38

43 6 86
                                    

Agustus 2022

Bulan berlalu demi bulan, tak ada yang istimewa di tahun ini. Semua sama saja bagi Kara, tulisan demi tulisan selesai dia kerjakan, dia mendapatkan apa yang dia mau meskipun belum sepenuhnya, setidaknya ia sudah berhasil.

Sudah enam bulan lebih dia tak mengunjungi Angel dan ketiga keponakannya, dan itu artinya sudah selama ini Kara tak bertemu dengan Langit. Jika kalian pikir dia sudah melupakan pemuda itu, jawabannya salah! Kara tak ke sana bukan karena Angela tak memanggilnya, dia hanya ingin fokus pada apa yang saat ini sedang ia kejar.

Bertemu dengan Langit bisa dilakukan nanti, saat dia sudah selesai dengan tujuannya. Mungkin saat itu, ia juga akan memberitahu Langit tentang perasaannya. Sebab bagi Kara, dia sudah cukup berani menampakkan dirinya ketika sudah selesai dengan tujuannya.

Setiap hari tak ada waktu untuk berleha-leha, dia lebih fokus dengan hal yang ia kerjakan. Kara bahkan tak melihat ke dunia luar, dunianya sekarang sudah cukup Indah. Ia tak mengizinkan siapapun untuk masuk ke dalamnya dan menjamah dunianya itu.

"Kara." panggilan itu membuat atensinya teralihkan. Ia menoleh dan mendapati Vanessa tengah menatapnya sambil tersenyum watados.

Kara mengangkat kedua alisnya ke atas. "Kenapa?"

"Nggak papa. Mikirin apa?" tanya Vanessa.

"Mikirin kapan ketemu sama bias aku."

Vanessa menghela napas gusar, salahnya membawa Kara masuk ke dunia baru beberapa tahun lalu. Namun, Vanessa cukup bersyukur bahwa saudaranya itu tidak masuk ke dalam pergaulan bebas.

"Halu terus sampai mampus," celetuk Vanessa.

Kara hanya terkekeh mendengarnya. "Btw, aku udah mulai koleksi album."

"Album? Siapa?" tanya Vanessa.

"EXO, tapi aku juga lagi suka sama WayV."

"Ternyata ada yang mengalihkan atensi seorang Kara selain EXO dan Xiumin."

"Diam! Leader WayV mirip sama Suho."

"Ya, emang, baru sadar?"

"Nggak, sih." lagi-lagi Vanessa menghela napas mendengar hal tersebut. "Van, kayanya aku pernah deh liat muka leader WayV, kayanya 2020, deh."

"Terus?" tanya Vanessa tak paham.

"Ya, terus aku pernah ngatain dia jelek, karena dimiripin Suho." Detik itu juga tawa Vanessa pecah mendengar ucapan Kara. Kara hanya diam menatapnya dengan nanar bingung. "Kok ketawa, sih?"

Sebisa mungkin Vanessa menahan gelak tawanya. "Kamu tau karma? Nah! Itu karma." ia kembali tertawa setelah mengatakan hal tersebut. Sedangkan Kara hanya memasang wajah masam, menyesal rasanya dia sudah menceritakan hal tersebut pada Vanessa.

Vanessa berhenti, ia sudah lelah menertawakan Kara dengan segala kebodohannya.

"Udah ketawanya?"

"Udah," jawab Vanessa santai.

"Sekali lagi kamu ketawa, kututupin pintu!" ancam Kara kesal.

Vanessa kembali terkekeh. "Maaf, habisnya lucu."

"Lucu-lucu, kepalamu lucu!" celetuknya kesal.

Vanessa hanya terkekeh menanggapinya, dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mereka terdiam, Vanessa hanya memperhatikan Kara yang terus fokus sambil mengetik di laptopnya.

Tak ada suara diantara mereka, hanya ada suara musik dari grup kesukaan Kara dan suara musik diponsel Vanessa. Mereka fokus dengan aktivitas masing-masing.

Cukup lama seperti itu, Vanessa kembali bangkit dan mengalihkan atensi Kara. "Mau ke mana?"

"Pulanglah, ke mana lagi?"

"Tumben."

"Kamu lagi sibuk sama cerita kamu, jadi aku mau pulang tidur."

"Nggak kerja?"

"Masuk malam."

"Oh, yaudah, sana," usir Kara dengan nada bercanda. Vanessa tak menanggapinya dan memilih berlalu turun dari sana.

Kara kembali fokus ke depan laptop, suasana yang cukup sejuk karena langsung berhadapan dengan laut, serta sinar matahari yang tak begitu panas mampu membuat Kara seperti merasakan healing yang sudah jarang dia lakukan.

Namun, detik berikutnya ia tertegun. Pikirannya kembali fokus pada Langit dan segala tingkah konyolnya. Kedua sudut bibirnya tiba-tiba saja tertarik ke atas, membentuk senyum manis diwajah gadis berdarah Bugis itu.

Dia menggelengkan kepalanya. "Ah, mikir apa, sih, Kar? Stop mikir yang nggak jelas!"

Ia kembali fokus, mencoba melupakan segalanya dan menyelesaikan bab terakhir dari cerita kelima yang ia tulis.

 Kara menemukan hal yang dia suka, menulis sepanjang hari dan membayangkan segala adegan di setiap tulisannya mampu membuat Kara tersenyum. Meski banyak pikiran gadis itu tetap terlihat bahagia. Ia tak punya waktu memikirkan hal lain, selain Langit yang sering tiba-tiba muncul dan pekerjaan yang kadang menghantui pikirannya. Namun, Kara tak terlalu peduli, ia yakin akan mendapatkan pekerjaan yang layak jika sudah waktunya.

Kara hanya ingin melupakan Langit, tak ingin bayangan pemuda itu muncul di kepalanya. Sudah cukup kisah yang hampir lima tahun ini, Kara sudah tak sanggup lagi.

Langit bukan satu-satunya cara dia untuk berpikir, bukan pula satu-satunya alasan dia bisa sendiri hingga sekarang.

Kara harus bisa melupakan setiap hal terjadi antara dirinya dan juga Langit. Sebab semuanya akan semakin kacau, hatinya hanya akan menggebu-gebu dan kemudian patah Sepatah-patahnya suatu hari nanti.

Kara menghela napas gusar, menutup laptopnya dan masuk ke dalam kamar. Ia cukup lelah dengan hari ini, gadis itu melirik jam di dinding kamarnya, sudah pukul dua siang ternyata.

Ia membaringkan tubuhnya, tak berniat tidur, namun rasa kantuk itu menyerangnya secara tiba-tiba dan berakhir ia kembali memejamkan matanya.

Kara terlelap, membawa bayangan Langit masuk ke dalam mimpinya yang indah. Setidaknya dengan begitu dia bisa sedikit mengurangi rasa rindu pada si pemuda jangkung itu.



[TO BE CONTINUED] 

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang