27

35 7 44
                                    

Sejak selesai sahur tadi, Kara tak tidur. Sengaja dia melakukan hal itu agar tak kesiangan nantinya. Kara juga membereskan piring kotor yang digunakan untuk makan subuh tadi. Kini dia memutuskan untuk mandi dan bersiap ke sekolah.

Seperti biasa sebelum masuk ke dalam kamar mandi, dia selalu mengintip di jendela dapur, hanya untuk memastikan Vanessa sudah bangun atau belum.

Jika sudah melihat Vanessa duduk melamun di teras, Kara akan tersenyum dan masuk ke dalam kamar mandi. Biasanya Vanessa akan langsung mandi jika mendengar suara air berjatuhan dari rumah sepupunya itu.

Kara sudah selesai, dia sudah mandi dan kini bersiap-siap. Dia menunggu Vanessa di selasar bawah rumah. Sambil menunggu, Kara memain ponselnya. Membuka semua sosial media miliknya.

"Ayo," panggil Vanessa yang muncul di sana. Kara mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam saku seragamnya.

Kini mereka melaju menuju sekolah, suasana di sana masih segar. Banyak anak kecil yang pergi ke sekolah. Kara dan Vanessa sesekali melempar senyum pada orang yang melihat mereka. Keduanya memang terkenal sangat ramah dan murah senyum, meski wajah mereka datar dan dingin.

Sepuluh menit kemudian mereka akhirnya sampai di parkiran sekolah. Kara langsung turun dan melangkah ke kelasnya, pun dengan Vanessa.

Hari ini sekolah tak terlalu ramai, karena hanya angkatan Kara yang turun. Kantin juga tak buka, karena bulan puasa. Jadi, murid di sana hanya menghabiskan waktu di kelas atau di depan kelas sembari bercengkraman.

"Kara, gosip," ucap Dita.

"Gosip, gosip, gosip, puasa! Gosip terus!" cetus Nana.

"Aku nggak puasa, sih," balas Dita bangga.

"Dih! Nggak usah, Kar nanti puasa kamu makruh."

"Iri aja. Yakin nggak mau denger, tentang Bintang sama Zahra lo." langkah Kara langsung berhenti, dia menoleh pada Dita dengan wajah meminta penjelasan, pun dengan Nana.

"Pas nyebut nama mereka aja pada balik," celetuk Dita.

"Mereka kenapa?" tanya Kara.

"Kemarin aku ke pantai sama Rifal, terus nggak sengaja liat mereka berdua. Aku sama Rifal coba deketin, tapi berusaha nggak ketahuan dan kalian tau nggak mereka ngapain?" tanya Dita.

"Ngapain emang?" tanya Nana.

"Mereka ternyata udah putus!" tegas Dita.

"Hah?!" ucap keduanya terkejut.

"Kok bisa?" tanya Kara.

"Udah lama, gara-gara Zahra tahu kalau kamu itu mantannya Bintang," jelas Dita.

"Ya, terus kenapa? Emang salah kalau Kara mantan Bintang?" tanya Nana.

"Mungkin dia ngerasa nggak enak sama kamu, kan sering ketemu," balas Dita menerka.

Kara dan Nana terdiam sejenak. "Sejak kapan mereka putus?" tanya Nana.

"Kayanya minggu lalu deh, soalnya Zahra balikin jaket yang sama kaya punya Kara."

"Minggu lalu?" tanya Kara. Dita mengangguk, pantes saja waktu itu Bintang meneleponnya lagi, ternyata dia tak punya seseorang untuk disakiti.

"Udahlah, biarin aja. Paling juga karma," ucap Kara.

"Bener, lagian salah sendiri pakai selingkuh, kamu seganteng apa, sih? Modal manis doang belagu!!" celetuk Dita kesal.

"Gantengan juga Langit," ucap Kara tanpa sadar.

Nana dan Dita menatapnya dengan tatapan intens, namun Kara belum sadar apa yang baru saja dia ucapkan.

"Langit siapa?" tanya Dita.

"Hah? Langit?" tanya balik Kara dengan wajah heran.

"Iya, tadi kamu bilang Langit. Langit siapa?"

"Mana ada!"

"Adaaaaaaaaa. Orang kita denger kok kamu bilang gantengan Langit. Nah dia siapa? Gebetan baru?"

"Bukan! Dia sepupu jauh aku."

"Gebet aja," timpal Nana.

"Mana boleh."

"Iya, juga, ya."

Kara menggelengkan kepalanya, bagaimana bisa dia sampai tak sadar memuji Langit di depan kedua temannya. Dasar gadis bodoh!

Bel masuk sudah berbunyi, semuanya masuk ke dalam kelas mereka dan duduk sembari menunggu guru masuk. Banyak dari mereka yang meletakkan kepalanya di atas meja. Mungkin kelelahan atau energinya sudah habis.

Puasa tak puasa Kara biasa saja, sebab dia memang jarak makan. Jadi, puasa begini baginya tak ada bedanya dengan hari-hari lain. Hanya saja banyak kue dan makanan enak lainnya yang dibuat oleh sang Bunda.

Tak lama guru yang ditunggu masuk. Pembelajaran dua jam akhirnya dimulai.

Selama bulan Ramadhan, sekolah hanya sampai jam 2 saja, karena tak mungkin mereka menghabiskan waktu hingga sore. Kasihan juga gurunya tak masak untuk keluarga.

Satu jam pembelajaran sudah berlalu, semua sudah merasa lelah dan kehabisan energi, mungkin guru mereka juga merasakan hal itu hanya saja tak memberitahu mereka.

"Satu jam ke depan kalian pakai istirahat saja, jika bel berbunyi boleh keluar kelas," ucap sang guru.

"Baik, Bu!"

Guru itu akhirnya keluar, kasihan juga dia melihat murid yang sudah kelelahan dan tak bisa berpikir karena rasa lapar yang melanda.

Murid di kelas itu, lebih memilih untuk tidur di kelas atau bercengkrama dengan yang lainnya daripada harus keluar dan bertemu kelas lain.

Kara pun sama, dia hanya ingin tidur. Matanya sangat mengantuk akibat tidak tidur dari jam 4 subuh tadi.

Baru saja memejamkan mata, seseorang sudah memanggil namanya dengan lantang. Kara mengerang dalam hatinya dengan kesal, ternyata yang memanggilnya Dita.

"Kenapa?" tanya Kara dengan wajah datar.

"Dicari sama Zahra," ucapnya.

Kara menatap gadis bernama Zahra yang berdiri sembari tersenyum padanya.

"Maaf, ya," ucap gadis itu.

"Buat?" tanya Kara.

"Bintang. Aku nggak tau kalau kamu sama Bintang pacaran, kalau tau aku nggak bakalan terima dia. Sekali lagi, maaf."

"Iya. Udah, kan? Aku ngantuk," ucap Kara seingat tanpa ekspresi di wajahnya.

"U-udah kok. Makasih, ya."

"Hm."

Zahra pergi dari sana, jujur saja Kara tak kesal apalagi marah, dia lebih kesal dengan Dita yang membangunkannya ditengah tidurnya yang hampir nyenyak itu.

Kara kembali ke dalam kelasnya. Dia tak memperdulikan Dita yang tersenyum menggodanya tadi.

Entalah, Kara tak memperdulikan Kara ataupun Bintang. Dia lebih suka seperti ini. Bebas tanpa ada yang melarangnya.

Tugas Kara sekarang hanyalah sadar, sadar tentang perasaanya pada Langit yang semakin besar di dalam sana. Dia harus bisa sadar agar bisa membuang perasaan itu, sebab akan fatal jika rasa itu tumbuh semakin dalam dan dia belum sadar.

Kasihan Kara, gadis yang tak peka itu harus merasakan rasa yang tak semestinya ada. Seperti, rasa untuk sepihak hati. 





[TO BE CONTINUED

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang