[27] Wound

722 101 31
                                    

Duduk seorang diri di kursi panjang yang sepi, menatap ikan-ikan bergerak bebas dalam akuarium.

Cahaya biru terpancar di sepanjang lorong. Kaca besar transparan sebagai sekat antara makhluk air dan makhluk darat. Ikan-ikan di hadapannya terus datang dan pergi, namun orang yang ditunggunya belum juga terlihat.

Menunduk menatap ujung sepatu kulit hitamnya, pikiran Seokjin tak lagi dipenuhi oleh ikan-ikan, melainkan seseorang yang dulu pernah membuat umpan ikan.

Park Seyi yang tak menyentuh sarapannya pagi ini. Seokjin telah melihat alasannya. Seyi pergi untuk bertarung. Menurut Seokjin itu adalah hal yang wajar. Dirinya telah mengalami hal yang sama di awal menjabat sebagai Presdir. Jika ingin menjadi pemimpin, maka harus belajar bertarung dengan penuh tanggung jawab.

Seokjin yakin masalah ini akan segera selesai. Apalagi, Presdir Park yang licik itu akan menanganinya sesegera mungkin agar citra perusahaannya tak ternodai.

Pikiran Seokjin tentang Seyi lekas mengabur begitu mendapati sepasang sepatu coklat beludru berhenti di depannya. Perlahan mengangkat pandangan kemudian Seokjin tersenyum sendu. "Sudah sembunyinya...?" ujarnya pelan. Jantungnya berdetak kencang sampai nafasnya terasa sesak.

"Aku tidak sembunyi," balas wanita di hadapan Seokjin. "Kau yang tidak bisa menemukanku."

"Chaerim-ah..." Nafas Seokjin melemah memanggil nama sang wanita. Berusaha menyentuh namun wanita itu mundur beberapa langkah.

"Apa kabar, Kim Seokjin?" Chaerim memaksakan senyuman. Tetap menjaga jarak dan berbincang senormal mungkin.

"Kau sungguh serius menanyakan kabarku?" Kedua netra Seokjin bergetar. Yang dirindukan kini berada dalam pandangan, namun entah mengapa malah terasa semakin jauh.

"Aku tahu kau baik-baik saja, aku pun begitu. Aku sudah menemui Bibi Ji. Kata Bibi kau telah menikah di akhir musim dingin. Selamat, Kim Seokjin..." tutur Chaerim seperti sebuah monolog. Menjulurkan tangan, wajah yang tersenyum, tetapi mata menunduk. Menatap tangannya yang terulur ke udara kosong.

Seokjin menghela. Menggamit telapak tangan Chaerim lalu menarik wanita itu mendekat. Ia berkata dengan suara berat. "Bisakah kita membahas hanya tentang kita...?"

Chaerim menghembuskan nafas sembari tersenyum kecil. "Kita? Maksudmu, membicarakan tentang 7 tahun yang lalu?"

Seokjin menggeleng kecil. Hendak membuka suara namun Chaerim kembali berujar. "Lihatlah jemarimu, Seokjin. Tidak ada lagi kita." Chaerim menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Ia mundur beberapa langkah ke tempatnya semula sembari perlahan melepaskan genggaman Seokjin.

"Aku tidak—"

"Aku juga sudah punya kekasih." Chaerim menyahut lagi. Ia tahu, setiap kali Seokjin buka suara hanya akan membahas masa lalu. "Aku datang ke acara Seja Group bersama ibu kekasihku. Beliau mengajakku yang baru kembali ke Korea untuk bertemu orang-orang hebat dan belajar dari mereka." Chaerim menarik nafas, membuangnya perlahan. "Mereka sangat mempercayaiku, bahkan ingin menyampaikan terimakasih padamu dan istrimu telah membelaku di pesta. Karena itu, kumohon jangan menyulitkanku lagi, Seokjin..."

"Kau mencintai kekasihmu?"

"Aku menyukainya,"

"Pertanyaanku, kau mencintai pria itu?"

Chaerim diam. Kedua mata mereka saling menatap dalam.

"Tunggu aku di awal musim dingin," Seokjin menatap netra gelap itu sungguh-sungguh. "Aku akan kembali padamu,"

Netra gelap itu berkedip, lalu membuang pandangan sembari mendengus. "Chaerim yang sebelum pergi dari Korea mungkin akan senang mendengar perkataanmu, tetapi aku bukan lagi Chaerim yang dulu."

"Dan aku bukan lagi Kim Seokjin yang dulu."

"Apa kau mencintai istrimu?"

"Tidak."

"Maka kau masih Kim Seokjin yang dulu. Yang berkata dengan tegas namun bertindak tak sesuai perkataan."

"Yoo Chaerim...!" Seokjin mulai lelah. Ia ingin bertemu Chaerim bukan untuk hal ini.

"Terimakasih telah mengajakku bertemu di tempat ini. Aku masih menyukai kehidupan laut. Hanya itu yang tidak berubah dariku." Chaerim semakin berjalan mundur, sebelum benar-benar pergi dan membelakangi Seokjin, ia mengungkapkan kalimat terakhir. "Bertanyalah pada dirimu sendiri, Kim Seokjin. Maka kau akan mengerti, kau tidak lagi mencintaiku, kau hanya merasa bersalah padaku."

Kim Seokjin menatap punggung kecil itu menjauh, hilang di ujung lorong. Perkataannya masih membekas. Antara 'hati' dan 'logika', manusia normal memilih di antara keduanya. Tetapi Kim Seokjin, menambahkan 'harga diri' ke dalam pilihannya.


------------


"Tetap di sini atau aku akan mengatakan semuanya pada anak itu!"

"KAU!!!"

Bruk! Brak! Prang!

"Hancurkan saja semuanya! Biar Seyi lihat kelakuan ibunya!"

Namanya disebut.

Pemilik nama berlari.

Menjauh hingga suara keributan hilang dari pendengaran.

Tak tahu arah.

Duduk memeluk lutut di balik pohon.

Sepasang sepatu hitam lusuh tiba di depan sepatunya.

Dia...

Seett!!!
  
 

Seyi terperanjat. Kelopak matanya terbuka sempurna. Berusaha mengatur nafas sembari menyadarkan diri, Seyi kembali dikagetkan dengan objek di depan matanya.

"Mimpi buruk? atau aku yang membangunkanmu?"

Seyi menurunkan pandangan. Telapak tangannya yang terluka saat terjatuh tadi pagi kini sudah teroles obat merah. Botol obat merah itu masih ada di tangan Seokjin. Seokjin berlutut di sebelahnya, menyeimbangkan tinggi dengan Seyi yang tertidur di sofa ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan?" Seyi bertanya dengan suara serak. Tak paham dengan sikap lelaki di depannya. Sudah beberapa hari bersikap dingin, namun sekarang bertingkah seolah peduli.

Seokjin tak menjawab pertanyaan. Fokusnya tertuju pada kotak P3K dan luka di telapak tangan sang gadis. Plester penutup luka akan dipasangkan, namun Seyi menarik tangannya tepat sebelum plester itu mendarat.

Seyi hendak bangkit dari sofa. Sekarang sudah hampir tengah malam. Ia tak sadar tertidur ketika menunggu telepon untuk hasil perundingan antara Pengacara Hong dan perwakilan pendemo. Belum sempat kepalanya terangkat dari bantal sofa, Seokjin menarik lagi tangannya yang terluka.

"Menurutmu apa yang kulakukan?" Kata Seokjin seraya memasangkan plester penutup luka ke telapak tangan Seyi. Selesai dengan tujuannya, namun Seokjin tak melepaskan tatapan dari tangan Seyi.

Cincin pernikahan melekat sempurna di jari manis. Tampak selaras dengan jemari ramping sang gadis. Seokjin tak mengira mereka berdua masih mengenakan cincin ini. Awalnya hanya sekedar formalitas, tapi sampai sekarang mereka belum melepaskannya.

Sadar Seokjin sedang menatap jemarinya, Seyi segera menarik tangannya kemudian bangkit dari sofa. Berjalan ke kamar, Seyi menatap Seokjin yang masih diam di tempatnya. Sebelum menutup pintu kamar, Seyi menyampaikan satu hal.

"Jangan berubah tiba-tiba. Kata orang, itu tanda mau mati."

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang