Hari ini, Rey selesai menjalankan tugasnya sebagai anak magang di perusahaan milik negara itu. Dia pulang lebih awal dari biasanya. Tapi, Rey menunggu Kara di parkiran motor. Dia berencana untuk menghabiskan waktu dengan Kara sebelum besok dia sudah tak masuk ke kantor lagi.
Jadwal magang Kara juga tinggal seminggu lagi, pekerjaannya semakin sedikit bahkan tak ada sama sekali. Dia kadang hanya datang untuk duduk di ruangannya atau melihat kantor dari balik jendela.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, matahari bersinar cukup panas hari ini di Kota Makassar. Karena, merasa hawa di luar begitu panas, Rey masuk ke dalam. Dia menunggu Kara di lobby perusahaan itu.
Sembari menghabiskan waktu menunggu gadis itu, Rey bermain game online diponselnya. Sesekali dia melirik ke sekitarnya untuk memastikan tak ada Kara yang lewat sampai gamenya selesai dia mainkan.
Satu jam sudah berlalu, Rey menoleh ke luar. Sinar matahari sudah tak begitu menyengat, dia bangkit bersamaan dengan itu Kara muncul.
Senyumnya tersimpul manis ke arah Kara. "Kara," panggilnya. Yang dipanggil menoleh, senyumnya terpatri di sana.
"Rey, kirain udah balik."
"Belum. Hm... Kamu mau balik?"
"Iya, mau balik. Kenapa?" tanya Kara balik.
"Bareng sama aku mau? Tapi kita jalan-jalan dulu, ya, sekalin buat perpisahan. Besok aku udah nggak masuk magang."
"Oh, iya, hari ini kamu selesai, ya. Wah selamat Rey," ucapnya mengulurkan tangan pada Rey sebagai ucapan selamat.
Rey menyambut uluran itu sambil tersenyum. "Makasih, ya. Jadi, gimana? Mau nggak?"
"Ayo. Tapi, baliknya jam 4, ya. Soalnya Vanessa nggak bawa kunci."
"Oke. Ayo!" keduanya akhirnya keluar dari sana. Rey mengajak Kara menuju pantai Losari. Semilir angin di pantai itu menerbangkan rambut Kara. Suara deburan ombak seperti obat lelah baginya.
Rey yang melihat hal itu, hanya bisa tersenyum sembari terkekeh pelan. Rasanya pada Kara tentu saja masih ada, namun sebisa mungkin dia tahan untuk tak menunjukkanya.
Kara memejamkan matanya, merasakan hembusan angin yang menabrak wajahnya dengan halus. Kara merentangkan tangannya, memberi cela agar angin pantai bisa menerpa dirinya juga.
Lagi-lagi Rey tersenyum, dia bahagia hanya melihat gadis yang dia suka tersenyum dengan apa yang dia lakukan. Rey merapikan anak rambut Kara yang berantakan. Membuat sang empu menoleh ke arahnya dengan wajah kebingungan.
"Sorry tadi cuman mau rapiin rambut kamu," ucapnya.
Kara hanya melempar senyum padanya lalu mengangguk. Kara kembali menatap hamparan laut biru di hadapannya. Dia menarik napas panjang, menghirup udara masuk ke dalam dirinya.
Aroma air laut membuat Kara bisa melupakan segala rasa sesal dan sakit hatinya. Dia tak melupakan bagaimana Bintang menyakitinya, tapi rasa untuk pemuda itu sudah tak lagi ada. Sudah mati dan hilang.
Kara hanya menyesal mengenalnya dan menjadikannya istimewah. Jika tahu begini mungkin Kara tak akan melakukan hal itu. Sungguh.
"Kenapa kamu suka pantai?" tanya Rey.
"Hm... Nggak ada alasan yang pasti, sih. Tapi, aroma pantai itu healing buat aku yang punya banyak cerita yang nggak bisa aku sampaikan," jelas Kara sembari tersenyum manis.
Rey terdiam, dia tersenyum tipis. Rey ternyata belum mengenal Kara lebih dalam, dan Kara bahkan belum sepenuhnya terbuka pada Rey.
"Kenapa nggak cerita?" tanya Rey berusaha membuatnya bersuara.
Kara diam sejenak, dia memainkan bibirnya. "Hm... Nggak semua tentang aku harus kamu tau, Rey. Dan nggak semua masalah harus diceritain, bukan? Ada kalanya lebih baik diam dan membiarkan masalah itu tenggelam lebih dalam didiri kita," jelas Kara.
Rey terdiam, gadis yang ia suka ternyata memiliki perasaan yang rapuh dan butuh sandaran. Tapi, masih terlihat tegar meski sebenarnya di dalam sana dia sungguh rapuh dan butuh teman berbagi.
Tak semua hal di dunia ini harus dibagi, tak semua hal di dunia ini harus diberitahu. Kadang kala manusia harus menyimpan semuanya sendiri meski berisiko untuknya.
Kadang juga beberapa manusia memilih bungkam bukan karena tak ingin, tapi karena tak ada orang yang mau menanggapi cerita dan keluhannya. Kadang hanya ada kata sabar yang mungkin saja tak berarti bagi sang pemilik masalah.
Seperti Kara, dia memilih untuk tak menceritakan semuanya. Baik pada Vanessa, Angel, Rey, Bintang ataupun Langit. Dia lebih memilih diam dan menenggelamkan semuanya secara perlahan.
"Balik, yuk!" ajak Kara. Rey mengangguk. "Eh tunggu!" ucap Kara ketila Rey ingin beranjak dari sana. Kara tiba-tiba saja memeluk Rey, membuat sang empu terkejut.
"Udah, yuk!" ajak Kara. Niatnya untuk berbalik batal. Rey menarik Kara, membuat gadis itu menatap aneh. "Kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Kok tiba-tiba meluk aku?" tanya Rey bingung.
Kara hanya tersenyum. "Nggak papa. Yuk, balik." Kara meninggalkannya di sana dengan perasaan tak paham dan rasa kebingungan dalam dirinya.
Rey menggelengkan kepalanya, mengejar Kara yang sudah terlampau jauh di depan sana.
Pelukan yang Kara berikan hanya pelukan perpisahan untuk seorang sahabat. Tak ada hal lebih, Kara masih tak ingin berhubungan dengan siapapun, dia masih ingin menata hatinya yang pernah disakiti.
Mungkin Rey akan menganggap pelukan Kara sebuah kode untuknya. Namun, nyatanya tidak, hanya berterima kasih padanya atas pertemanan singkat dengan cerita panjang selama 4 bulan mereka kenal.
Karena sejatinya, Kara masih tak sadar perihal rasa dan perasaanya pada Langit.
Hei...
Gimana? Kabar kalian baik?
Hm... Kalian suka part ini? Kalo suka vote dan comment ya!!!
Oh, iya, 2017 di kisah Langit dan Kara sudah hampir selesai nih. Setelah magang, mereka hanya bertemu sesekali dalam sebulan. Akan ada orang baru yang Kara temui tanpa rasa di dalam dirinya.
Kalian penasaran? Ikutin terus ya!!!
See u next time di 'Rasa'
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa [Nakamoto Yuta] ✔
General Fiction- BASED ON TRUE STORY ❝Semesta untuk sepihak hati❞ "Jika aku tak bisa memilikimu, maka semua tentangmu akan abadi dalam karyaku" -Kara "Maaf jika sikapku membuatmu berpikir aneh" -Langit ©pinterest #2gera 300921 #18azaleaspublisher 300921 #16arabell...