Cahaya matahari yang hangat menggelitik kulit.
Suara angin meniup dedaunan diiringi irama kicauan burung mengalir indah ke pendengaran.
Menyambut pagi yang cerah kelopak mata sang gadis terbuka perlahan.
Merenggangkan otot-otot tubuh yang kaku kemudian turun dari ranjang.
Membuka jendela agar hawa segar masuk ke kamar. Seyi menghirup udara pagi dalam-dalam sebelum membenarkan selimut neneknya.
Mengangkat tangan nenek untuk memasukkannya ke dalam selimut, tapi kemudian gerakan Seyi terhenti. Menangkup tangan nenek dengan kedua tangannya, lantas Seyi menegang ketakutan.
Tangan nenek sangat dingin, wajah nenek pucat, dan tubuhnya kaku. Berusaha tenang menahan air mata, tangan Seyi gemetar memeriksa nafas neneknya.
Deg!
"Nenek..." Suara parau itu masih belum bisa menerimanya. "Nenek jangan seperti ini... Nenek harus bangun... Nenek... jangan... tidak boleh... Nenek!!! Bangun!!! Nenek!!!"
Teriakan itu terdengar sampai ke luar ruangan. Perawat Nenek bersigegas masuk ke kamar dan benaknya berkecamuk melihat Seyi yang terisak hebat di sebelah neneknya yang tidur dengan tenang.
Tidur dengan tenang. Benar-benar tenang. Nenek yang sensitif terhadap suara saat tidur bahkan tak jua bangun saat Seyi mengguncang badannya dengan histeris.
Nenek, sudah pergi. Alam mimpinya yang mungkin sangat indah sehingga lebih memilih untuk menetap di sana.
Namun bagi Seyi, ini adalah mimpi buruknya. Mimpi buruk yang tak bisa ia hindari meski terbangun ribuan kali.
Alam mimpi yang indah, Seyi juga ingin ikut menetap di sana. Seandainya mimpi indah sungguh datang padanya, Seyi tak mau bangun lagi. Terbangun setelah bermimpi indah hanya akan membuatnya bertambah sakit. Sakit yang amat menyesakkan dada.
Waktu berjalan lambat tapi juga cepat. Kenyataan yang seperti mimpi dan mimpi yang seperti kenyataan. Dan semua orang mengerti Seyi masih belum sepenuhnya menerima kenyataan. Sorotnya yang redup dan kosong, semua orang mengerti dirinya masih terkunci di antara dunia nyata dan dunia mimpi.
Dalam upacara pemakaman itu, tak ada yang berani bersuara padanya. Sebagai gantinya, yang berhadapan dengan para pelayat bersama Ayah Seyi dan Minjung adalah Kim Seokjin.
Abu kremasi nenek tak disebar ataupun disimpan, melainkan dikubur di bawah pohon. Permintaan nenek dahulu, ingin membuat keluarganya lebih segar ketika mengunjunginya karena dekat dengan alam alih-alih merasa sedih mengunjungi kuburan.
Hari itu, langit seakan mewakili Seyi mengekspresikan perasaannya. Seyi tak bisa menangis, langit menurunkan hujan. Seyi tak bisa berteriak, langit menyambarkan petir.
Menggenggam payungnya kuat hingga baku kuku memutih. Seyi tak bergerak sedikit pun dari tempatnya saat orang-orang mulai beranjak pergi karena hujan semakin deras dan angin semakin kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT TIME
Fanfic𝙎𝙖𝙖𝙩 𝙞𝙩𝙪, 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙗𝙪𝙧𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙙𝙖𝙩𝙖𝙣𝙜𝙞 𝙋𝙖𝙧𝙠 𝙎𝙚𝙮𝙞, 𝙙𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙠𝙞𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙧𝙪𝙠 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙙𝙞𝙧𝙞𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙪𝙡𝙖𝙞 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙥𝙧𝙞𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙣𝙖𝙢𝙖 𝙆𝙞𝙢 𝙎𝙚𝙤𝙠𝙟𝙞𝙣. |2021|