|12| Wedding

752 101 10
                                    

Park Seyi's POV

Sedari tadi semua orang yang kutemui menunjukkan senyum bahagia. Tak kusangka Yoo Minjung dan Nyonya Kim benar-benar menyiapkan semua ini dengan sangat baik dalam waktu yang singkat. Tetapi, hal yang paling tidak aku sangka adalah bahwa hari ini datang dengan cepat. Aku tidak bisa lari lagi dari pernikahan ini.

Kulihat ayah yang tengah berdiri di depan pintu menungguku memegang tangannya menuju altar. Tidak ada kata apapun yang keluar darinya untukku, bahkan ekspresinya sangat sulit untuk ditebak.

Aku melangkah mendekat kepada sosok yang selalu tegas kepadaku dan memegang tangannya pelan. Ayah memang tidak pernah bersikap lembut, apalagi setelah ibu pergi. Aku diperlakukan seperti anak lelaki, yang tidak boleh menangis, lemah, apalagi rapuh.

Pikiranku tidak dapat berhenti memikirkan kemungkinan yang akan terjadi setelah ini, dan tanpa disadari sekarang aku sudah berjalan di altar bersama ayah. Sejujurnya, aku berharap ayah mengucapkan hal-hal seperti 'aku menyayangimu' atau 'jaga dirimu'. Tetapi tidak ada. Bahkan kata yang keluar darinya saat sudah tiba di hadapan Kim Seokjin hanyalah 'aku menyerahkannya padamu'.

Memangnya apa yang aku harapkan? Seharusnya aku sudah tahu ini akan terjadi. Ayah tidak akan berubah hanya karena aku akan menikah. Ah, pernikahan ini hanya sepuluh bulan. Aku harus menggunakan waktu itu dengan baik.

Di hari ini, aku semakin merindukan ibu. Jika saja perempuan yang melahirkan ku itu masih ada hingga detik ini dirinya pasti akan menangis diiringi senyum haru di wajah melihatku berdiri di altar dengan mengenakan gaun pengantin yang indah. Tetapi, aku pun tidak akan tega melihat senyum itu hanya bertahan selama sepuluh bulan. Ibu, dan juga nenek, selalu berharap aku menikah dengan lelaki yang sungguh-sungguh mencintaiku dan akan menjagaku seumur hidupnya. Aku merasa bersalah tidak dapat memenuhi harapan ibu dan nenek. Mereka pasti akan sangat kecewa jika mengetahui apa yang terjadi di balik pernikahanku dengan Kim Seokjin.

Tak butuh waktu lama hingga janji pernikahan telah diucapkan, suara riuh tepuk tangan terdengar, dan aku... telah menjadi Istri Kim Seokjin. Namun hatiku tak sedikitpun menghangat. Rasanya sangat datar. Seolah aku sedang mati rasa.

Begitu pria tua di depanku mengakhiri perkataannya kurasakan tarikan lembut pada pinggangku. Seokjin yang melakukannya. Dia tersenyum, tapi aku membenci senyumannya.

"Apa yang kau lakukan?" Sebisa mungkin aku bersuara kecil agar tak ada yang mendengar selain Kim Seokjin.

Tanganku mendorong tubuhnya, tetapi dia malah semakin mendekat dan memeluk pinggangku erat.

"Menciummu."

"Menci—Apa?! Tidak! Minggir sana!"

Mencium katanya? Di depan banyak orang? Sungguh mulus sekali sandiwaranya. Tapi aku sedang tidak ingin bersandiwara. Mati saja kau, Kim Seokjin!

"Kau pasti tidak pernah diundang ke acara pernikahan, ya?"

Sebentar. Dia sedang meledekku tidak punya teman, ya?

"Kuberitahu, karena kita sudah resmi menjadi suami istri, sekarang waktu kita—"

"Aku tahu." sahutku cepat sembari menarik jas Seokjin supaya dia tak melanjutkan kalimatnya yang seakan-akan aku adalah anak kecil yang sedang dia ajarkan tentang tata cara pernikahan.

Aku berdeham lalu berbisik padanya. "Karena ini sandiwara jadi kau tidak perlu benar-benar menciumku. Tutup bibirku dengan ibu jarimu."

Kulihat Seokjin mengangguk setuju. Kemudian aku kembali ke posisiku semula dan membiarkan Seokjin mengambil alih sandiwara.

Seokjin menekan punggungku, memegang pipiku dengan tangan kanannya, lalu memiringkan wajahnya sehingga menutupi wajahku dari orang-orang yang sedang bertepuk tangan melihat aksi kami. Sesuai dengan permintaanku, Seokjin meletakkan ibu jarinya di bibirku dan perlahan nafasnya menyentuh permukaan wajahku. Kami tidak akan benar-benar berciuman. Aku lega karena ada ibu jari Seokjin yang menjadi penghalang bibir kami.

Akan tetapi itu hanya dalam bayanganku belaka. Sebab begitu Seokjin hendak mendaratkan bibirnya, ibu jarinya bergerak ke sisi wajahku dan bibir Seokjin langsung menyentuh bibirku.

Sontak aku melotot. Aku ditipu olehnya. Mataku beradu dengan matanya yang sangat dekat. Seokjin sedang tersenyum dalam ciuman. Dadaku langsung panas melihat wajahnya yang senang sebab telah berhasil mempermainkanku.

Aku mencoba menjauhkan diri. Namun Seokjin tak membiarkanku pergi sebelum dirinya puas.

"Ah!" Aku meringis. Satu gigitan terasa menyakitkan di bibirku.

Kim Seokjin sialan! Suka mencari kesempatan! Aku pasti akan membalasnya dengan gigitan yang lebih menyakitkan dari ini suatu hari nanti!

Usai ciuman itu Seokjin tak lekas menjauh tetapi dia malah mensejajarkan wajahnya dengan wajahku, mengelus pipiku dengan kedua tangannya kemudian berujar dengan senyuman yang masih sama. "Mari kita mulai permainan, istriku."

Aku berdecih. Seokjin benar-benar pandai bersandiwara. Seharusnya dia memenangkan Penghargaan Oscar. Lihat saja, aku tidak akan semudah yang dia harapkan. Aku akan membalas sesuai dengan yang kuterima.

"Ya, mari bermain, Kim Seokjin." balasku ikut menarik sebelah sudut bibirku seperti yang dia lakukan.

PERFECT TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang