20

74 19 62
                                    

Suara kicaun burung terdengar hari ini, sinar matahari mulai masuk di cela kamar jendela milik Kara. Gadis itu mengerjap tatkala kelopak matanya terkena sinar matahari.

Dia membuka matanya perlahan dan melihat jam dinding, sudah pukul 6 pagi. Dia harus bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Kara pun bangun, dia berjalan ke kamar mandi. Di dapur sudah ada sang Bunda yang tengah memasak dan menyiapkan sarapan untuk mereka.

Kara melihat ke jendela belakang, di sana rumah Vanessa. Dia sudah melihat gadis itu tengah menyalakan motor miliknya.

"Van, mandi!" teriak Vanessa.

"Bentar. Kamu itu mandi sana!" balas Vanessa.

"Ini mau mandi, dengar aja air jatuh nanti." Vanessa tak menanggapinya, sang Bunda yang melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.

Kara akhirnya masuk ke dalam kamar mandi, benar saja air jatuh dengan deras ke bawah.

"BUNDA, KARA BUANG-BUANG AIR!" teriak Vanessa lantang.

"Anjir, Vanessaaaa!" erang Kara kesal. "NGGAK, BUNDA!"

"Mandi cepat udah mau setengah 7!" ucap sang Bunda.

Kara akhirnya mandi dan menyelesaikan dengan cepat dari biasanya. Gadis itu sedikit kesal dengan Vanessa. Kara akhirnya keluar, makanan di atas meja makan sudah tertata rapi. Dengan cepat gadis itu masuk ke dalam kamar dan memakai seragamnya.

Hari ini dia dan Vanessa akan berangkat bersama, sebab sudah tak ada Bintang yang akan selalu menjemputnya lagi.

Kara selesai, dia sudah siap. Gadis itu keluar dan berjalan menuju meja makan, Kara sarapan meski tak banyak. Bekalnya juga sudah siap dan masuk ke dalam tasnya.

"Bunda, Kara udah selesai," ucapnya.

"Bekalnya jangan lupa dimakan!"

"Siap, Nyonya!"

Setelah bersalaman, Kara akhirnya keluar. Dia turun ke bawah. Di sana, sudah ada sang Ayah dan Vanessa yang tengah bercengkraman.

"Yaudah, Ayah kita jalan dulu," ucap Vanessa.

"Hati-hati! Jangan ngebut!"

"Siap. Jalan, ya, Yah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Keduanya melaju menuju sekolah, anak-anak SD menjadi pemandangan yang indah di kampung mereka. Setiap pagi, Kara dan Vanessa selalu melewati hamparan lahan yang selalu dijadikan sebagai tempat menanam padi dikala musimnya tiba.

Sinar matahari pagi menambah kesan indah di sana, suasana Kota Makassar memang cantik, namun Vanessa dan Kara lebih suka berada di perkampungan.

Bagi mereka, suasana perkampungan jauh lebih sejuk dan menenangkan. Hal yang cocok dijadikan sebagai healing dikala pikiran sedang kacau.

Tanpa mereka sadari, motor yang mereka tumpangi sudah berhenti di parkiran sekolah. Vanessa dan Kara berpisah, karena kelas mereka jaraknya cukup jauh.

"Pulang tungguin!" tegas Vanessa.

"Iya, bawel banget!" cetus Kara.

Vanessa tak menanggapinya, dia akhirnya berlalu menuju kelasnya, pun dengan Kara.

Kelas Kara tak begitu jauh dari parkiran, berbeda dengan Vanessa yang harus naik ke lantai atas lagi dan melewati beberapa lorong.

Kara bahkan sudah sampai di kelasnya, suasana kelas itu cukup ramai. Semua berkumpul dan menceritakan bagaimana magang mereka selama empat bulan ini.

Kara menghela napas, dia masih enggan membuka suara atau menyapa yang lainnya. Sampai Dita datang dan mengajaknya ke kantin

"Kar, gimana sama Bintang?" tanya Dita.

"Selesai."

"Putus?" Kara mengangguk. "Pantes dia jemput Zahra.

"Udahlah. Dia mau pacaran atau apa terserah, aku nggak peduli."

"Mau aku kenalin sama cowok?"

"Nggak, Dit, makasih banyak. Terakhir kamu kenalin malah udah ada pacarnya."

Dita hanya terkekeh, benar saja selama ini tak ada laki-laki yang benar yang dia kenalkan pada Kara. Ada saja hal yang membuat Kara kaget setelah mengenal beberapa lama. Entah memiliki pacar, selingkuhan atau hal lainnya yang tak Kara suka. Sungguh menyebalkan.

Kara dan Dita hanya memakan gorengan dan tak begitu banyak, sebab Kara memang sudah sarapan dan lagi dia membawa bekal. Kara tak ingin mengecewakan sang Bunda yang sudah bangun pagi dan membuatkan bekal untuknya.

"Upacara?" tanya Kara.

"Iya. Bendera nggak ada di tiangnya tadi aku lihat."

Kara menghela napas, namun detik berikutnya dia tertegun. "DITA, AYO KE KANTOR."

"Eh? Kenapa?"

"Lupa bawa topi. Ayo! Sebentar lagi masuk!" Dita yang masih makan terpaksa harus membawa gorengan dan esnya naik ke atas.

Keduanya bergegas berjalan menuju kantor, Kara memang pelupa dan ceroboh. Bisa-bisanya dia lupa membawa salah satu barang pusaka setiap senin.

"Pak, beli topi," ucapnya.

"Ini, Nak."

"Berapa, Pak?"

"20 ribu, Nak." Kara mengeluarkan uang 50 ribu dari sakunya.

"Nggak ada kembalian, uang kecil ada?"

"Nggak ada, Pak."

"Yasudah nanti saja. Sana baris."

"Baik, Pak makasih banyak."

Keduanya akhirnya pergi dan masuk ke dalam barisan. Dita masih setia dengan es dan satu gorengan ditangannya. Membuat Kara menggelengkan kepala melihat temannya itu.

"Habisin, anjir. Udah mau mulai ini!" tegas Kara.

"Sabar! Siapa suruh!" Kara hanya bisa menghela napas. Untung saja keduanya memiliki tinggi badan yang lumayan, jadi mereka baris paling belakang.

Upacara akhirnya berlangsung, namun Kara tiba-tiba saja terdiam. Kepalanya kembali berfokus pada Langit.

Dia menggelengkan kepalanya dan coba fokus pada pembina di depan, tapi sayang sepertinya isi kepalanya sekarang tak bisa diajak bernegosiasi.

Ingin rasanya Kara berteriak, namun itu hanya akan membuatnya malu dan menjadi fokus semuanya di lapangan. Kara memejamkan matanya dan menghela napas, mencoba menetralisirkan rasa sesak yang mulai menyeruak di dalam dadanya sekarang.

"Ayo, Kara pasti bisa!" batinnya tegas.

Sekali lagi Kara menghela napas, setidaknya sekarang dia cukup baik dari tadi.

Kara benar-benar polos, rasa sesak dan fokusnya pada Langit masih saja dia tak paham. Penderitaan Kara akan hal itu akan membuatnya merasakan hal yang sama. Rasa sesak itu akan terus muncul dikala Langit tiba-tiba hadir di dalam kepalanya.

Sebab, Kara sedang merindu tanpa dia sadari. Rindu tak bertuan yang dia rasakan akan tetap ada hadir meski dia tak mau.

Sebuah rasa yang tak tahu kapan akan berakhir dan bagaimana mengakhirinya. 





[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang