[49] Memories

1.4K 142 113
                                    

"Saya minta maaf. Saya akan bertanggungjawab."

Suara feminim asing.

"Kau ingin membodohiku?"

Menarik untuk ditantang.

"Cabut laporanmu sekarang juga!"

Tegas dan liar.

"Apa yang kau lakukan!!"

Menggoda 'tuk dikendalikan.

"Aku bilang, aku menerima pernikahan kita."

Memicu candu tak terkontrol.

"Kalau begitu aku akan membalasmu."

Arogan yang menawan.

"Semoga kau mimpi buruk!"

Juga bisa sangat kekanakan.

"Tuh kan, sudah kubilang berhenti. Kau sendiri yang kena akibatnya."

Manis terselebung bengis.

"Tahu begini aku tidak akan membawamu pergi belanja!"

"Justru aku yang tidak seharusnya membiarkanmu pergi belanja. Semua yang kau beli adalah makanan instan. Kau mau mati dengan cara instan juga?!"

"Tsk. Padahal kau sendiri juga sering makan di luar dari pada makan makanan rumah, untuk apa membeli bahan-bahan untuk memasak?"

"Kata siapa aku— Hei! Aku sedang bicara! Selada tidak ada di sana, Park Seyi!"

Park Seyi!

"Presdir!"

Kelopak mata terbuka spontan. Tiliknya menerawang buram. Jiwa masih tertinggal dalam ingatan tentang mimpinya.

Hatinya tak nyaman. Kehangatan semu itu memudar. Kecewa, karena itu hanya sebatas mimpi.

Mimpi indah, meninggalkan luka saat terbangun.

"Presdir Kim, ini barang-barang yang kami temukan di dalam mobil istri anda."

Seokjin menegakkan kepala dan mengusap matanya pelan. Sebuah kotak diletakkan di atas meja tempat kepalanya semalaman bertopang. Ia tertidur ditengah menunggu hasil penyelidikan polisi. Ia tak bisa ikut mencari Seyi. Jalanan curam dan badai salju berbahaya, sehingga hanya bisa menunggu di kantor polisi untuk memperoleh kabar.

Para petugas menyarankan Seokjin untuk pulang hari ini, karena proses mencari Seyi mungkin memakan waktu yang tak sebentar. Mereka berjanji akan terus mengabarkan kepada Seokjin tentang penemuan mereka.

Jika tak dibujuk oleh sekretaris dan pengacaranya, Seokjin tak akan bergerak mengambil kotak persegi berukuran sedang berisi barang-barang Seyi dan membawanya pergi. Sepanjang perjalanan pulang Seokjin memeluknya, bahkan tak rela melepas sesaat tangannya dari kotak itu untuk memasukkan kata sandi pintu apartemen.

"Paman!"

Sapaan itu menghentikan langkah Seokjin di depan pintu.

"Selamat natal, Paman!" Heechan tersenyum lebar menampakkan gigi ompongnya. "Apa Bibi sedang tidak ada di apartemen? Aku sudah menekan bel berkali-kali tetapi tidak ada jawaban."

Heechan diam menanti respon dari paman di depannya. Terlalu lama menunggu sebab Seokjin malah sama-sama diam seperti dirinya, Heechan pun melanjutkan. "Aku ingin berterimakasih pada Bibi cantik sudah memberiku kado natal yang paliiing aku inginkan. Bibi juga memberi hadiah untuk adikku yang baru lahir,"

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang