30

41 6 45
                                    

Agustus 2017

Empat bulan lagi 2017 akan berakhir, namun Kara masih belum bisa menyadari perasaannya pada Langit. Hampir satu bulan dia menghabiskan waktu bersama laki-laki itu itu di rumah Angel, tapi dia sama sekali tak pernah sadar akan dirinya yang menyukai laki-laki itu. 

Banyak yang mendekatinya, namun dia sama sekali tak memiliki rasa dengan semuanya. Entah rasa sakit apa yang Kara tunggu, entah bagaimana caranya dia akan lepas dengan hal itu. Kara tak mempersiapkan hal itu. 

"Kar, jalan yuk," ajak Vanessa. 

"Ke mana?" tanya Kara. 

"Alun-alun aja gimana? Lama nggak ke sana, kan?"

"Yaudah, yuk."

Vanessa pulang mengambil motor, sedangkan Kara masuk mengambil dompetnya. Tak lama, Vanessa kembali dan Kara sudah menunggu di tangga. 

Mereka akhirnya pergi ke tempat tujuan mereka. Sekalian melepas penat sebelum masuk sekolah dua hari lagi. 

Jarak alun-alun dari rumahnya tak begitu jauh, sekitar 10 menit dan mereka sudah sampai di sana. Sore hari, alun-alun di sana cukup ramai. Mungkin karena masih libur, jadi banyak remaja yang pergi dengan pacarnya atau keluarga yang juga datang. 

"Beli siomay itu, ayo," ajak Vanessa. 

"Bayarin, ya," ucap Vanessa. 

"Esnya aja, oke? Deal? Deal!"

"Setan!" pekik Kara. Vanessa hanya terkekeh kemudian menariknya mendekat ke tukang siomay di depan sana. Benar saja, Vanessa hanya mentraktir es untuknya.

Selesai membeli makanan, kedua gadis cantik itu duduk di kursi yang memang disediakan untuk wisatawan di sana. Semakin sore semakin ramai suasana di alun-alun. 

"Banyak, ya, manusianya," ucap Kara. 

"Iyalah. kamu aja yang nggak pernah keluar rumah."

"Ini keluar," balasnya.

"Iya, soalnya aku ajak."

"Ya, sudah, sih yang penting keluar," balas Kara sewot. 

Vanessa hanya menyunggingkan bibirnya kesal mendengar hal itu. 

"Eh, Kar, gimana?"

"Gimana apanya?" tanya Kara bingung. 

"Rifan, kamu dekat sama dia, kan?" 

"Biasa aja. Dia doang, sih yang anggap deket, aku nggak."

"Awas loh dia pergi kamunya ngejar."

"Nggak akan, sih. Tuh Rafa juga sama kaya Rifan, kan? Tapi aku biasa aja."

"Bener, sih. Jangan-jangan kamu masih belum bisa move on lagi dari Bintang!" cerca Vanessa. 

"Nggak! Orang nggak mau aja pacaran!" tegasnya. 

Vanessa memicingkan matanya dan memundurkan kepalanya. Seperti bukan Kara yang dia kenal, biasanya dia akan selalu curhat dengan Vanessa jika ada hal yang dia suka. Tapi, sudah hampir beberapa bulan ini, Vanessa tak pernah mendengarnya. 

Vanessa jadi takut kalau Kara belum bisa melupakan Bintang sepenuhnya. Padahal bukan Bintang yang ada di hatinya sekarang, melainkan Langit, hanya saja Kara belum sadar. 

"Yaudah nggak usah dulu, udah kelas 3 mending belajar," tutur Vanessa. 

"Tuh, tau! Mending kamu juga! Nggak usah mikirin cowok mulu!" tegas Kara. 

"Mana ada!"

"Mana ada dari Hongkong! Orang kamu masih dekat sama anak magang di tempat kamu, kan?"

Vanessa terkekeh mendengar hal itu. Dia memang masih dekat dengan salah satu anak magang yang dulu bersamanya saat di kantor. 

Kara yang melihatnya hanya bisa memasang wajah kuelas. Semasa magang, Vanessa selalu menceritakan banyak hal tentang orang itu. Sampai Kara bosan mendengarkannya. Untung Langit datang dan membuat Vanessa tak lagi pernah berbicara tentang hal itu. 

"Van, aku mau nanya sama kamu," ucap Kara. 

"Apa?" tanya Vanessa masih memakan siomaynya. 

Kara diam sejenak, bingung harus mulai darimana dia membicarakan perasaan yang selalu sesak tanpa dia tahu itu. 

"Kamu tau Nana, kan? Teman duduk aku," ujar memulai percakapan serius.

"Tau, kenapa?"

"Dia nanya gini, kalau selalu sesak tanpa tau sebab itu kenapa? Padahal dia udah periksa ke dokter tapi nggak kenapa-napa," jelas Kara 

Vanessa menghentikan aktivitas makanannya. "Itu bukan penyakit mungkin aja ada hal yang dia nggaktau tentang rasa atau perasaannya yang tumbuh untuk seseorang, tapi dia nggak tau untuk siapa."

"Kok bisa ke perasaan?" tanya Kara. 

Vanessa menghela napas. "Jangan bodoh banget, Kar. Kalau dokter bilang nggak papa, masa kamu maksa untuk ada penyakit? Kan nggak bisa ngediagnosa diri sendiri. Udah jelas ini perasaan."

Kara terdiam mendengar hal itu. Perasaan kata Vanessa, tapi dia sendiri tak tahu perasaan untuk siapa. 

"Oke, deh nanti aku kasih tau dia," ucap Kara. 

Vanessa mengangguk dan kembali memakan makanannya. 

"Oh, iya, Langit mau nikah tau," ucap Kara membuat Vanessa terkejut. 

"Serius? Kapan? Sama siapa? Dia ada pacar?"

"Iya. Tahun depan katanya, nggak ada tapi dia ada yang dia suka. Nggak tau, sih siapa soalnya bukan Mamanya."

"Yee! Tapi, alhamdulillah, sih kalau dia udah mau nikah. Kasihan udah mapan gitu nggak ada yang urus."

"Bener. Tapi umurnya juga nggak beda jauh sama kita cuman beda beberapa tahun aja," balas Kara. 

"Jadi, kamu kapan?" tanya Vanessa. 

"Apanya?"

"Nikahlah. Langit aja udah rencanain masa kamu nggak."

"Eh, kambing, dia ada calonnya lah aku? Masih sekolah, nggak ada calon lagi. Mending kamu duluan aja, gimana?"

"Iya, besok tunggu aja," balas Vanessa. 

Kara hanya memasang wajah kesalnya mendengar hal itu. Merasa jijik dengan jawaban anak TKJ di hadapannya ini. 

Sudah hampir maghrib, mereka berdua memutuskan untuk pulang sebelum adzan berbunyi. Selama diperjalanan, banyak anak-anak kecil yang bermain di luar rumah. Sinar matahari yang kemerahan mulai turun ke peraduan. Suasana Desa memang bagus melihat matahari tenggelam, apalagi sinarnya terpantul di laut lepas. 

Vanessa dan Kara sampai di rumah. Di sana tante dan orang tua mereka tengah duduk di selasar rumah Kara. Sudah jadi kebiasaan warga di desanya, jika sore maka akan berkumpul di selesar bawah rumah atau di teras rumah mereka. Ya, sekedar hanya bercengkrama satu sama lain. 

Rasanya tak mungkin Kara bisa mengetahui perasaannya dengan cepat untuk Langit. Tak tahu butuh berapa lama lagi agar dia bisa merasakan bahwa sesaknya untuk laki-laki jangkun itu. 

Tak apa juga, setidaknya Kara harus mencari seseorang yang bisa dia jadikan pelarian dikala sadar akan rasanya nanti. Memang akan menyakitkan bagi orang itu, tapi hanya bertahan sebentar. Setelah Kara melupakan perasaannya pada Langit, dia akan kembali seperti semula. 

Kasihan juga jika Kara harus terjebak dalam rasa yang tak semestinya dia rasakan. Karena benang merah yang ada padanya dan Langit, tak bisa diputuskan sebagai pasangan yang kekal. 

Sehebat apapun Tuhan mempertemukan mereka, takdir punya caranya untuk memisahkan yang tak semestinya bersatu. Realita tak seindah harapan manusia. 




[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang