[45] Feeling

687 104 13
                                    

"Kim Seokjin..."

Suara itu, mengalun lembut di pendengaran.

Dua insan bermandikan cahaya bulan.

Dua netra saling berkaca.

"Kau menyukaiku?"

Dan, dua hati yang penuh rahasia.

Alunan dua kata dari bibir Seyi, menghunus tepat di jantung.

Ia yang tanpa istirahat merampungkan pekerjaan demi bisa segera pulang kala mendengar ayah mertua dirawat di rumah sakit, apakah karena ia menyukai Seyi?

Ia yang mengikuti suara hati mengosongkan seluruh jadwal pekerjaan, seperti saat hatinya bersikeras mengantar Seyi bertemu neneknya yang ternyata menjadi pertemuan terakhir mereka, sungguh ia lakukan karena rasa sayangnya pada Seyi?

Ia yang mengedar pandangan kepalang khawatir mencari sosok Seyi kala mengetahui sang mertua telah tiada, benar karena ia ada perasaan lebih pada Seyi?

Dan, ia yang mengharapkan Seyi baik-baik saja ketika mendengar dari Chaerim bahwa Seyi telah mengetahui hubungannya dengan Minjung, juga Minjung yang ternyata selama ini menyembunyikan seorang anak, semuanya karena ia telah jatuh hati pada Park Seyi?

Lisannya kelu.

Kepalanya beku.

Kedua tangan merosot dari bahu yang ia hangatkan.

Lalu, membiarkan angin malam mengisi ruang kosong sepeninggalannya.

Terkadang, tak memberi jawaban adalah jawaban terbaik.

------------

Waktu akan menyembuhkan luka.

Kata-kata itu berlaku untuk sebagian orang. Park Seyi, bukan termasuk sebagiannya.

Waktu akan mengungkap segalanya.

Untaian yang lebih pantas untuknya.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak hal terungkap.

Seyi baru mengetahui dari pengacaranya, ternyata Minjung adalah orang terakhir yang bertemu dengan ayahnya di rumah sakit. Sayup suara keributan tembus keluar sesaat sebelum kondisi ayahnya menjadi semakin memburuk.

Jangan salahkan Seyi jika di pikirannya tersemat Minjung adalah penyebab kematian ayahnya.

"Kau membunuh ayahku." Seyi tak gentar mengatakannya. Saraf di lehernya mencuat tegang dan matanya memerah.

"Park Seyi, jaga ucapanmu!" Sejak kemunculan anak kecil itu, Chaerim selalu ada di sisi Minjung. Setia menemani dan membela.

"Sekarang apa? Juga ingin membunuhku dan menguasai harta keluargaku? Tsh. Bahkan kau sudah membawa keluargamu untuk tinggal di rumahku." Seyi berhadapan dengan Minjung, bukan Chaerim, karena itu ia hanya mengabaikan Chaerim dan terus melontarkan ujaran tajam. "Dasar pembunuh!"

Plak!

Chaerim menampar Seyi tanpa ragu. Menurutnya Seyi sudah sangat keterlaluan. Tiba-tiba datang dan menuduh kakaknya, Chaerim tentu tak terima.

Dengan pipi yang terasa perih, sorot Seyi bertambah bengis. Sudah cukup baik ia tak melibatkan Chaerim tapi wanita itu malah berlagak di depannya.

Seyi tak tinggal diam. Ia mengangkat tangan untuk membalas tamparan Chaerim lebih keras. Namun, tangannya tertahan di udara.

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang