Harum teh dari cangkir menyebar seiring kepulan asap yang menari bersama udara.
Cangkir dengan ukiran seni berwarna biru diletakkan di atas meja kecil bulat berkaki tiga. Duduk melingkar bersama mengikuti meja di tengah-tengah mereka, tanpa alas dan langsung bersentuhan dengan lantai kayu yang akan berbunyi bahkan jika berjalan dengan berjinjit.
Rumah kayu sederhana dengan satu pohon rindang nan kokoh menyambut di halaman depan ketika pagar seng berwarna jingga bercampur karatan besi dibuka dari luar.
"Dulu aku dan suamiku selalu menghabiskan pagi dan sore hari di sana," Pondokan berbentuk persegi panjang tanpa atap dan sekiranya cukup untuk 4 orang untuk duduk santai bersama adalah yang dimaksud oleh Bibi Ji. Seyi tak perlu mengikuti arah pandang Bibi Ji sebab ia sudah tahu tujuan mata wanita itu. Seyi sudah menyukai tempat yang tampak nyaman di bawah pohon rindang itu sedari awal ia masuk ke rumahnya. "Setelah menghabiskan cemilan sore, aku akan merajut di sana sementara suamiku mencuci piring,"
Ya, Seyi bisa melihat keran setinggi betis, selang-selang yang kusut, baskom yang ditumpuk, dan peralatan lainnya di samping pohon. Benar-benar rumah kecil dan sederhana seperti milik masyarakat umum lainnya. Di permukiman padat, tak bisa dimasuki kendaraan roda empat, juga rumah yang selalu waspada jika ada pihak luar yang ingin menggusur, sebab sangat kontras berdampingan dengan gedung-gedung besar di sekelilingnya.
"Aku tidak suka mencuci piring, sedangkan suamiku sangat menyukai bermain air. Jadi, dia dengan senang hati menggantikanku mencuci piring, hahaha..." Bibi Ji tertawa di akhir kalimatnya, tetapi tatapannya menerawang. Seolah apa yang ada dalam memori indah miliknya kembali ia rasakan saat menceritakannya.
"Aku juga tidak suka mencuci piring, tapi aku juga tidak pandai merajut," Seyi menyahuti setelah Bibi di depannya itu berhenti tertawa. Pandangan wanita itu seketika kosong, sehingga Seyi berniat untuk menghiburnya.
"Mau ku ajarkan merajut?" tawar Bibi Ji. Matanya telah kembali berwarna. "Saat pertama kali mencobanya, aku membuat syal untuk suamiku. Apa kau ingin mencobanya? Membuat syal untuk Seokjin?"
Lekas Seyi menggeleng. "Tidak, Bibi, Terimakasih.." tolaknya halus. Sungguh tawaran yang tak Seyi duga.
"Daripada membuatnya, dia bisa langsung beli sendiri di toko. Bibi tidak perlu membuang waktu untuk mengajarinya," Kini suara Seokjin terdengar usai ia menyesap teh di cangkir.
"Bukan begitu maksudku. Aku tidak ada waktu untuk mempelajarinya."
Seokjin melipat kedua tangannya di depan dada. Menatap Seyi dengan pandangan menantang. "Kalau begitu saat kau ada waktu, buatkan pakaian hangat untukku."
"Ini bukan hari natal." Seyi menyipit mata menatap Seokjin. Sedari tadi lelaki itu hanya menunduk dan tak bersuara, namun sekalinya mengeluarkan suara malah membuat Seyi kesal.
"Tsk. Apa meminta sesuatu harus di hari natal?"
"Hm. Hanya berlaku untukmu."
Bibi Ji yang memperhatikan keduanya diam-diam mengulum senyuman. Ia senang. Ia bahagia dengan suasana ini. Sudah lama sekali rasanya rumah ini tidak diisi dengan pertengkaran kecil.
"Besok jika kalian ada waktu, datanglah lagi kemari. Aku akan memperkenalkan Seyi pada suamiku. Dia pasti sangat senang melihat Seokjin telah menikah."
Seokjin yang tadinya ingin membalas perkataan Seyi mendadak hilang kata. Perasaan aneh langsung menguasai dirinya. Nafasnya mendadak berat.
Nafas yang berat itu disadari oleh Bibi Ji. Wanita itu bisa melihat sorot Seokjin kembali mendung, seperti saat perjumpaan mereka di pusat perbelanjaan satu jam yang lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT TIME
Fanfiction𝙎𝙖𝙖𝙩 𝙞𝙩𝙪, 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙗𝙪𝙧𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙙𝙖𝙩𝙖𝙣𝙜𝙞 𝙋𝙖𝙧𝙠 𝙎𝙚𝙮𝙞, 𝙙𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙠𝙞𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙧𝙪𝙠 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙧𝙞𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙪𝙡𝙖𝙞 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙥𝙧𝙞𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙣𝙖𝙢𝙖 𝙆𝙞𝙢 𝙎𝙚𝙤𝙠𝙟𝙞𝙣. |2021|