39

43 6 94
                                    

18 September 2021

Kara dan keluarganya berada di perjalanan menuju rumahnya, mereka dari rumah Angel. Anak kedua Angel tengah sakit para dan Elang meminta agar sang anak dibawa ke tempat neneknya untuk mendapatkan pengobatan kampung, juga dokter.

Hari ini, tepat seminggu sang keponakan sakit, namun sudah dua malam dia tak tidur dan terus meminta tolong pada Angel, juga sang nenek. Segala macam cara sudah Elang lakukan untuk membuat anaknya kembali sehat, namun sepertinya cukup sulit.

Setelah menempuh perjalanan dua jam lebih, mereka akhirnya sampai di rumah Kara tepat saat adzan subuh berkumandang. Namun, na'asnya lampu rumah Kara mati, terpaksa sang ayah dengan sigap kembali voucer listrik yang ternyata lupa dia isi sebelum ke rumah Angel sore tadi.

Lampu kini sudah menyelah, saudara sepupu yang Angel telepon datang ke sana. Kebetulan keluarga mereka banyak yang berprofesi sebagai tenaga medis. Tak sampai satu jam di rumah Kara, Angel kembali membawa anaknya ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.

Tak semua pergi, ibu, adik dan keponakan Kara yang kecil tinggal. Dia terlalu lelah dan mengantuk untuk kembali jalan lagi. Jadi, hanya sisanya yang ikut dan sang sepupu.

Elang melaju menyusuri jalan yang memang terpantau sangat sepi. Langit mulai terang, namun matahari belum menampakkan dirinya.

Setelah lima menit menumpuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah sakit. Keadaan ruang UGD terpantau sepi, tak ada perawat atau petugas yang berjaga, bahkan pasien pun tak ada.

Cukup lama mereka menunggu, dan membiarkan sang anak terus berteriak akhirnya perawat pun datang. Keponakan Kara mulai di periksa dan diambil simpel darahnya.

Tangan Kara terus ditarik oleh sang keponakan, seakan meminta tolong, namun dia tak tahu harus bagaimana.

"Umi, tolong."

"Nenek, tolong."

"Ambo, tolong."

Hanya tiga nama itu yang selalu dia sebut, pandangan mata yang kosong sejak tadi membuat Kara dan keluarganya takut dan berpikir aneh.

"Umi di sini, nak. Ada abi, ambo, bunda," ucap Angel seraya mengusap kening sang putra.

Anak itu kembali diam, bibir luarnya begitu pucat, namun bibir dalamnya merah bak tomat. Kara tak banyak bicara, dia terus memegang tangan sang keponakan agar tak menunjuk hal-hal aneh.

Bohong kalau Kara tak tahu maksud dan apa yang anak itu lihat di depannya, namun Kara tak mau membuat sang kakak dan ibu cemas.

"NENEK." anak itu berteriak dengan suara lantang, hal yang tak pernah Kara dengar selama tiga tahun anak itu lahir.

"Nenek di rumah sama adek Iki. Ini ada umi," ucap Angel lagi.

"Umi."

"Nenek."

Lagi, dia memanggil Angel dan neneknya.

"Ini Umi," ucap Angel mengarahkan pandangan sang anak ke wajahnya. Kosong, hanya itu yang bisa Kara lihat di sana.

Kedua gigi anak itu saling bertumpah, seakan menahan sesuatu yang membuatnya takut dan marah di saat bersamaan. Badannya sejak takdir gemetar, namun suhu tubuhnya normal.

Tak lama perawat yang memeriksanya datang, membuat keempat orang di sana menolah bersamaan.

"Adeknya demam, bu?" tanya sang perawat.

"Ada demam, dok, tapi sebentar aja terus turun," jawab Angel.

"Trombositnya sangat turun, dia harus dirawat."

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang