"Kara, bangun!" teriak Vanessa.
"Kara, woy!"
"Astagfirullah, Kara, bangun!"
Vanessa terus saja mengguncangkan tubuh gadis yang masih tertidur itu. Sudah pukul 7 pagi, namun gadis itu tak kunjung bangun. Entah jam berapa semalam dia tidur setelah mengerjakan laporan PKL-nya.
Vanessa menghela nafas dan beranjak dari sana meninggalkan Kara yang masih terlelap dalam tidurnya. Persetan dengan Kara yang akan terlambat, Vanessa tak peduli.
Dia akhirnya mandi lebih dulu sambil menunggu Kara untuk bangun. Vanessa cukup lama mandi, namun ketika dia masuk ke dalam kamar gadis yang dia harap bangun belum juga bangun.
"KARA, WOY! BANGUN!" teriak lantang Vanessa. Tak ada pergerakan, Vanessa sudah lelah, dia akhirnya memutar lagu yang bisa membuat Kara bangun. Apalagi kalau bukan horror.
Benar saja, Kara bangun dengan sangat gelagapan. Vanessa tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Kara.
"Ah, Vanessa! Kenapa sih?!" ujarnya kesal.
"Kenapa sih? Heh udah jam 7, kamu nggak masuk PKL?"
"Nggak. Aku masuk jam 8. Ah kamu ganggu aku aja tidur!" Vanessa hanya mengangguk tanpa rasa bersalah dan kembali bersiap-siap.
Sedangkan Kara, gadis itu memasang wajah merenggut akibat ulah sepupunya. Ingin sekali dia mencekik leher gadis itu, tapi itu tidak mungkin.
Kara menghela nafas, dia mengambil ponsel di samping bantalnya. Mengecek semua media sosialnya berharap ada notifikasi yang masuk, namun nyatanya nihil.
Si cantik melempar ponselnya ke sembarang arah, lalu bangkit dan mengambil handuk. Dia berniat untuk mandi, namun ketika satu langkah melewati pintu Kara memundurkan langkahnya.
"Kenapa?" tanya Vanessa.
"Ada orang?" tanya balik Kara.
Vanessa hanya menggelengkan kepalanya. Pun dengan Kara yang juga menggelengkan kepalanya dan kembali melangkah menuruni anak tangga.
Kara sudah selesai mandi, dia sudah keluar dari kamar mandi berjalan menuju tangga untuk naik ke lantai atas. Namun, langkahnya terhenti tatkala seseorang tiba-tiba menariknya tanpa aba-aba.
Kara terkejut, seseorang tanpa dia duga tengah berdiri di hadapannya dengan jarak beberapa senti saja. Deru nafas orang di hadapannya menerpa wajah Kara yang baru saja selesai mandi.
Orang itu tersenyum sambil terus memegang kedua bahu Kara. Yang di tatapan hanya bisa berkedip berkali-kali dengan wajah polosnya.
"Kara, mau kerja?" tanyanya.
"Nggak. Masih 17 tahun mau kerja di mana?" tanya gadis itu.
"Terus? Kemarin apa?"
"PKL. kamu ngapain? Kenapa nggak ke tokoh?"
"Mau balik mandi, tapi liat Kara dulu."
"Oh, udah,'kan? Mandi sana. Aku mau siap-siap."
"Mau aku antar?" tanya dengan wajah serius.
"Nggak usah aku naik angkot aja."
"Tapi, Kara harus mau!" gadis itu menghela nafas kasar, dia tahu bagaimana tegasnya pemuda bernama Langit yang masih mencengkram kedua bahunya itu.
"Iya. Tapi, biarin Vanessa jalan duluan. Aku mau siap-siap."
"Nggak usah cantik-cantik, ya. Biasa aja."
"Lang, aku masih anak sekolah. Nggak harus dandan kaya karyawan di kantor sana." Langit tersenyum, dia mengangguk kemudian melepas cengkramannya dibahu Kara.
Si cantik akhirnya berbalik berniat melangkah menuju tangga, namun lagi-lagi Langit menariknya membuat gadis itu terkejut bahkan lebih terkejut dari sebelumnya.
Bagaimana tidak, Langit memeluknya dengan sangat erat. Jantung Kara seakan ingin berhenti berdetak saat itu juga. Tak dia sangka pemuda itu berani memeluknya bahkan ketika mereka baru saja bertemu dua hari.
"KARA, UDAH SELESAI BELUM? AKU MAU BERANGKAT!" teriak Vanessa dari atas. Kara langsung sadar dan sedikit mendorong tubuh Langit, tapi pemuda itu enggan melepas pelukannya.
"Lang, udah, " ucap Kara.
"Kenapa? Takut dia liat?"
"Nggak. Udah, ya. Aku mau siap-siap atau kamu nggak usah antar aku." dengan cepat Langit melepas pelukannya dan membiarkan gadis itu berlari naik ke atas.
Langit tersenyum bahagia, entah apa yang ada di dalam pikirannya sekarang setelah memeluk Kara secara tiba-tiba.
Kara sampai di depan kamar, mencoba biasa saja sebelum masuk ke dalam sana. Dia menghela nafas pelan agar Vanessa tak mendengarnya.
Setelanya, dia membuka pintu kamar tersebut dimana Vanessa sudah selesai bersiap-siap.
"Kok lama?" tanya Vanessa.
"Kepo!" cerca Kara. Vanessa hanya memasang wajah kesalnya, lalu mengambil tas di atas meja belajar.
"Aku pergi! Kunci kamu yang bawa, ya. Jangan telat!" perintah Vanessa.
"Iya, bawel banget, sih?!"
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Vanessa akhirnya turun ke bawah, sedangkan Kara memutar lagu di ponselnya agar tak begitu canggung setelah Vanessa pergi. Karena dia yakin Langit ada di kamar sebelah tengah menunggunya keluar.
Kara bukan tipe orang yang ingin membuat siapapun menunggu, jadi dia dengan cepat bersiap-siap. Tak banyak yang Kara gunakan, hanya make up tipis dan sebuah seragam berwarna ungu dipadukan dengan sweater pink dan totebag hitam yang bergelantung dibahunya.
Merasa semuanya selesai Kara membuka pintu perlahan. Benar saja, Langit langsung keluar dengan style sweater putih yang dipadukan jeans hitam ketat yang lutunya robek.
Kara terdiam sejenak, seperti dibius oleh penampilan pemuda di hadapannya itu. Langit yang sadar akan ekspresi Kara hanya tersenyum kemudian menarik tangan Kara untuk ke bawah.Sepertinya mengantar Kara adalah tujuan dari Langit, sebab motor putih yang biasa dia gunakan sudah dipanaskan sejak tadi.
Jadi, mereka langsung berangkat setelah Kara selesai. Dalam perjalanan Kara merasa canggung, belum lagi Langit sengaja menarik kedua tangan gadis itu untuk melingkar di pinggangnya.
Lima belas menit mereka akhirnya sampai di depan gedung megah di kota itu. Kara turun, melepas helm yang dia gunakan dengan bantuan Langit tentunya, sebab helm itu sedikit susah untuk dibuka dari pengaitnya.
"Pulangnya jangan lama-lama. Semangat PKL-nya!" ucap Langit tersenyum.
"Iya. Makasih, aku masuk dulu." Langit mengangguk masih dengan wajah tersenyum bahagia.
Kara menyukai Langit sejak lama, namun gadis itu tak menyadari perasaanya. Dia terlalu asik dengan dunia yang dia buat sedemikian rupa hingga melupakan perasaanya sendiri.
Dunia Kara terlalu gelap, pencahayaan remang yang dia gunakan sudah redup sejak lama dan tak ada yang mengisinya lagi.
Kara terjebak dalam dunia buatannya sendiri, imajinasinya membawa Kara lupa akan perasaan dan orang di sekitarnya.
Dan Langit punya tugas besar untuk membawa Kara kembali ke dunia yang luas ini agar tak terjebak dalam imajinasi semata gadis itu.
Hei....
Gimana? Bagus? B aja pasti awokowkwo
Vote, komen dan share untuk lebih lanjutnya!!!
See u next time di 'Rasa'
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa [Nakamoto Yuta] ✔
General Fiction- BASED ON TRUE STORY ❝Semesta untuk sepihak hati❞ "Jika aku tak bisa memilikimu, maka semua tentangmu akan abadi dalam karyaku" -Kara "Maaf jika sikapku membuatmu berpikir aneh" -Langit ©pinterest #2gera 300921 #18azaleaspublisher 300921 #16arabell...