jodoh yang tak kunjung datang...