26

54 9 48
                                    

Hari ini, Kara akan kembali ke rumahnya. Sebenarnya dia masuk sekolah hari senin, tapi dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumahnya dan tentu bersama Vanessa.

Dia sudah membereskan beberapa barang yang akan dia bawah sekaligus baju yang sudah Angel belikan untuk kedua orang tua dan adiknya.

Kara hanya tinggal menunggu mobil jemputannya di depan. Di rumah hanya ada dia dan Langit, Elang dan Angel sedang menjaga toko.

Masih jam 10 pagi, Kara sengaja pulang jam segini, jadi dia bisa menikmati perjalanan siang sambil melihat orang-orang dan sawah kering yang dia lewati nanti.

"Kara," panggil Langit.

"Apa?" tanyanya. Sejak kejadian waktu itu, Kara menjaga jarak dengan Langit. Dia tak ingin detakan jantungnya semakin parah.

"Jadi pulang?" tanya Langit.

"Jadi, bentar lagi ke depan gang."

"Terus balik ke sini kapan?"

"Kamis atau jumat tergantung sekolah aja."

"Padahal bulan puasa kenapa sekolah coba," monolog Langit pelan, tapi masih bisa Kara dengar.

"Emang udah gini jalannya, Kak Lang," sahut Kara.

"Loh? Dengar?" tanya Langit terkejut.

"Iya, Denger. Udah, ah, minggu depan juga ketemu."

"Iya, sih."

"Mobil jemputan udah di depan aku pergi, ya," pamit Kara.

"Kara, tunggu!" ucap Langit menahannya. Dia melangkah ke hadapan Kara.

Laki-laki itu menatapnya dengan intens kemudian mengecup manja kening Kara. Mata gadis itu membulat sempurna, kaget mendapatkan tembakan secara tiba-tiba itu.

Cukup lama Langit mencium keningnya, sampai akhirnya Langit melepaskan ciuman itu. Kara menatapnya sambil memicingkan mata.

"Udah," ucap Langit.

"Udah? Apanya?" tanya Kara bingung.

"Ciuman tadi jadi teman kamu di jalan. Adeknya Langit nggak boleh sendirian," ucap Langit tersenyum.

Entah kenapa Kara merasa sedikit sesak mendengar ucapan Langit. Hanya sebatas adik tak lebih.

"Udah, ah, aku mau ke depan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Kara!"

Kara tak menggubris dan memilih berjalan cepat ke depan gang sebelum sang supir menunggunya terlalu lama.

Setelah sampai, supir mobil itu langsung membantu Kara memasukkan barangnya ke belakang. Ternyata tak banyak penumpang. Hanya ada 3 dengan dirinya, persis seperti saat dia pergi beberapa hari lalu.

Mobil itu kemudian melaju meninggalkan depan gang rumah Angel. Kara membuka kaca dan menghirup udara segara yang menerpa wajahnya. Untung saja di sudah cukup kenal dengan sang supir, jadi dia tak begitu canggung jika ingin membuka kaca atau menyuruhnya mampir hanya untuk buang air.

Selama perjalanan, Kota Makassar begitu ramai. Banyak mobil, motor dan angkutan pribadi yang lewat di sana. Tapi, hal itu justru membuatnya menjadi Indah dan terlihat berbeda dari yang lainnya.

Keluar dari Kota Makassar, kini Kara memasuki daerah Maros. Di sini sudah mulai banyak rumah-rumah panggung yang dilihat gadis itu. Jalan poros yang begitu lebar membuat mobil leluasa melaju cukup cepat. Namun, tidak dengan mobil yang di tumpagi. Kara suka caranya sang supir mengendarai mobil itu, cepat namun santai.

Melewati Maros, dia sudah masuk ke daerah yang hampir semua rumahnya adalah rumah panggung. Entah kenapa Kara suka sekali dengan rumah seperti ini, dibanding rumah Angel yang megah nan tinggi, Kara lebih memilih tinggal di rumah panggung.

Tak terasa sudah satu jam berlalu, Kara bahkan tak mengantuk. Dia melewati banyak pemandangan, gunung, sawah, rumah panggung dan beberapa hal yang mungkin saja akan Indah bila digambar di atas kertas putih.

Pikiran Kara kembali pada kejadian satu jam lalu, sebelum dia keluar dari rumah. Kecupan manja dari Langit masih terbayang di kepalanya.

Tanpa sadar seulas senyum muncul di sana. Entahlah kenapa membayangkan hal itu membuat Kara bahagia dan tak bisa berhenti tersenyum.

Namun, itu tak bertahan lama. Ketika ucapan Langit muncul senyum simpul itu hilang, berubah menjadi kekeh sangat kecil.

"Adek, ya," batinnya.

Detik berikutnya Kara menggelengkan kepalanya, sadar akan apa yang dia katakan di dalam hatinya.

Kara menghela napas panjang dan mengambil AirPods yang ada di dalam tasnya. Dia memasang airpods itu.

Kara kembali menatap ke luar. Matahari mulai meninggi, jam sudah menunjukkan setengah 12 siang. Jarak rumahnya masih cukup jauh, dia bahkan belum melewati daerah rumah Kakek dari Ayahnya.

Mobil yang dia tumpangi kali ini tak berhenti di tempat biasa. Semua tutup di jam siang saat bulan puasa dan akan buka menjelang maghrib tiba. Jadi, Kara bisa sampai lebih cepat dari biasanya.

Desa tempat Kara tinggal masih terbilang asri. Berhadapan langsung dengan lautan lepas, dimana banyak pohon kelapa yang menjulang tinggi dan juga pohon bakau yang tumbuh rindang.

Sore di sana adalah hal yang Kara suka, dia bisa menghabiskan waktu cukup lama di teras rumah hanya untuk menatap laut di hadapannya atau sekedar melihat anak-anak di desanya bermain sepeda di sore hari.

Pohon kelapa yang menjulang tinggi membuat suasana menjadi sejuk, kadang kala Kara lebih suka menatap hal itu daripada jalan dengan temannya. Apalagi dia sangat menyukai laut.

Terlalu asik mendengar musik dan melihat pemandangan di luar, ternyata mobil yang dia tumpangi sudah melewati daerah rumah Kakek dari Ayahnya. Itu artinya, rumahnya sudah dekat. Kara melepas AirPodsnya dan memasukkan kembali ke dalam tas.

Lima belas menit kemudia, mobil itu sudah memasuki daerah desa tempat Kara. Dia mengambil semua barangnya. Hanya butuh waktu kurang dari lima menit dan dia sudah sampai di depan rumahnya.

Di sana sudah ada orang tuanya dan Vanessa yang tengah menunggu kedatangannya.

Setelah membayar mobil dan semua barangnya turun, Kara langsung menghampiri ketiga orang itu sambil tersenyum.

"Bunda, ini kakak beliin baju lebaran sama Ayah," ucapnya.

"Adik kamu?" tanya Bundanya.

"Nanti, aku aja belum dibeliin."

"Vanessa mana?" tanya Vanessa.

"Uang aja dari Kak Angel sama Kak elang."

"Langit?" tanya Vanessa.

"Aku aja nggak dikasih," balas Kara.

"Wah, kere dia itu," celetuk Vanessa.

"Mungkin."

Kedua orang tuanya naik ke atas untuk menyimpan barang-barang yang dia bawa tadi. Sedangkan Kara mencuci kaki dan tangannya di samping tangga.

Dia langsung membaringkan dirinya di atas selasar yang dibuat oleh sang Ayah. Kara memejamkan matanya, dia cukup kelelah akan perjalanannya kali ini. Sedangkan Vanessa sibuk memainkan ponselnya.

Selama bulan puasa dan ditinggal Kara, Vanessa hanya melakukan kegiatan ini, tak lebih.

Bayang-bayang Langit di matanya muncul tiba-tiba, membuat Kara membuka matanya dan bangun. Vanessa yang melihat hal itu hanya bisa terheran-heran, namun dia tak peduli.

Entah sampai kapan dia Kara akan tak sadar pada perasaannya. Perilaku Langit rasanya bukan hal yang biasa dilakukan oleh saudara sepupu. Kalaupun iya, mungkin hanya beberapa saja.

Namun, Kara bahkan tak sadar akan semua itu. Entah dia memang tak peka atau dia masa bodoh dengan perasaannya itu. 




[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang