|10| Something

710 96 2
                                    

Deretan perhiasan tersusun rapi di dalam etalase-etalase yang berjajar. Kilauan yang dipancarkan menarik perhatian orang-orang yang melewatinya. Dari sekian banyak perhiasan mewah dan gemerlap, ada satu yang benar-benar menarik perhatian Park Seyi. Sepasang cincin yang benar-benar sederhana di antara semua yang ada di sana.

Seyi lebih menyukai kesederhanaan dan tidak menyukai sesuatu yang berlebihan, meskipun ia mampu membeli yang lebih. Karena itu Seyi tidak suka ketika Yoo Minjung menghabiskan banyak uang hanya untuk membeli barang-barang mahal yang berujung pamer kekayaan.

"Kau ingin mengambil yang itu?" tanya Seokjin ikut memperhatikan apa yang sedari tadi menarik perhatian Seyi.

Fokus Seyi yang sebelumnya tertuju pada sepasang cincin di dalam etalase beralih pada Seokjin yang berdiri di sebelahnya. "Ini lebih baik dari pada yang lain."

Seokjin menyipitkan kedua matanya menelisik cincin pilihan Seyi. Sangat sederhana di antara cincin pasangan lain yang sudah ia lihat sebelum menghampiri Seyi sesaat yang lalu. Padahal Seokjin pikir gadis itu akan membeli cincin yang paling mahal dan mewah, atau cincin dengan berlian besar seperti wanita kaya di luar sana.

Nyatanya Park Seyi memilih sepasang cincin perak dengan garis yang mengitari cincin dan satu permata kecil tidak terlalu menonjol di bagian tengah.

"Tidak ingin melihat yang lebih mahal di sebelah sana?" tawar Seokjin dengan dagu yang terangkat menunjuk etalase di tengah-tengah toko.

Seyi mengikuti arah tunjuk Seokjin, namun dari jauh saja Seyi bisa melihat cincin dengan berlian besar seperti milik Yoo Minjung. Seyi menggeleng. "Tidak, itu terlalu berlebihan."

"Ini terlalu sederhana." komentar Seokjin. Menimbang untuk mengambil cincin yang Seyi pilih atau mencari yang lain.

Seyi mendengus. Sebenarnya Seyi sendiri tidak peduli mereka akan memakai cincin yang seperti apa. Mau cincin hadiah lotre pun tidak masalah. Seyi berpikir pasti nanti cincin itu juga akan dilepas oleh keduanya. Seyi sadar posisi mereka berbeda dengan pasangan lain di luar sana, yang menikah karena saling mencintai dan tentunya cincin pernikahan memiliki makna tersendiri bagi mereka. Sedangkan dalam pernikahannya dengan Seokjin, cincin hanyalah sebuah formalitas belaka.

"Terserah kau saja mau pilih yang mana. Aku akan kembali ke kantor." Seyi berbalik siap untuk melangkah keluar toko, namun segera Seokjin memegang lengannya menahan pergi.

"Aku ambil yang ini." ucap Seokjin bukan kepada Seyi, tetapi kepada pramuniaga yang sedari tadi berdiri di belakang etalase menunggu mereka.

Pramuniaga yang melayani mereka berdua tersenyum, senang karena dagangannya terjual. "Apa Anda ingin mengukir nama juga di dalamnya?" tanyanya pada Seyi dan Seokjin.

"Tidak per—"

"Ya, ukir nama kami di dalamnya."

Dengan cepat Seyi menatap tak mengerti ke arah Seokjin. "Apa-apaan dia? Itu tidak penting." suara batin Seyi.

"Baik, Tuan. Ingin diukir bagaimana?"

"SJ & SY."

Dan Seyi semakin berkerut kening mendengar singkatan aneh itu.

Seusai meninggalkan toko, Seyi langsung menyikut lengan Seokjin dan bertanya. "Untuk apa ukir nama? Aku yakin kau juga tidak akan selamanya memakai cincin itu."

"Aku juga tahu," Seokjin menjawab dengan santai. "Karena aku yang membayar cincin itu, terserahku ingin mengukirnya atau tidak. Oh, apa perlu aku ganti ukirannya menjadi 'Park Seyi Babo'?"

Lagi-lagi Seokjin menggodanya. Lantas dengan tidak berperasaan Seyi menginjak keras kaki Seokjin sampai Seokjin meringis kesakitan memegangi kakinya yang menjadi korban. "Rasakan." kutuk Seyi lalu melangkah cepat meninggalkan lelaki itu.

Tapi tiba-tiba saja Seokjin menarik pergelangan tangan Seyi yang membuat gadis itu berhenti melangkah. Seolah kakinya sudah baik-baik saja, Seokjin membawa Seyi menghadapnya lalu bibirnya mengukir senyuman.

"Hari ini kau terlalu banyak bicara, Park Seyi. Pasti kau lapar. Bagaimana kalau kita makan siang bersama sebelum kembali ke kantor?" tawar Seokjin sembari menyelipkan anak rambut Seyi yang sedikit berantakan ke belakang telinga gadis itu.

Namun Seyi segera menepis jemari Seokjin dari rambutnya. Sungguh, Seyi membenci situasi ini. Seokjin yang berkelakuan aneh dan bertindak seperti seorang kekasih. Seyi tentu tahu maksud lelaki itu. Berpura-pura saat di depan umum, tentu saja.

---

Siang ini adalah pertama kalinya dua lawan jenis ini makan bersama. Tidak ada yang istimewa, hanya fokus menikmati makanan masing-masing. Mereka tidak akan bicara jika tidak ada keperluan.

Dering ponsel Seyi di atas meja mengalihkan fokus keduanya. Seyi melirik ponselnya, dan terkejut mendapati panggilan masuk dari Ibu Seokjin.

"Kalian sudah membeli cincinnya?" Pertanyaan itu langsung keluar begitu panggilan diangkat.

Seyi melirik Seokjin sekilas sebelum menjawab, "Sudah... Ekhm, Bu."

Sebenarnya Seyi juga ragu dengan kata panggilan di akhir kalimatnya, tapi ya sudahlah, toh, Seokjin pun sudah menghujaminya dengan raut aneh saat ini.

"Apa kalian sedang makan siang bersama?" Pertanyaan selanjutnya dari Ibu Seokjin terdengar penuh semangat dan keingintahuan yang besar.

"Iya, kami sedang makan siang bersama," jawab Seyi seadanya tidak ingin berlebihan namun tetap sopan.

"Syukurlah... Seokjin tidak meninggalkanmu di tengah jalan, kan?"

Seyi sedikit terkekeh mendengar pertanyaan itu. Kekehan kecilnya ternyata semakin mengundang perhatian Seokjin.

"Tidak, Bu. Aku akan memukul wajahnya dengan sepatu tinggiku jika itu terjadi." ujar Seyi masih terkekeh kecil.

Kini Ibu Seokjin pun tertawa di seberang sana. "Baiklah. Nikmati makanan kalian. Ibu tutup telponnya."

"Sejak kapan kau memanggil ibuku dengan sebutan 'ibu'?" tanya Seokjin begitu panggilan berakhir. Sedari tadi ia sudah sangat penasaran dan siap mempertanyakan banyak hal.

"Kau menguping?" Bukan menjawab pertanyaan, Seyi malah balik bertanya dengan pertanyaan konyol.

"Kau bicara di depanku, dan pendengaranku masih sehat."

Seyi mendengus mendengar jawaban Seokjin, kemudian menjelaskan."Saat aku menyetujui pernikahan dan diundang menemui ibumu, saat itu juga ibumu yang menyuruhku memanggilnya seperti itu."

Seokjin mengangguk mengerti. Tak lama kemudian ia meletakkan alat makan yang sedang ia pegang ke atas meja. Diam sejenak sambil menatap lamat Seyi sebelum akhirnya kembali berbicara.

"Aku ingin kita membuat perjanjian."

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang