Chapter 12 : Perpisahan

5.1K 359 8
                                    

Alia serasa hampir mati melihat tanda dua garis merah di depannya. Keringat dingin membanjiri kening gadis montok itu. Sekeliling ruangannya terasa gelap. Alia terhuyung keluar dari kamar mandi dan merebahkan tubuhnya ke ranjang. Dilihat nya lagi benda kecil yang menunjukkan dua garis merah itu.

"Aku hamil." katanya pada diri sendiri. Alia berdiri dari ranjangnya dan mondar mandir dikamarnya.

Apa yang harus dilakukannya?

Sudah sebulan lebih setelah insiden itu. Selama itu juga dia sama sekali tidak pernah menemui Dillan dan menjawab telpon ataupun sms nya. Alia meraba perutnya.

Dia masih tidak percaya bahwa dalam dirinya kini ada sesuatu yang hidup. Sesuatu hasil buah cinta nya dengan Dillan.

Tapi apakah itu bisa dikatakan buah cinta?
Karena dia ada karena insiden.
Atau mungkin hanya karena nafsu sesaat.

Tidak terasa air mata kembali menggenang dimata Alia. Mungkinkah dia bisa jika harus sendirian dan membesarkan anaknya nanti.
Apa yang akan dia katakan kepada orangtuanya?
Pada kakaknya?
Dan apa yang akan dia lakukan jika Dillan tau mengenai hal ini?

"Apa?!" kata andin shock. "Kamu hamil?"

Alia mengangguk dan memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing.

"Al, Dillan harus tau." Andin berkeras. "Kamu harus ngasih tau dia."

"Tapi ndin, aku ga mau ketemu dia." kata Alia gamang.

"Aliaa, kamu hamil." Andin kembali berkeras. "Dan dillan adalah ayah dari bayi yang sekarang ini kamu kandung. Kamu harus minta pertanggung jawaban Dillan, Al."

Alia mendesah lelah dan menyadari perkataan Andin adalan benar. Apa pun yang terjadi Alia harus memberitahu Dillan. Tapi, sungguh dia sangat tidak ingin bertemu Dillan.

"Aku bener-bener gak mau ketemu dia." Alia merengek. "Hati aku sakit ndin, sakit banget ngingat perlakuan dia ke aku."

Andin memeluk sahabatnya." Sabar, Al. Aku tau banget gimana perasaan kamu. Aku sendiri mungkin bakalan gak terima seandainya jadi kamu. Ga ada seorang pun yang mau diperkosa, Alia."

"Meskipun diperkosa sama orang yang kita cintai sekalipun." Andin masih memeluk Alia dan mengusap-usap punggung gadis itu.

Sudah sebulan ini Alia tidak masuk kerja dan hanya mengurung diri dikamarnya. Alia tidak mau pergi kemanapun, dan selama itu pula Andin lah yang sering menjenguknya. Alia yang tiba-tiba tertutup membuat keluarganya penasaran, terutama kak Akbar, berkali-kali dia menanyai adiknya, tapi Alia hanya menjawab dia sedang tidak mood dan tidak mau diganggu.

Akbar yakin ini pasti ada hubungannya dengan Dillan. Lelaki itu mengira, Alia hanya sedih dan ngambek karena dirinya tidak memperbolehkannya bertemu dengan Dillan. Dan karena tau dirinyalah penyebab Alia bermuram durja seperti itu, maka Akbar akhirnya mendiamkannya saja.

"Al, kamu gak bisa nyembunyiin hal kaya gini. Lama-lama perut kamu bakalan besar. Cepat atau lambat kamu harus ketemu sama Dillan. Kamu gak bisa ngindari dia selamanya. Dia itu ayah dari bayi kamu. Apa kamu mau anak kamu lahir tanpa ayah?" Kata Andin berusaha meyakinkan alia.

Alia menunduk memandangi perutnya. Diusapnya perutnya lembut. Didalam sana ada benih dari Dillan. Pria yang sangat dicintainya, pria yang bahkan sanggup membuatnya lumer hanya dengan Alia menyebut namanya. Alia memejamkan mata untuk menghalau turunnya air mata. Dia sudah capek menangis dan itu sangat menguras tenaganya.

"Al. Temui Dillan, bicarain sama dia." sambung Andin.

"Gimana kalo Dillan gak ngakuin anak ini?!"

"Itu gak mungkin Alia. Bukannya Dillan itu satu-satunya cowo yang pernah nyentuh kamu?" Alia mengangguk mendengar pertanyaan Andin.

"Dan aku yakin dia pasti tau itu." Andin menegaskan. "Alia, Dillan terus-terusan nyari kamu dikantor dan dia juga berkali-kali nanya ke bagian personalia untuk memastikan kapan kamu balik."

Because I love youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang