[31] Ring

795 115 28
                                    

Cahaya yang terang.

Kelopak mata mengerjap kesilauan.

Andaikan, cahaya itu tak pernah terlihat.

Andai, mata tak lagi terbuka.

Itu akan lebih baik.

Karena, tak lama setelahnya yang terlihat adalah tempat peristirahatan terakhir.

Foto di batu itu sangat familiar.

Air mata habis menangisinya.

Hati sangat hancur.

Berharap dapat ikut beristirahat bersama.

Meraung sangat keras.

Tangan berusaha menggapai batu nisan.

Tak ingin berpisah.

Tak ada yang memahaminya. Tak ada yang meraih tangannya.

Tuk!

Tangannya menghangat.

Dan ia, memudar.


  

"Apa dia masih sering bermimpi buruk?" Pria yang duduk di sebelah ranjang bertanya kepada pria lain dalam ruangan yang sama.

Tak ada jawaban darinya. Hanya terus menatap bergantian pria itu dan sang istri yang terbaring di ranjang, belum terbangun sejak semalam.

"Jika dia mimpi buruk, genggam tangannya, mimpi buruknya akan hilang," lanjut si pria dengan lembut.

Dan Seokjin melihatnya. Pria itu, Song Yuan, berdasarkan label nama yang tercetak di dada jas putihnya, tengah menggenggam hangat tangan Seyi.

Pikiran Seokjin melayang, memutar ingatan. Malam pertama mereka tidur di kamar yang sama, Seyi memang terlihat mengigau berusaha menggapai udara dalam tidurnya. Beberapa kali pula Seokjin mendapati Seyi tidur dengan kening yang berkerut dalam dan nafasnya terputus-putus.

Tetapi, yang Seokjin lakukan adalah diam menatap. Menyaksikan sang gadis tengah bermimpi buruk, ia tak berbuat apapun, sampai Seyi terbangun sendiri dari tidurnya.

Jemari lentik yang digenggam itu kini bergerak pelan, disertai kelopak mata yang terbuka perlahan.

Mengerjap-ngerjab sejenak, sang gadis menahan nafas. Matanya membulat. Bibir pucatnya bergerak akan berucap namun tak ada kata yang keluar. Lantas dengan gerakan cepat ia bangkit memeluk pria yang duduk di sebelah ranjangnya.

Pelukan yang sangat erat. Seolah tenaga sudah terkumpul penuh meski baru saja bangun dari tidur.

"Hei... aku harus mengecek kondisimu dulu," ucap Yuan dalam pelukan Seyi. "Apa ada yang sakit? Kau butuh sesuatu? Atau ad—"

"Kenapa baru datang sekarang..." Seyi bertutur pelan. Semakin mengencangkan pelukannya pada sosok yang beberapa tahun lalu berpamitan padanya.

Mengusap pelan punggung sang gadis sambil tersenyum, Yuan berkata lirih, "Maafkan aku..."

"Tidak ku maafkan!" pukas Seyi sambil mendorong badannya menjauh. Sekarang ia ingin menginterogasi pria itu.

Yuan terkekeh. Seyinya masih sama, masih keras kepala seperti dulu. "Baiklah, karena kau tidak memaafkan ku, aku pamit," godanya. Ia tak pergi, hanya berlagak di depan Seyi.

"Apa ada peramal yang mengatakan padamu kalau aku akan mati?"

Sesaat senyuman pahit terukir di wajah Yuan. Karena, tanpa disadari, Yuan selalu datang di saat-saat Seyi membutuhkan pertolongan.

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang