18

66 19 72
                                    

Hari yang dinanti akhirnya tiba, hari dimana Kara dan Vanessa menyelesaikan tugasnya sebagai anak magang di tempat masing-masing. Lusa mereka akan kembali menjadi anak sekolah dengan tugas yang harus mereka kerjakan.

Setiap pagi tak akan ada lagi dokumen menumpuk yang akan Kara kerjakan, tak ada lagi tugas mengantar dokumen ke satu fungsi lainnya. Semua kembali menjadi normal seperti sedia kala.

Perihal rasa pada Bintang pun sudah hilang, sudah tak akan ada lagi masa dia akan dijemput setiap pagi oleh Bintang. Mulai lusa nanti, Kara akan kembali pada Vanessa. Pergi dan pulang sekolah bersama sepupunya.

Pun dengan Langit, mungkin Kara hanya akan bertemu satu atau dua kali dalam sebulan. Selain fokus belajar, Kara juga harus mempersiapkan lomba yang akan dia terima pasca masuk sekolah nantinya.

Saat ini kedua gadis itu tengah sibuk mengemas barang dan pakaian mereka ke dalam koper masing-masing. Jika saja ini masih terang mungkin keduanya akan langsung pulang, tapi sayang hari sudah mulai gelap dan Angel tak mungkin memberi mereka izin.

"Kara, laper nggak?" tanya Vanessa.

"Laper, mau masak nggak?" tanya balik Kara. 

"Bareng tapi."

"Yaudah ayo!" mereka akhirnya turun ke lantai bawah. Di sana sudah ada Angel  sedang menonton. Keduanya menoleh tatkala melihat kedua adiknya turun bersamaan.

Angel tak terlalu pusing tentang kedua adiknya itu, mereka anak yang mandiri dan tidak suka merepotkan orang-orang di sekitarnya. Hal itu kadang membuat Angel pulang lebih awal hanya untuk membuatkan mereka makanan.

Angel tahu bagaimana Kara, gadis itu pendiam dan tak banyak omong. Tapi, hal itu tidak berlaku jika Kara bersama dengan Vanessa. Keduanya  akan menjadi gaduh jika dijadikan satu. Seperti empat bulan terakhir ini.

"Kak Angel, yang suka minum air es aku, kan? Ngaku anda!" ucap Kara.

"Haus, dek," balasnya singkat.

Kara hanya menghela napas mendengarnya, ingin marah tapi sudah terjadi. Dia tak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang. Menyebalkan? Tentu.

Kara dan Vanessa membuat makanan seperti biasanya, dia cukup lelah hari ini, selain pulang lebih sore mereka juga lelah membereskan barang-barang mereka.

"Kakak tumben pulang cepet?" tanya Vanessa.

"Nggak ada barang datang," balas Angel.

"Terus Kak Lang?"

"Bentar pulang. Nah itu suara motornya." Kara tersentak mendengar suara motor itu, bagaimana tidak, dia bahkan belum selesai memakan makanannya, tapi laki-laki itu sudah ada di sana.

Pintu terbuka, menampilkan Langit di sana. Ekspersinya datar dan biasa saja. Sudah biasa hal seperti ini, karena itu memang sikap Langit.

Dia menatap Kara sebentar, kemudian naik ke atas. Kara hanya diam, dia tak paham dengan maksud tatapan Langit yang dingin itu.

Kara menggelengkan kepalanya, dia melanjutkan makannya. Setelah selesai dia dan Vanessa kembali ke kamar. Masih banyak barang yang harus dia kemasi sebelum pulang besok.

"Huaa... Capek," keluh Vanessa.

"Dikira dia aja yang capek!" ucap Kara ketus. Vanessa terkekeh mendengar hal itu, Vanessa bangkit mengambil handuk di belakang pintu kemudian keluar.

Gadis itu sepertinya baru ingin mandi sore setelah barang-barangnya selesai dia kemasi. Berbeda dengan Kara yang masih sibuk mengemasi barangnya.

"Haaa... Capek juga ternyata," keluhnya.

"Beneran balik besok?" tanya Langit tiba-tiba muncul di ambang pintu.

Kara memenga dadanya karena terkejut. "Langit, sejak kapan kamu di sana?"

"Hm... Sejak tadi, waktu Vanessa ke bawah, kamu aja yang nggak sadar." Kara hanya mengangguk dan kembali mengemasi barangnya. "Nggak jawab pertanyaan aku?"

Kara mendongak menatapnya. "Iya, balik besok pagi, kenapa?"

"Nggak bisa diundur?"

Kara menghela napas menutup kopernya. "Lusa aku udah masuk sekolah. Mana bisa diundur." Langit terdiam, dia enggan membalas ucapan Kara tadi dan memilih untuk kembali ke dalam kamarnya.

Kara yang melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia tak paham dengan hal yang dilakukan oleh sepupunya itu.

Detik berikutnya, ponsel Kara berdering, sebuah nomor baru muncul di sana. Kara memicingkan matanya, penasaran nomor siapa itu.

"Hallo."

Kara terdiam, dia mengenal suara itu. Suara Bintang dari seberang sana, dengan cepat Kara berdiri dan menghampiri Langit di kamarnya.

"Kenapa?" tanya Langit terkejut.

"Bilang aku mandi."

"Tapi, siapa?"

"Cowok." dengan cepat Langit mengambil ponsel Kara.

"Hallo."

"..."

"Mandi."

"..."

"Pacarnya. Jangan telepon Kara lagi."

Telepon itu mati, Langit langsung memberikannya pada Kara. Kara baru saja ingin keluar dari kamarnya, tapi Langit langsung menahan lengan gadis itu.

"Apa?" tanya Kara.

"Udah dua kali kamu nyuruh aku begitu, kamu nggak mau kita pacaran beneran?" tanya Langit.

"Jangan mimpi! Mana bisa kita pacaran!"

"Kenapa nggak bisa?"

"Kita... Saudara!" Kara melepas genggaman tangan Langit dan keluar dari kamar pemuda itu.

Kara menghela napas sembari memegang dadanya yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Dia merasa aneh, setiap Langit bicara serius detakan dijantungnya begitu cepat. Seperti dipompa dengan kuat.

Gadis bodoh itu masih saja belum sadar jika dia sebenarnya mempunyai perasaan pada Langit. Matanya masih tertutup dengan tali persaudaraan yang dipegang teguh.

Tapi, sampai kapan Kara akan diam dan tak menyadari hal itu. Dia mungkin saja akan merasakan rasa sakit yang teramat jika terus seperti ini.

Meski Kara menyadari rasanya pada Langit, dia juga harus menunggu. Menunggu sampai Langit yang menyatakan perasaannya secara serius.

Tapi, bukankah sudah dua kali Langit menyatakan perasaannya? Tidak. Itu tak tulus, hanya ucapan untuk menggoda Kara. Langit tak tahu betapa besar resiko dari ucapannya itu. Dia tak tahu, perasaan seseorang bisa berubah kapan pun.

Dan Kara merasakan hal itu sekarang. 










[TO BE CONTINUED

[TO BE CONTINUED] 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang