40

87 10 99
                                    

Oktober 2022

Tak ada yang istimewa setelah kematian keponakan Kara, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat dari kebiasaannya. Dia yang tadinya suka tertawa berubah menjadi pendiam, segala kenangan terputar diotaknya, segala hal yang ia lakukan dengan keponakan dia ingat kembali.

Kara rasa, baru saja dia bertemu dengan anak itu, namun Tuhan sudah mengambilnya kembali. Bukan Kara tak ikhlas, hanya saja terlalu cepat baginya untuk semua ini.

Segala ide dan bahan untuk dia melanjutkan tulisannya bahkan tak terurus seperti sebelumnya. Dia jadi lebih malas untuk berbuat hal-hal yang biasa ia lakukan. Semestanya seakan berhenti tepat ketika sang keponakan tercinta pergi.

"Bunda," panggil Kara.

"Iya, nak, kenapa?"

"Nggak papa."

Sang bunda mendekatinya, ia paham kenapa anaknya menjadi seperti itu. "Masih inget?" Kara mengangguk, mencoba untuk tak menitihkan air matanya. "Jangan diinget, nanti dia nggak tenang di sana. Ikhlasin aja, nanti diganti sama yang lebih baik, kok." ia mengangguk pelan mendengar hal tersebut.

Hari sudah sore, Kara memutuskan untuk duduk di teras rumah sewaanya seperti biasa. Hitung-hitung sedikit melupakan kejadian yang selalu berputar diotaknya.

Cukup lama sendiri, sang bunda menghampirinya. Ia tak mengenal Kara yang dulu setelah kematian sang cucuk.

"Bunda, duduk sini di depan aku," pintanya. Sang ibunda kemudian duduk di depannya, Kara mulai menyisiri rambut ibunya dengan telaten.

"Bunda, coba kak Angel ngadain pengajian tiap malam jumat," ucapnya.

"Iya, nanti bunda bilangin. Kamu nggak mau tinggal sama dia?"

"Nggak, bunda. Kara di sini aja, banyak yang mau Kara lakuin di sini dan harus nyaman."

"Ya, sudah." mereka kembali diam, Kara terus menyisir rambut ibunya.

Hari semakin sore, suasana di sana mulai ramai. Kara tak pernah bertemu Vanessa beberapa hari ini, ia memilih untuk tak berbagi cerita dengan sepupunya itu, dan Vanessan memakluminya.

Sang ayah pulang dari bekerja, ia lantas duduk di dekat kedua perempuan itu. Raut wajahnya menampakkan hal yang tak biasa. Ia menatap Kara dan ibunya secara bergantian.

"Ayah, kenapa?" tanya Kara heran.

Sang ayah diam. "Jangan kaget, ya." kedua perempuan itu diam dan memperbaiki posisinya, siap mendengarkan ucapan dari ayahnya. "Langit, kecelakaan dan meninggal di tempat."

Boom!

Pak tersambar petir disiang hari, Kara terkejut mendengar hal tersebut. Tangannya yang memegang sisir kini melemas, membuat sisir itu jatuh dari tangannya.

"Innalillahi wainnailaihi roji'un, kok bisa?" tanya sang bunda.

"Nggak tau juga, kata orang yang liat, Langit belok tapi ada orang dari arah lain yang laju dan nggak ngeliat Langit. Dia luka dalam juga," jelasnya.

Kara tak bisa berkata-kata, dia memilih diam seribu bahasa daripada haru mengeluarkan suara. Ia tak boleh menangis, meskipun sang ibu suda menitihkan air matanya.

"Ayo ke sana," ajak ibunya.

"Dia nggak di rumah Angel, langsung di bawa ke rumah orang tuanya."

"Astagfirullah. Malam ketiganya kita jalan ke rumahnya Langit."pria itu hanya mengangguk, sedangkan si wanita tak henti menitihkan air matanya. Kara memilih masuk ke dalam kamar, rasa sesak di dalam hatinya membuat Kara tak bisa mengeluarkan air matanya.

Rasa [Nakamoto Yuta] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang