17

64 18 66
                                    

"Kara, besok lusa langsung pulang?" tanya Vanessa.

"Nggak. Nginap aja dulu, besoknya baru balik. Karena kita baliknya sore banget dari kantor," balas Kara.

Vanessa mengangguk, kedua gadis itu sudah sibuk membereskan barang-barang mereka ke dalam koper dan tas ransel. Empat bulan lebih jauh dari kedua orang tua, bukan hal mudah bagi keduanya, meskipun yang mereka tinggali adalah kakak mereka sendiri, namun bagaimanapun juga orang tua dan rumah adalah tempat pulang paling nyaman.

"Hari ini kamu yang masak, kan? Aku nyuci," ucap Vanessa.

"Mau makan apa?" tanya Kara.

"Hm... Yang pedes enak kali, ya. Mie aja deh tapi terserah mau kamu apain."

"Oke. Aku ke bawa dulu." Vanessa mengangguk, Kara turun ke bawa untuk melihat bahan apa saja yang ada di dapur.

Mereka hanya berdua di sana, sudah empat bulan lebih dan mereka sudah terbiasa dengan hal tersebut. Merasakan keramaian hanya saat di malam hari dan hanya sebentar.

Kara sudah sampai di depan lemari penyimpanan, dia membuka lemari tersebut. Hanya ada beberapa mie goreng dan juga telur. Dia bergeser ke samping, membuka kulkas dan melihat apa ada hal yang bisa ditambahkan.

Lagi-lagi Kara menghela napas ketika botol minum yang dia isi semalam sudah tinggal sedikit. Kara sudah tahu siapa pelakunya, tidak lain dan tidak bukan kakaknya sendiri, Angel.

"Argkh! Kak Angel!" pekiknya geram.

"Kenapa?" Kara langsung berbalik ketika mendengar suara yang dia kenal.

"Ha? O-oh, nggak papa?"

"Ck! Bohong banget."

"Mau masak? Atau mau minum?"

"Nggak usah kepo. Awas!" bukannya minggir Langit malah menahan tangan Kara dan menariknya mendekat.

Kara mengedip-ngedipkan matanya berkali-kali saat pandangan mereka bertemu.

"Kenapa?" tanya Langit.

"Nggak papa. Lepasin, Lang!" pinta Kara.

"Perasaan aku lebih tua beberapa tahun deh dari kamu, kenapa kamu nggak pernah manggil aku kakak?"

Kara menghela napasnya. "Kak Lang, lepasin Kara, oke?"

Langit tersenyum mendengarnya, membuat Kara memundurkan kapalanya bingung. Bukannya dilepas, Langit malah semakin menarik Kara mendekat padanya. Dia benar-benar mengikis jarak diantaranya dan Kara.

"K-kak Lang," ucap Kara gugup

"Kenapa?" tanya Langit santai.

"L-lepasin bisa? Nanti Vanessa turun."

Langit terkekeh mendengar hal itu, dia menjitak pelan kepala Kara kemudian mengelusnya pelan. Langit akhirnya melepas genggamannya pada Kara.

Barulah Kara bisa bernapas lega, jantungnya seperti ingin loncat keluar apalagi tatapan Langit begitu tajam dan menusuk. Kara tak biasa melihatnya.

"Emang kalau Vanessa turun kenapa? Dia nggak akan mikir aneh kok, kecuali kamu," ucap Langit terkekeh. Dia berlalu setelah mengambil air dingin yang ada di kulkas. Laki-laki itu menaiki anak tangga.

Kara memegang jantungnya, bukan, bukan karena jantungnya kambuh atau dadanya sakit, tapi karena Langit. Detakkan jantungnya tak stabil karena pemuda itu.

Kara tak tahu kenapa, yang pasti ini sudah berlangsung selama seminggu. Dia juga sering menghindar jika bertemu Langit dan membuang muka jika berkumpul di ruang tengah.

Namun, Langit selalu saja mendapatkan cara agar bisa berdua dengan Kara. Tak jarang dia membuat Kara kaget dan berakhir dadanya sakit.

Perihal penyakit Kara, Langit tak tahu. Dia tak ingin membuat Langit khawatir, meski itu tak mungkin. Bagi Kara, pemuda itu akan tahu suatu hari nanti.

"Kar, jadi masak apa?" tanya Vanessa membuyarkan isi kepala Kara.

"Ha? Oh... Em... Masak ini... Martabak mie aja nggak ribet soalnya."

"Yaudah. Aku nyuci, ya." Kara mengangguk. Kebetulan mesin cuci di rumah Angel berada di dapur, jadi Kara tak sendiri memasak dan dia tak was-was akan Langit yang tiba-tiba muncul.

"Kar, sama Bintang gimana?" tanya Vanessa.

"Bintang? Udah putus. Ngapain lagi dipertahankan kalau dia aja selingkuh."

"Nggak papa?"

Kara mengangguk. "Nggak papa. Rasa sayang itu langsung hilang waktu Dita ngasih tau semuanya."

"Nggak nangis?"

Kara terkekeh. "Nangis? Untuk apa nangisin orang yang bahkan nggak tau perasaan kita gimana? Orang yang selingkuh itu nggak punya tempat istimewah dihati siapapun. Karena sekali selingkuh, hal itu akan terus diulangi."

"Terus ada yang lagi dekat sama kamu?"

"Hm... Ng-"

"Sekolah yang bener baru pacaran!" tegas Langit yang tiba-tiba muncul.

"Aduh, Lang namanya-"

"Kak Langit, Nessa," protes Langit.

"Hehehe maaf. Aduh kak Lang, ini tuh kita masih mudah ngapain belajar? Lagian udah pinter juga."

"Kalau bisa lebih pinter kenapa nggak? Lagian udah diselingkuhin masih aja pacaran. Aku aduin Tante Angel nih!" ancamnya.

"Apasih! Udah sana! Nggak usah ikut campur urusan anak muda!" protes Kara.

Langit hanya menyunggingkan sudut bibirnya sambil menatap Kara. Tak lama Langit mengacak rambut Vanessa membuat sang empu meringis kesal.

Kara hanya diam melihat hal itu, entah kenapa dia tak suka akan perlakuan Langit pada Vanessa. Langit mendekat ke arah Kara, Kara hanya diam namun jantungnya sudah berdetak tak karuan.

Tapi, yang Kara dapatkan bukanlah hal yang ada dipikirannya. Langit mendekat hanya untuk menyimpan botol minum di tempat pencucian piring lalu berlalu dari sana.

Kara menghela napas, dia tersadar dengan pikiran bodohnya. Apa yang baru saja dia pikirkan tentang Langit. Harunya dia tak memikirkan hal tersebut dan kenapa juga dia harus kesal melihat perlakuan Langit pada Vanessa. Aneh!

Rasa dihati Kara sudah tumbuh, namun dia tak menyadari hal itu. Yang dia tahu itu hanyalah rasa sementar yang dengan cepat akan hilang setelah dia kembali seperti dulu.

Itulah Kara, gadis bodoh yang terlambat mengetahui perasaanya. 








[TO BE CONTINUED] 



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang