30

33 5 0
                                    

Desember 2017

Bulan ini Angel tengah menunggu hari untuk melahirkan anak keduanya. Kara masih belum ke rumahnya, sebab dia masih harus turun ke sekolah untuk menyelesaikan absen sampai tanggal yang ditentukan.

Ujian semester satu sudah usai dilaksanakan, tinggal menunggu hari dimana hasilnya keluar. Ibu Kara tak ada di rumah, dia ada di rumah Angel. Takut-takut jika Angel ingin melahirkan secara mendadakan.

Tiga bulan Kara lalui tanpa bertemu dengan Langit. Dia pikir rasa sesak yang ada didadanya sudah hilang. Namun, ternyata masih saja ada, Kara masih belum sadar mengenai rasa sakit itu.

Meski Langit sering tiba-tiba terlintas dikepalanya, Kara hanya menganggap hal itu biasa saja. Ya, hanya sekedar rasa rindu seorang adik pada kakaknya.

Sudah tiga bulan ini juga Kara dekat dengan seseorang. Namun, tetap saja rasanya berbeda, Kara merasa hambar dan biasa saja pada laki-laki itu.

Dia tak terlalu memperdulikannya, Kara hanya menjaga perasaannya saja agar tak tersinggung jika berada di dekatnya. Ya, Kara tak memiliki rasa dengannya. Dekat dengan pemuda itu hanya ingin menghilang hal yang selama ini dia rasakan. Selebihnya tak ada yang istimewa.

"Kar, kapan ke rumah Kak Angel?" tanya Vanessa yang menghampirinya di kantin.

"Libur mungkin, soalnya kan bunda masih ada di sana," balas Kara.

"Emang kapan melahirkannya?"

"Ya, nggak tau. Katanya, sih tanggal 20 ke atas, tapi nggak pasti."

"Oh, sepi lagi dong. Terus tahun baru di sana?" tanya Vanessa.

"Iya. Kan jagain Kak Angel."

"Nggak seru," keluh Vanessa.

"Nggak seru darimana? Biasanya juga aku tahun baru di sana."

"Iya, sih."

Kara hanya menggelengkan kepalanya, tak mengerti lagi dengan jalan pikiran sepupunya itu.

"Balik, yuk," ajak Kara.

"Nggak sama dia?" tanya Vanessa.

"Nggak males. Ayo!" Vanessa mengangguk, mereka kemudian bangkit dan berjalan menuju parkiran.

Kantin dan parkiran cukup jauh jaraknya, mereka harus harus melewati lapangan basket, kelas, dan koridor serta ruang guru. Sekolah gadis itu memang cukup luas dan kelasnya banyak, lapangannya saja ada 3.

Keduanya sampai di parkiran, namun laki-laki yang sedang dekat dengan Kara ada di sana. Dia melempar senyum pada gadis itu.

"Kara, pulang sama aku, yuk, kita ke pantai," ajaknya.

"Nggak, deh. Aku mau langsung pulang sama Vanessa aja," tolak Kara.

"Yahh, yaudah deh nggak papa, lain kali masih bisa, kan?" tanyanya. Kara mengangguk sembari tersenyum kecil.

"Duluan, ya," ucap Vanessa. Laki-laki itu mengangguk sambil melambaikan tangannya.

Sepanjang perjalanan Kara tak cerewet seperti biasanya. Dia hanya diam sambil melihat jalan yang disinari matahari dengan sangat teriknya.

Vanessa singgah di salah satu warung makan di sana, membuat Kara bingung dan menatapnya.

"Mau makan bakso, laper," ucap Vanessa. Kara pun turun dengan wajah lesunya.

Dia duduk di kursi dan menunggu Vanessa datang setelah memesan bakso. Gadis itu sudah duduk di depan Kara, dia menatap Kara dengan nanar aneh.

"Cerita, kamu kenapa?" tanya Vanessa.

"Nggak papa," balas Kara bohong.

"Bohongnya nggak pinter, ah. Cerita buruan, kenapa?" tanya Vanessa lagi.

Kara menghela napasnya. "Mau jaga jarak sama Libra aja."

"Lah? Kenapa? Berantem? Atau ada hal lainnya?" tanya Vanessa binggung.

"Nggak, tapi liat deh udah tiga bulan dekat aku biasa aja. Lama-lama kasihan sama dia kalau misalkan lebih lama," jelas Kara.

"Ada orang yang kamu suka?" tanya Vanessa. Kara menggelengkan kepalanya. "Terus?"

"Nggaktau juga. Kaya males aja gitu pacarannya, gimana, ya nggak mau aja dulu," ucap Kara.

"Aneh!"

"Tuh, kan. Ah, kesel. Kenapa, sih?!" tanya Kara dengan kesalnya. Tak lama dua mangkok bakso diantar oleh pemilik warung.

"Gini, deh, coba tanyain sama diri kamu kenapa kamu bisa males dan nggak suka sama siapapun? Ini tuh aneh, Kar. Semenjak kita selesai PKL kamu sama sekali nggak ngerespon cowok yang dekat sama kamu, tapi kamu malah selalu bahas Langit," jelas Vanessa.

"Tunggu... Apa jangan-jangan, kamu suka sama Langit?" tanya Vanessa.

"Jangan ngaco! Mana ada suka, kalau suka aku udah pasti sadar."

"Iya, juga, ya. Terus kenapa dong?" tanya Vanessa.

"Aku nggak tau, Vanessa! Kalau aku tau ngapain aku sebingung ini coba?" tanya balik Kara.

"Udah deh tanyain sama diri kamu aja. Pasti ada hal yang nggak kamu sadari terjadi sama diri kamu. Nggak mungkin tiba-tiba kamu begini," ucap Vanessa memberi saran.

Kara diam, dia memikirkan ucapan Vanessa. Benar juga, dia harus memikirkan kenapa dirinya seperti itu. Ini seperti bukan dia.

Tapi, ucapan Vanessa mengenai Langit benar. Kara selalu membahas laki-laki itu. Mengulang segala hal yang dia maksudkan untuk si laki-laki yang berstatus sebagai keluarganya.

Sampai kapan gadis ini tak sadar tentang rasanya?

Sampai kapan dia akan membiarkan rasa itu semakin besar dan menggebu di dalam dadanya?

Dia tidak bisa selalu begini, jalannya bukan begini. Langit bukan takdirnya, dia hanya kupu-kupu yang singgah dihati Kara. Tapi, Kara harus melepasnya secepat mungkin.

"Makan, mau pulang nggak?" tanya Vanessa.

"Iya-iya, buset. Ini ditraktirkan?" tanya Kara.

"Iya. Soalnya kamu lagi aneh, jadi aku traktir."

"Kalau gitu aku aneh tiap hari aja biar kamu traktir," goda Kara. Vanessa menatapnya tajam, ingin sekali memukul gadis itu dengan keras, namun dia sadar sedang berada di tempat umum.

Kara hanya terkekeh melihat sepupunya dengan wajah kesal.

Kara memang tertawa di luar, namun percayalah hatinya bergejolak tak tenang. Sesak itu kembali menyeruak di dalam sana. Kara sudah biasa dengan hal ini, tapi tetep saja dia tak bisa selalu seperti ini. Cukup dengan penyakit jantung, jangan ada lagi.

Kasihan Kara, dia terlalu fokus pada hal tak penting sampai lupa kalau perasaannya juga harus dia kendalikan.

Hal yang ditakuti adalah perasaan yang tak bisa dia kendalikan ketika melihat Langit suatu saat nanti. Entah tahun depan, dua tahun lagi atau tiga tahun lagi Kara akan sadar tentang rasanya. Namun, bisa saja rasa itu semakin membara, Kara mungkin akan menjadi sangat egois hanya untuk memiliki Langit dihidupnya. Atau mungkin melanggar adat dari keluarganya sendiri. Tak ada yang tahu bagaimana Kara menghadapai perasaannya. 



[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang