|20| Mo(u)rning

894 105 4
                                    

Pagi hari ini, seharusnya adalah pagi yang tenang.

Tidak perlu bangun terlalu awal, memakan sereal sembari menonton televisi, berleha-leha, kemudian pergi untuk suatu urusan di siang hari. Itu adalah jadwal kegiatan yang Seyi susun dalam pikirannya.

Semua terlihat akan berjalan sesuai rencana sebelum ponsel di nakas berdering.

Sebuah panggilan datang dari Ibu Seokjin. Berkata bahwa dirinya akan singgah ke apartemen sebelum pergi menghadiri acara sosial bersama teman-temannya.

Rencana Seyi otomatis berantakan. Namun tak ada waktu untuk mengeluh melainkan Seyi harus segera bangkit dan berkemas.

"Ibu tidak akan lama, kalian bisa menikmati waktu sebelum besok mulai kembali bekerja," Kalimat ini terdengar lagi. Masih dengan suara yang secerah matahari pagi, sementara tangannya tak henti mengeluarkan barang bawaannya.

"Sudah tiga hari ruangan Seokjin di perusahaan dirantai dari luar, jadi dia tidak bisa seenaknya menerobos masuk dan tidak punya pilihan selain menikmati waktu bersamamu hahaha!!!"

Tawa itu membuat Seyi tanpa disadari ikut tertawa kecil. Ibu Seokjin sungguh sangat bersemangat bahkan tawanya menggema ke seluruh ruangan. Bibir Seyi semakin mengulas senyum lebar tatkala satu ingatan muncul di kepalanya. Ujung mata Seyi melirik Seokjin. Lelaki itu tampak sedang melahap serealnya sambil menonton televisi, tapi Seyi bisa menangkap perubahan wajah Seokjin yang berubah masam begitu dirinya dijadikan objek yang ditertawakan.

"Lucu?" tutur Seokjin pada Seyi. Wajah masamnya semakin ketara. Seolah-olah dirinya tengah dirudung oleh dua wanita di dekatnya.

Seyi tak membalas perkataan Seokjin, sebaliknya sang ibu tiba-tiba menyahuti. "Oh, ibu sudah telat!" matanya membulat menatap arloji, "Nikmati waktu kalian, ya...!"

Bugh!

Kulkas ditutup dengan kencang. Kimchi dan seluruh bekal yang Ibu Seokjin bawa telah disusun sendiri olehnya sesuai tempatnya masing-masing, kemudian Ibu Seokjin berjalan terburu dari dapur ke pintu depan apartemen. Seiring kakinya berjalan, bibirnya pun tak henti merapalkan petuah untuk sang anak dan menantu kesayangan.

Saat meninggalkan dapur Ibu Seokjin mengatakan, "Setelah sekian lama akhirnya dapur ini tidak lagi diisi sarang laba-laba dan snack Chanyeol saja. Terimakasih Seyi, pasti kau sangat kerepotan,"

Saat melewati ruang tengah Ibu Seokjin mengatakan, "Lihatlah! Foto pernikahan kalian sangat indah! Tidak salah saran ibu untuk memintanya digantungkan di sini, bukan?! Ya Tuhan, kalian benar-benar sangat serasi!"

Saat melewati ruang kerja Seokjin, sang ibu kembali berkata, "Seokjin, sesibuk apapun kau bekerja, jangan pernah mengabaikan istrimu! Saat kau lelah, cobalah untuk melihat wajah istrimu dan beristirahatlah. Kau akan merasa baik setelahnya."

Lalu saat telah tiba di luar pintu apartemen, Ibu Seokjin mengatakan, "Kalian yakin Seyi tidak sedang mengidam?"

Untuk yang satu ini lekas Seyi menjawab, "Aku yakin, Bu."

Pertanyaan yang sama, tentu dengan jawaban yang sama. Sudah dua kali. Seakan ini adalah pertanyaan pembuka dan penutup —ya, Ibu Seokjin langsung menanyakan ini begitu ia masuk ke apartemen.

"Apa tidak kita periksakan dulu ke—"

"Paman Kim sudah menunggu ibu di bawah." Seokjin menyalip kalimat ibunya. Ia tahu akan ke mana pembicaraan mengarah. Seokjin segera merangkul sang ibu lalu mengiring langkah menghantarkan ibunya ke depan pintu lift.

Ibu Seokjin menghela lesu. "Haah... saat Seyi bilang menginginkan macaron dari Gangnam ibu sangat senang sampai buru-buru meminta Pak Kim berbelok ke Gangnam..."

Ting!

Sedetik setelah lift datang dan pintu lift terbuka Seokjin lekas membawa ibunya masuk ke dalamnya dan tak lupa menekankan tombol menuju lantai dasar.

"Hati-hati di jalan, Bu." ujar Seyi diiringi lambaian tangan yang juga dibalas dengan hangat oleh sang mertua. Ketika lift sudah turun, Seyi berhenti melambai dan senyum di wajahnya ikut memudar.

Ibu Seokjin tidak mengetahui, bahwa ketika ia menelpon dan bertanya apakah Seyi dan Seokjin menginginkan sesuatu sebab dirinya sedang dalam perjalanan ke apartemen, Seyi berkata menginginkan macaron dari Gangnam. Itu agar Seyi bisa mengulur waktu untuk mengemasi barang-barangnya dipindahkan ke kamar Seokjin. Jika tidak begitu, bisa-bisa mereka ketahuan pisah kamar dan urusan akan bertambah panjang.

Menit selanjutnya Seyi dan Seokjin berjalan beriringan. Pintu apartemen mereka terlihat masih beberapa langkah di depan. Tidak ada yang bersuara, hanya langkah kaki yang menggema di koridor. Hingga suara Seyi tiba-tiba terdengar.

"Jadi... saat kau datang ke rumahku dan membantu membawa barang-barangku, itu karena kau sedang diusir dari perusahaanmu sendiri?" ujar Seyi menggoda lelaki di sebelahnya.

Seokjin mendengus. Alih-alih menjawab ia mempercepat langkah kakinya untuk masuk ke dalam rumah.

Sudut bibir Seyi tertarik kecil. Pintu yang ditutup dengan keras itu akan Seyi anggap sebagai jawaban bahwa ya, itulah yang terjadi.
 

-----------



"Ini kartu kreditku." Seokjin mengulurkan benda kecil berwarna hitam di atas meja. Seyi hanya meliriknya. Kegiatan makan sereal sembari menonton televisi dan juga kegiatan berleha-lehanya yang sempat tertunda baru berjalan selama lima belas menit sampai Seokjin datang dari ruang kerja dan langsung mengusiknya. "Kau bisa menggunakannya untuk keperluan rumah tangga atau keperluan lainnya." lanjut Seokjin kemudian ikut bersandar ringan di sofa.

Seyi mengedipkan kedua matanya sebagai tanda terima. Ia malas berbincang. Tenaganya seperti telah terkuras demi menyeimbangi energi Ibu Seokjin. Sekarang Seyi perlu mengisi kembali energinya.

"Sesuai perjanjian, mulai hari ini kau yang melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga." ujar Seokjin lagi. "Karena kau bilang tidak bisa memasak, aku sudah meminta Bibi Kim untuk datang mengajarimu."

Seyi menahan nafasnya. Ugh, perjanjian itu! Hidupnya benar-benar bertambah tidak ada damainya sejak bersama dengan Kim Seokjin. Seyi mencoba merilekskan tubuhnya. Ia akan menganggap ini seperti bisnis. Rumit, menguras tenaga serta butuh kesabaran.

"Kau bisa mulai membereskan rumah, mencuci pakaian, dan—"

"Hari ini aku tidak bisa." sanggah Seyi. Ia sangat serius. Sungguh serius.

"Kenapa?" Seokjin penasaran.

"Aku ada urusan."

Seokjin mengangkat bahu ringan lalu berdiri dari sofa. "Baiklah. Aku juga ada urusan hari ini. Tetapi, saat aku pulang nanti, setidaknya kau sudah harus mengeluarkan barang-barangmu dari kamarku!"

Seyi menggigit bibir bawahnya. Melihat Seokjin yang berjalan kembali ke ruang kerjanya rasa-rasanya Seyi ingin melemparkan sendok yang ia pegang ke bagian belakang kepala Seokjin yang sedang ia lihat sekarang.

Sialnya, kata-kata perintah dari Seokjin itu terdengar mirip seperti yang pernah ia katakan pada karyawan dan bawahannya. Arogan dan penuh penegasan. Sangat menyebalkan di pendengaran.

Mungkinkah... ini yang dinamakan karma?

Park Seyi tersenyum miring. Batinnya tergelak. Menertawakan dirinya. Tanpa karma pun hidupnya telah lama kacau. Yang Seyi ketahui bahwa saat ini ia tak boleh mati karena ia masih menantikan kabar tentang neneknya.

Alasan sederhana untuk tetap hidup. Sesederhana mereka yang memilih terus bertahan hanya demi menunggu episode selanjutnya dari drama yang membuat mereka penasaran, atau demi menunggu kelanjutan dari komik yang mereka gemari.

Akan tetapi, setelah menemui seseorang yang ingin ia temui hari ini, Seyi menjadi bertanya-tanya, sekuat apa hati orang yang memilih tetap bertahan hidup meski tahu kehidupan tak lagi memberinya alasan untuk terus hidup.

  
 
Dengan sebuket bunga yang berada di tangannya, Seyi terpaku menyadari bahwa dirinya tak sekuat yang ia kira. Senyuman yang sedang Seyi lihat itu tampak terlalu baik untuk seorang yang hatinya telah patah.

Dan Seyi tak bisa berbuat apapun selain ikut tersenyum dan bertindak seolah dunianya akan selalu baik-baik saja.

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang